MELURUSKAN PEMAHAMAN HADITS SUJUD DI ATAS BUMI
Dan bid’ahnya sujud dengan turbah karbala
BRIGADE PEMBUNGKAM MULUT SYIAH
“Jangan pernah mimpi Syiah merasa lebih paham dari kami Ahlus
Sunnah”
Ketidak tahuan bahasa arab menyebabkan syiah rafidhah memperdaya
anda dalam memahami hadits berikut ini :
جعلت لي الأرض مسجداً
وطهوراً
“Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi mensucikan.”
Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan teks hadits secara lengkap di
bawah ini :
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi
shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda :
أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ
لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
"Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang
sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu
bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi
mensucikan. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat
hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah
dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi
sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh
manusia." (Shahih HR. Bukhari no. 323 dan 419, Muslim no. 810, Nasa’i no.
429, Ahmad no.2606, 13745, 20337,20352,dan 20463, dan darimi no. 1353 dan 2358
)
Makna Al-ardhu ( الأرْضِ
) dari hadits ini bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah bumi.
Memaknai kata Al-ardhu ( الأرْضِ
) dengan tanah pada hadits ini merupakan kerancuan. Karena kita dapat menemukan
perincian kata Al-ardhu dalam hadits berikut ini :
Dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu yang berkata:” Telah bersabda
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam :
فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ جُعِلَتْ
صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا
مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدْ الْمَاءَ
وَذَكَرَ خَصْلَةً أُخْرَى
“Kami diberi keutamaan atas manusia lainnya dengan tiga hal: (pertama),
Shaf kami dijadikan sebagaimana shaf para malaikat. (Kedua), ( الأرْضِ ) bumi dijadikan untuk kami semuanya
sebagai masjid. (Ketiga), dan ( تُرْبَتُهَا
) debu/tanahnya dijadikan suci untuk kami apabila kami tidak mendapatkan air.' (Shahih HR. Muslim no. 811)
Perhatikan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
memperinci kata Al-Ardhu. Dimana Al-Ardhu menurut Rasulullah adalah bumi itu
sendiri sedangkan Turbah (tanah/debu) adalah bagian dari Al-Ardhu( bumi)
tersebut.
Dan perhatikan pula riwayat berikut ini :
Dari Ummu Salamah :“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda
telah berkata Jibril ‘alaihiwasallam kepada beliau :
إِنَّ
أُمَّتَكَ سَتَقْتُلُ هَذَا بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا : كَرْبَلاءُ " ،
فَتَنَاوَلَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنْ تُرْبَتِهَا ، فَأَرَاهَا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya keturunan anda
ini (Husein radhiyallahu’anhu) akan dibunuh di (أَرْضٌ)
bumi yang dikatakan tempatnya bernama
Karbala. Maka Jibril ‘alaihissalaam mengambil sebagian dari ( تُرْبَتِهَا ) tanahnya dan Nabi-pun melihatnya.”(Sanadnya
Shahih HR. Thabrani,Al-mu’jam Al-Kabir
3/182)
Maka itulah bila hadits sebelumnya (HR. Bukhari no. 323 dan 419)
kita lihat pada teks berikutnya yang berbunyi :
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
“Maka di mana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat
hendaklah ia shalat”
Maka kata فَأَيُّمَا(dimana
saja) menunjukkan keumumuan tempat di BUMI (termasuk di atas gedung bertingkat
seratus sekalipun atau di atas kapal yang berlayar) sebagai masjid/tempat sujud.
Hal ini juga diperkuat maknanya dengan hadits :
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَرْضُ كُلُّهَا
مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Seluruh bumi adalah masjid (tempat sujud), kecuali
kuburan dan kamar mandi." (Shahih HR. Ibnu Majah no. 737, Tarmidzi no.
236, dan Abu Dawud no. 415 )
maka hadits ini menunjukkan الْأَرْضُ
sebagai bumi atau tepatnya sebagai مَا يَطْأُهُ
الْقَدَمُ (sesuatu yang diinjak oleh telapak kaki) atau lantai, kecuali
kuburan dan kamar mandi.
