Bantahan
Syubhat :
1.
Dari Segi keshahihan sanad periwayatan
Kami
ingin memulai dengan satu hadits yang disampaikan oleh sepupu Rasulullah yang
mulia seorang anggota ahli bait yaitu Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma yang
berkata bahwa Rasulullah shallallau’alaihiwasallam bersabda :
لو يعطى الناس بدعواهم، لادّعى رجال أموال قوم ودماءهم، لكن البينة على المدعي واليمين على من أنكر
“Seandainya
manusia diberikan berdasarkan dakwaan
mereka, niscaya banyak orang yang mengklaim darah satu kaum dan harta mereka.
Akan tetapi bukti dibebankan pada penuduh(pendakwa) dan sumpah dibebankan pada
orang yang mengingkari(tuduhan/dakwaan).
(HR.
Al-Bayhaqi : 21667. Imam Nawawi menyatakan Hadits ini hasan dan sebagian lafazhnya juga dikeluarkan
oleh Imam Muslim dan Imam Tirmidzi)
Karena
kalian wahai pemeluk agama syiah telah menuduh kami ahlussunnah berdusta dengan
menyembunyikan keterlibatan menantu Rasulullah, suami dari dua putri beliau,
Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu sebagai pelaku muka masam dalam
surat Abasa, maka kami meminta pada kalian bayyinah (bukti) dari kalian
! Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah:
"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".
(QS.
Al-Baqarah :111)
Kalian
pemeluk agama syiah rafidhah menukil pernyataan Ali bin Ibrahim Al-Qumi
sebagaimana yang dinyatakan dalam buku antologi Islam hal. 63 sebagai berikut :
Dalam tafsir Sayid Syubbar dilaporkan dari Qummi
bahwa ayat tersebut diturunkan tentang Utsman dan Ibnu Ummu Maktum, seorang
yang buta. Ia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama para
sahabat. Di saat itu, ada Utsman. Rasulullah SAW mengenalkannya kepada Utsman,
dan Utsman bermuka masam dan memalingkan wajahnya darinya.
Saya perjelas pernyataan Ali
bin Ibrahim Al-Qumi yang dikatakan meriwayatkan dari para Imam yang suci ‘alayhimissalam:
”نزلت في عثكن وابن أم مكتوم، وكان ابن أم مكتوم موذنا لرسول الله
صلى الله عليه وآله، وكان أعمى، وجاء إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وعنده
أصحابه وعثكن عنده، فقدّمه رسول الله صلى الله عليه وآله عليه، فعبس وجهه وتولّى
عنه فأنزل الله: عبس وتولّى، يعني عثكن“.
“Ayat tersebut diturunkan kepada Utskan (maksudnya Utsman-pen)
dan Ibnu Ummi Maktum, Ibnu Ummi Maktum adalah seorang muadzin Rasulullah
shallallahu’alayhi wa alihi wasallam dan ia adalah seorang buta. Ia pernah
datang kepada Rasulullah shallallahu’alayhi wa alihi wasallam dan bersama beliau terdapat para sahabatnya
dan Utskan. Maka Rasulullah shallallahu’alayhi wa alihi wasallam mendahulukannya, saat itu ia(Utsman-pen) bermuka
masam dan berpaling darinya maka Allah menurunkan ayat :”Dia bermuka masam dan
berpaling,” yaitu Utskan.”(Tafsir Al-Qumi, 2/405-406) silahkan unggah :
Kami bertanya kepada anda,
dari mana pengetahuan Al-Qumi bahwsannya yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu ? Apakah anda bisa meyakinkan kami
bahwa berita yang dibawa Al-Qumi itu benar ? Jika benar dari mana ia
mendapatkannya? Apakah para perawi (penyampai) berita tersebut tersambung
hingga pelaku sejarah sebab turunnya ayat tersebut ? Lalu bagaimana kondisi
penyampai berita tersebut apakah ia terlepas dari kecacatan sebagai orang yang
fajir, lemah hafalan apalagi terkenal sebagai pendusta ? Padahal Al-Qumy
menurut Imam besar kalian abu Al-Qasim Al-Khau-i :
ولذا نحكم
بوثاقة جميع مشايخ علي بن إبراهيم القمي الذي روى عنهم في تفسيره مع انتهاء السند
إلى أحد المعصومين"
“Karena itu kami
menghukumi kuatnya seluruh gurunya Ali bin Ibrahim Al-Qumi yang ia ambil
riwayat mereka dalam tafsirnya hingga sampainya sanad pada salah seorang yang
maksum.” (Mu’jam Rijal Al-Hadits, 1/63)
Manakah sanad riwayat
itu? Agar kami bisa menilitinya siapakah diantara mereka yang terbukti pendusta
?
Pada catatan kaki tafsir
tersebut kami menemukan sebuah pernyataan yang berbunyi :
وقال قوم : إن هذه الآيات نزلت في الرجل من بنى أمية
كان واقفا مع النبي صلى الله عليه وآله فلما اقبل ابن مكتوم تنفر منه ، وجمع نفسه وعبس في وجهه
فحكى الله تعالى ذلك وانكره معاتبة على ذلك . ج . ز
Suatu kaum berkata : ayat ini
turun pada seseorang dari bani umayyah yang berdiri bersama Rasulullah. Tatkala
datang Ibnu Ummi Maktum maka laki-laki itu tidak menyukainya, mengindar dan
bermuka masam maka Allah menceritakan hal itu dan mengingkarinya dengan celaan
terhadap hal tersebut. J. Z.”
Pernyataan
ini adalah catatan kaki dari pentahqiq bukan dari Al-Qumi. Namun sayang yang
dimaksud “kaum” disini tidak jelas siapa mereka artinya statusnya majhul (tidak
diketahui kondisi agamanya).
Namun
kami menemukan riwayat yang disandarkan kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq yang
berbunyi :
إنّها نزلت في رجل من
بني اُميّة، كان عند النّبي، فجاء ابن اُم مكتوم، فلما رآه تقذر منه وجمع نفسه عبس
وأعرض بوجهه عنه، فحكى اللّه سبحانه ذلك، وأنكره عليه
“Sesungguhnya ayat tersebut turun
kepada seorang dari kalangan Bani Umayah yang saat itu ia berada disisi Nabi.
Maka datanglah Ibnu Ummi Maktum. Tatkala ia melihatnya, ia mearasa jijik dan menghindar,
bermuka masam dan berpaling dengan wajahnya. Maka Allah Subhana menceritakan
hal itu dan mengingkari perbuatan (Utsman) tersebut.”
Yang ada pada teks riwayat
tersebut hanya seorang dari Bani Umayyah tanpa disebut namanya. Padahal
pembesar Bani umayyah cukup banyak. Maka riwayat ini tidak bisa menguatkan
bahwa pelakunya adalah Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu.
Sehingga kami hanya mendapatkan
sekadar klaim tanpa dasar. Dengan landasan bahwa Al-Qumi tidak mungkin salah
!Kalau hanya seperti itu kami ingin menyampaikan kepada kalian suatu
pelajaran yang kami ambil dari Ibnu Abbas anggota ahlul bait, simaklah wahai orang-orang
yang mengaku meneladani ahli bait !!!
Mujahid
berkata:”Busyair Al-’Adawy mendatangi
Ibnu Abbas, ia menyampaikan
hadits dan ia berkata : ”Telah bersabda
Rasulullah shalaullahu ’alihi
wasallam, dan telah bersabda
Rasulullah shalaullahu ’alihi
wasallam”, maka Ibnu Abbas tidak mendengarkan dan memperhatikan terhadap
haditsnya yang ia sampaikan. Maka ia lalu berkata kepada Ibnu Abbas: ”Wahai
Ibnu Abbas apa yang terjadi padamu, aku tidak melihatmu mendengarkan haditsku, (padahal) aku
mengabarkan hadits dari Rasulullah shalaullahu
alaihi wasallam ? Maka Ibnu Abbas menjawab :
إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنْ النَّاسِ إِلَّا مَا نَعْرِفُ
”Pada suatu kali, bila kami mendengar seseorang berkata
telah bersabda Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam, maka bersegeralah
mata-mata kami dan telinga-telinga kami memperhatikannya, namun tatkala manusia
mengikuti shu’ba(kesukaran/hawa nafsu) dan kehinaan maka kami tidak akan
menerima hadits dari manusia kecuali orang yang kami kenal.”
(Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqadimah shahihnya)
Mengapaharus seperti itu? Karena kita berhati-hati
jangan sampai berdusta atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wa ‘alaa
alihi wasallam :
Ali radhiyallahu’anu
berkata:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ
“Telah
bersabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam :” Janganlah kalian melakukan dusta
atasku. Maka barangsiapa yang berdusta atasku maka ia akan masuk kedalam neraka.”(HR.
Bukhari no. 103)
Pahamilah perkataan Ibnu Abbas yang berbunyi :“namun tatkala manusia mengikuti shu’ba(kesukaran/hawa
nafsu) dan kehinaan maka kami tidak akan menerima hadits dari manusia kecuali
orang yang kami kenal.”Apakahyang beliau maksud dengan orang yang kami
kenal? Yaitu yang kami kenak dengan kadilannya. Hal ini dalam rangka
menjalankan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS. Al Hujurat : 6)
Dalam sebagian qira'ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))(Tafsir Al-Syaukhani 5/60).
Mafhum mukhalafah(pemahaman kebalikan)-nya
”Jika datang kepada kalian orang yang
adil maka terimalah berita yang ia bawa.” Hal ini menunjukkan
berita orang yang tidak dikenal kondisi keadilannya tidak diterima berita
hadits yang ia bawa.
Namun
kaedah penerimaan riwayat kalian aneh sekali. Perhatikan ucapan tokoh kalian
Ibnu Al-Muthahhar Al-Hully :
الطعن في دين الرجل لا يوجب الطعن في حديثه
“Celaan pada agama seseorang tidak menjadikan
celaan pada haditsnya (yang ia riwayatkan)”(Rijal Al-Hully hal. 137)
Kami mempunyai bukti bahwa kaedah aneh
tersebut mereka terapkan bersandar pada sebuah riwayat mengenai keharaman
penolakan riwayat ahli bait walaupun yang dibawa oleh para pendusta. Silahkan
anda perhatikan riwayat (kami meyakini riwayat ini dusta atas nama ahli bait
yang mereka buat) di bawah ini :
عن سفيان السمط قال : قلت لأبي عبد الله عليه السلام : "جعلت
فداك, انّ رجلا ياتينا من قبلكم يُعرف بالكذب فيحدّث بالحديث فنستبشعه, فقال أبو
عبد الله : يقول لك انّي قلت الليل أنذه نهار أو النهار أنه ليل قال: لا فانْ قال
لك هذا انّي قلته فلا تكذبه به فانّك انما تكذّبني
“Dari Sufyan
As-Samth, berkata :’Kukatakan kepada Abu Abdillah ‘alayhissalam,’Aku
menjadikan tebusanmu, sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada kami dari
pihak kalian, dia dikenal dengan kedustaan, lalu dia bercerita dengan sebuah
hadits, maka kami pun menganggapnya buruk.’ Maka berkatalah Abu Abdillah,’Dia
berkata kepadamu,’Sesungguhnya aku berkata ini adalah malam,padahal itu adalah
siang, atau ini siang padahal itu adalah malam? Dia berkata,’Tidak.’ Jika dia
berkata demikian kepadamu, maka sesungguhnya aku mengatakannya, maka jangan
mendustakannya, karena sesungguhnya kamu, jika mendustakannya, maka tiada lain
kamu mendustakanku.”(Bihar Al-Anwar, 2/211)
Ini menunjukkan mereka tidak mengenalnya adanya
hadits maudhu’(palsu). Padahal Rasulullah memberikan ancaman bagi para pembuat
hadits maudhu’ dengan neraka yang ini menunjukkan akan terjadinya periwayatan
dusta atas nama beliau. Namun bagi Syiah, Sabda Rasul tersebut tidak berlaku
bagi mereka. Kalau begitu mereka telah menyelisihi ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS. Al Hujurat :
6)
Sedangkan Ja’far
Ash-Shadiq rahimahullah pernah mengeluhkan pendustaan para perawi syiah
terhadap ahlul bait. Beliau berkata :
يروون عنا الأكاذيب ويفترون علينا أهل البيت
“Mereka meriwayatkan dari kami
kebohongan-kebohongan(atas nama kami) dan mereka berdusta atas kami (mengenai)
ahli bait”(Al-Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariyah, hal.97)
Ini artinya banyak orang yang berdusta atas
nama beliau dan batalah kaedah mereka tersebut. Maka tiada gunanya ketika
Al-Qumi mengatakan inilah tafsir dari ahli bait namun ia tidak dapat memberikan
bukti sanad (rantai perawi) yang shahih tersebut yang sampai kepada ahli bait.
Maka sama saja ia termasuk dalam jajaran pendusta yang dinyatakan oleh Ja’far
Ash-Shadiqrahimahullah.
Maka manakah bukti kalian bahwasannya pelaku
tersebut adalah Utsman bin Affan? Kalian tidak dapat membawa bukti maka wajib
bagi kalian bertaubat wahai pemeluk agama syiah karena dustamu itu.
Baiklah
sekarang kami akan mengajari kalian memhami makna ayat ini :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”(QS. Al-Anbiyaa : 7)
Siapakah yang lebih di dahulukan untuk diambil perkataannya mengenai orang
yang disebut telah bermuka masam? Apakah Al-Qumi yang baru lahir beberapa abad
sesudahnya? Ataukah para sahabat Rasul yang menjadi pelaku sejarah turunnya
ayat tersebut?
Maka ahli ilmu mengenai sebab turunnya surat abasa ini adalah sahabat itu sendiri sebagai pelaku sejarah bukan
Al-Qumi pendusta.
Baiklaha kita dengarkan duhulu pelaku sejarah tersebut !!!
Imam Tirmidzi dan Al-Hakim berkata :”Telah menceritakan kepada kami Sa’id
bin Yahya bin Sa’id Al-Amawi, Ia berkata:”Telah menceritakan kepada ku Ayahku,
Ia berkata “ini adalah yang kami baca di hadapan Hisyam bin Urwah, dari Ayahnya
dari ‘Aisyah. Beliau berkata:”
أُنْزِلَ{ عَبَسَ
وَتَوَلَّى } فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْشِدْنِي وَعِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الْآخَرِ وَيَقُولُ أَتَرَى بِمَا أَقُولُ بَأْسًا فَيَقُولُ لَا فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
“Diturunkannya ayat(Dia bermuka
masam danberpaling)kepada Ibnu Ummi Maktum Al-A’ama yang datang menjumpai
Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam tatkala itu ia berkata : “Wahai
Rasulullah ajarilah saya- dan disisi Nabi shallallahu’alaihiwasallam terdapat
seorang pembesar musyrikin- maka Nabi shallallahu’alayhiwasallam berpaling
darinya dan menghadap kepada lainnya (pembesar musyrikin). Lalu beliau berkata
kepada orang tersebut :”Apakah menurut apa yang aku katakan ini (tauhid-pen)
adalah sesuatu yang buruk? Maka orang itu menjawab :” tidak”. Maka
diturunkanlah ayat ini.”(HR. Tirmidzi no. 3254,dan ia menyatakan hasan gharib
dan Al-Hakim no. 3857)
Sebagian riwayat ada yang memursalkannya dari Urwah tanpa menyebut riwayat
dari Aisyah. Abdurrazzaq menyebutkannya yang berasal dari Ma’mar dari Qatadah
bahwa orang berbicara bersama Nabi saat itu adalah Ubay bin Khalaf. Sa’id bin
Manshur meriwayatkan dari jalan Thariq Abu Malik bahwasannya orang yang
berbicara bersama Nabi adalah Umayyah bin Khalaf. Sedangkan Ibnu Mardawaih
meriwayatkan dari hadits ‘Aisyah bahwa orang yang berbicara bersama Nabi adalah
‘Utbah dan Syaibah yang keduanya putra Rabi’ah. Dari jalan Al-Aufi dari Ibnu
Abbas ia berkata (Mereka ) adalah ‘Utbah, Abu Jahal dan ‘Ayyasy. Dari riwayat
Aisyah yang lain berbunyi :” Dalam majlis tersebut orang yang hadir adalah
pembesar Quraiys sebagian mereka adalah Abu Jahal dan ‘Utbah. Semuanya dapat
dikompromikan.(Lihat Fath Al-Baari karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar 14/91)
Lihatlah para periwayat turun surat Abasa tidak
satupun yang menyatakan Utsman bin Affan berada di tempat kejadian tersebut. Ini
menunjukkan kebohongan Al-Qumi yang menentang riwayat Ibunda kami Aisyah,
Abdullah bin Abbas, dan Qatadahradhiyallahu’anhum.
Bisa jadi kalian menolak
riwayat ibunda kami (bukan ibunda kalian) Ummul mukminin (ibunda
orang-orang yang beriman) karena kalian menyatakan beliau penzina. Maka kami
jawab :
“Berarti kalian telah meruntuhkan doktrinitas akidah kemaksuman Rasul yang
kalian pegangi. Karena mana mungkin Rasul mau melanjutkan rumah tangga dengan
wanita penzina. Dan kalau begitu kalian juga menuduh Rasul telah berkhianat
tidak mau menegakkan hukum rajam pada ‘Aisyah ibunda kami.“
Jika begitu Ibunda kami adalah wanita baik-baik yang disucikan
kehormatannya oleh Allah Subhana di dalam
Al-Quran melalui turunnya ayat :
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ
عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ
امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ
لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.”(QS. An-Nur : 11)
Hingga sepuluh ayat berikutnya.Jika begitu riwayat ibunda kami wajib
diterima.
Dan riwayat Ibnu Abbas mengenai sebab turunnya surat Abasa sebagai berikut
:
Berkata Ibnu Jarir Thabari :”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
Sa’ad. Ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ayahku. Ia berkata: “telah
menceritakan kepadaku pamanku, Ia berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku,
dari Ayahnya dari Ibnu Abbas mengenai Firman Allah (Dia bermuka masam dan
berpaling tatkala datang kepadanya seorang buta). Berkata Ibnu Abbas :
بينا
رسول الله صلى الله عليه وسلم يناجي عُتبة بن ربيعة وأبا جهل بن هشام والعباس بن عبد المطلب،يناجيهم، فجعل عبد الله يستقرئ النبيّ صلى الله عليه وسلم آية من القرآن، وقال: يا
رسول الله، علمني مما علَّمك الله، فأعرض عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وعبس في وجهه وتوّلى، وكره كلامه، وأقبل على الآخرين؛، فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأخذ ينقلب إلى أهله، أمسك الله بعض بصره، ثم خَفَق برأسه، ثم أنزل الله:( عَبَسَ وَتَوَلَّى أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى ) ، فلما نزل فيه أكرمه رسول الله صلى الله عليه وسلم وكلَّمه، وقال له: "ما حاجَتُك، هَلْ تُرِيدُ مِنْ شَيءٍ؟" وإذا ذهب من عنده قال له: "هَلْ لكَ حاجَةٌ فِي شَيْء؟" وذلك
لما أنزل الله:( أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى وَمَا عَلَيْكَ أَلا يَزَّكَّى ) .
Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam bersama kami mendakwahi ‘Utbah bin
Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau melayani
mereka dan berharap sekali mereka beriman. Maka datanglah menemui beliau
seorang yang buta yang dikatakan dia adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia
berjalan sedangkan beliau sedang menyeru mereka. Saat itu Abdullah meminta
kepada Nabi shallallahu’alayhiwasallam untuk membacakan suatu ayat Al-Quran. Ia
berkata :”Wahai Rasulullah, ajarilah aku atas apa yang telah Allah ajarkan
kepadamu ! ”Maka Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam berpaling dan bermuka
masam padanya. Beliau berpaling dan tidak suka dengan ucapannya. Beliau pun
menghadap ke lainnya. Tatkala Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam selesai
menerangkan dan beliau kembali kepada keluarga beliau maka Allah menahan pandangan
beliau dan beliau menundukkan kepala. Lalu turunlah ayat :”Dia bermuka masam dan berpaling,
Karena telah datang seorang buta kepadanya, Tahukah kamu mungkin ia ingin
membersihkan dirinya Atau dia ingin
mendapatkan pelajaran, sehingga pelajaran itu memberi rnanfaat kepadanya “
Setelah turunnya ayat tersebut maka Rasulullah
memuliakannya dan mengajaknya bicara. Beliau berkata padanya :”Apakah keperluan
anda? Apa yang anda inginkan?” Jikalau ia telah pergi darinya, beliau berkata
:”Apakah engkau mempunyai keperluan?”Yang demikian itu terjadi tatkala Allah
Ta’ala telah menurunkan ayat :”Adapun orang yang merasa dirinya (pemimpin Bani Umayah) serba
cukup, Maka kamu melayaninya. Selesai.”(Tafsir Ath-Thabari 25/217-218)
Lihat sekali lagi Ibnu Abbas sepupu Ali bin Thalib radhiyallahu’anhum
menyatakan Rasulullah-lah yang dicela dalam surat tersebut dan tidak sedikitpun
menyinggung nama Utsman bin Affan.
Wahai pemeluk agama syiah saya akan menghadiahkan
kutipan tokoh kalian Syaikh Ath-Thabrasi dia berkata :
وروي عن الصادق ( ع ) أنه قال : كان رسول الله ( ص ) إذا رأى عبد الله بن أم مكتوم قال : مرحبا مرحبا ، لا والله لا يعاتبني الله فيك أبدا ، وكان يصنع به من اللطف حتى كان يكف عن النبي ( ص ) مما يفعل به .(إنتهى
“Dan diriwayatkan dari Ash-Shadiq ‘alaihissalam
bahwa beliau berkata :” “Rasulullah biasa bila bertemu Abdullah bin Ummi Maktum
berkata kepadanya:”Selamat datang, Selamat datang, Tidak, demi Allah, Allah
tidak akan lagi mencelaku karenamu selamanya.” Beliau biasa melakukan hal
itu dalam rangka berlemah lembut (kepadanya) hingga ia(Abdullah bin Ummi
Maktum) yang menghentikan Nabi shallallahu’alayhiwasallam dari
penghormatan yang beliau berikan.”Selesai.(Tafsir majma’ Al-Bayan, 10/226)
Apa yang dinyatakan Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah
serupa yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsaurirahimahullah :
فكان النبي صلى الله عليه وسلم بعد ذلك إذا رأى ابن أم مكتوم يبسط له رداءه وبقول: مرحبا بمن عاتبني فيه ربي .
“Maka Nabi shallallahu’alayhiwasallam setelah
kejadian tersebut jika bertemu dengan Ibnu Ummi Maktum membentangkan kain rida
beliau dan sambil berkata : “Selamat datang kepada orang yang karenanya
Tuhanku mencelaku.”(Tafsir Al-Qurthubi, 19/213)
Dua riwayat di atas saling menguatkan bahwa
Rasulullah mengakui beliaulah yang dicela dalam surat Abasa.
Sungguh memalukan tahrif (penyimpangan) penulis buku syiah
yang berjudul Antologi Islam terhadap
penerjemahan teks riwayat Imam Ja’far Ash-Shadiq tersebut. Saksikanlah
penyimpangannya dalam penerjemahan pada teks terakhinya :
“Demikian juga dikatakan bahwa Imam
Shadiq as berkata, “Setiap kali RasulullahSAW melihat Abdullah bin Ummi Maktum,
beliau berkata, ‘ Selamat datang, selamat datang, demi Allah, engkau tidak akan
mendapati Allah menegurku terhadapmu’ (80:5-11), ini karena rasa malu.”(Antologi
Islam hal. 63)
Ia
berusaha mengelabui pembaca dengan menerjemahkan kalimat :
وكان يصنع به من اللطف
Dengan kalimat“ini
karena rasa malu”. Yang mana ia ingin mengambarkan Rasulullah malu
terhadap Abdullah bin Ummi Maktum atas kelakuan muka masamnya Utsman-semoga
Allah meridhoi mereka semua dan kebinasaan bagi pemeluk Syiah- padahal arti
teks tersebut adalah “Beliau biasa melakukan hal itu dalam rangka berlemah
lembut (kepadanya).”
Wahai pemeluk syiah lihatlah apa yang dikatakan Jafar
Ash-Shadiq rahimahullah telah membatalkan klaim Al-Qumi mengenai pelaku
muka masam dalam surat Abasa tersebut. Lihatlah berdasarkan riwayat
Ash-Shadiq diperkuat dengan riwayat Ats-Tsauri tampak sekali Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam
sendiri yang mengakui beliaulah yang dicela dalam surat Abasa tersebut.
Maka kita bisa simpulkan pernyataan Al-Qumi adalah bisikan syetan kepadanya
sekaligus kebohongan yang disandarkan kepada Ahlul Bait.
Dan saya ingin katakan pendapat
Al-Qumi ini dibantah oleh tokoh ulama kalian sendiri yaitu Sayyid Muhammad
Husein Fadhlullah (dan ia tidak disogok oleh Bani Umayyah) mengenai pembahasan
riwayat-riwayat berkaitan dengan surat Abasa :
النقطة
السادسة: إن الرواية المنسوبة إلى الإمام الصادق(ع) في أن الحديث عن رجلٍ من بني
أمية، لا تتناسب مع أجواء الآيات، لأن الظاهر من مضمونها، أن صاحب القضية يملك
دوراً رسالياً، ويتحمل مسؤولية تزكية الناس، ما يفرض توجيه الخطاب إليه للحديث معه
عن الفئة التي يتحمل مسؤولية تزكيتها، باعتبارها القاعدة التي ترتكز عليها الدعوة
وتقوى بها، في مقابل الفئة الأخرى التي لم تحصل على التزكية، ولا تستحق بذل الجهد
الكثير.
Permasalahan
yang ke-enam:
“Sesungguhnya riwayat yang disandarkan kepada Imam Ash-Shadiq ‘alayhissalam
mengenai pembicaran(celaan) yang ditujukan kepada seseorang dari kalangan bani
Umayyah, tidaklah sesuai dengan kondisi pembicaraan ayat terserbut.
karena yang nampakdarinya, bahwa orang yang dibicarakan(dicela) memiliki peran
sebagai pengemban risalah, dan mengemban tanggung jawab penyucian diri para
manusia. Tidaklah dapat ditentukan penunjukkan arah seruan kepadanya (seseorang
dari kalangan Bani Umayyah yang nota bene masih kafir-pen) yang bersamaan itu
pula (pembicaraan ayat-pen) menyanggkutgolongan yang mengemban tugas penyucian diri.
Dengan pertimbangan padanyaterdapat dasar/aturan yang dipusatkan dakwah dan
ketakwaan padanya. Berhadapan dengan kelompok lainnya yang tidak dapat
diharapkan untuk menyucikan dirinya. Dan tidak perlu untuk bersusah payah
terhadap(keenganan mereka beriman-pen).”
(Min wahyi
Al-Quran, Al-Alamah Al-Marja’ As-Sayyid Muhammad Husein Fadhlulah)
silahkan
ungguh di :
Dari
pernayataan Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah di atas nampak sekali ia
meragukkan keshahihan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qumi.Karena
menurutnya andaikata pelaku “bermuka masam “ dalam ayat terserbut adalah Utsman
atau orang kafir tentunya hal ini aneh karena pelaku muka masam tersebut
disifati dengan sifat pembawa risalaha dakwah yaitu :
“Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan
diri“(beriman).”(QS. Abasa : 7)
Baca Selengkapnya >>>