Maka bila kita memperhatikan hadits berikut ini : Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma dia berkata :”
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَأَى رَجُلاً يُصَلِّى مَا يُصِيبُ
أَنْفَهُ مِنَ الأَرْضِ فَقَالَ « لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ
الأَرْضِ مَا يُصِيبُ الْجَبِينَ »
“Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam-tatkala
beliau melihat seseorang shalat(ketika sujud)
hidungnya tidak menyentuh الأرض
bumi .Beliau bersabda :”Tidak ada shalat bagi orang yang tidak menyentuhkan
hidungnya ke الأرض bumi sebagaimana dahinya menyentuh ke الأرض bumi.( Shahih HR. Daruquthni no.1335)
Maksud menyentuh hidung dan dahi ke bumi adalah menempelkan hidung
dan dahi ke lantai tempat sujud bukan harus menyentuhkannya dengan tanah. Karena
الأرض (Al-Ardhu) disini diartikan sebagai مَا يَطْأُهُ الْقَدَمُ (sesuatu yang diinjak
oleh telapak kaki) atau tepatnya lantai. Andaikan di artikan menyentuhkan dahi
dan hidungnya ke الأرض (Al-Ardhu) dengan makna menyetuhkannya ke-tanah,
maka yang menjadi pertanyaan mengapa khamaini tidak menyentuhkan hidung di
turbah(tanah) karbala-nya tersebut????? Namun cukup di atas sajadah sebagaimana
yang nampak dalam foto tersebut!!!!!
Lalu perhatikanlah Firman Allah subhana wa ta’ala berikut ini:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا
فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلا إِنَّهُمْ هُمُ
الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (12)
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka BUMI (الأرْضِ).
mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan
perbaikan." Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat
kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah : 11-12)
Apakah pantas kita mengartikan (الأرْضِ)
sebagai tanah?? Maka akan menggelikan kedengarannya coba kita perhatikan :
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat
kerusakan di(الأرْضِ) tanah.”
Lucukan kedengarannya!!!!!!!!coba cari saja ayat-ayat yang
berbunyi Al-Ardhu(الأرْضِ) di dalam Al-Quran akan terasa janggal bila semuanya diartikan
dengan tanah(تُرْبَةٌ ). Karena kata
Ardhu(الأرْضِ) dimaknai bumi yang
meliputi lautannya, sungainya, danaunya, dan lapisan padang pasirnya maupun
lapisan saljunya.
Lalu perhatikan lagi hadits berikut ini :
Dari Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu berkata :
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد فوضع يديه بالارض استقبل بكفيه واصابعه
القبلة
”Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam biasa jika beliau sujud
meletakkan kedua tangganya ke (الأرض)
bumi dengan menghadap kiblat kedua telapak tangan berserta jari-jemarinya.”(Sanadnya
Shahih HR. Bayhaqi dalam Sunan Al-Kubra 2/113)
Andaikan Al-Ardhu (الأرض)
di terjemahkan sebagai tanah, mengapa khamaini juga tidak meletakkan turbah
karbala pada telapak tangannya ketika sujud???????
Jadi hadits-hadits tersebut bila dipakai sebagai dalil kebolehan
sujud diatas turbah karbala merupakan perbuatan yang sangat-sangat salah
alamat. Artinya sujud dengan dahi menyentuh turbah karbala tidak ada contohnya dari
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan bahkan tidak ada dasarnya dari
syariat Islam.
Adapun mengenai hadits berikut :
عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في
جباهنا وأكفنا فلم يشكنا
Dari Khabab bin Al-Arat berkata: “Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tentang sangat panasnya tanah yang kami letakkan padanya dahi dan telapak tangan kami, tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi)
Dari Khabab bin Al-Arat berkata: “Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tentang sangat panasnya tanah yang kami letakkan padanya dahi dan telapak tangan kami, tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi)
Saya bertanya pada kalian dari manakah petunjuk bahwa para sahabat mengadu
kepada Rasul untuk diperbolehkan menggunakan alas ketika sujud karena panasnya
tanah tempat mereka sujud??????
Apakah kalian pura-pura tidak tahu bila terdapat hadits mengenai kebolehan
menggunakan pengalas sujud??????
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ
السُّجُودِ
dari Anas bin Malik berkata, "Kami shalat bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu salah seorang dari kami meletakkan salah
satu dari ujung bajunya di tempat sujudnya karena panasnya tempat sujud."
(HR. Bukhari no. 372)
jadi maksud dari hadits riwayat Al-Bayhaqi mengenai pengaduan para
sahabat yang tidak Rasulullah tanggapi adalah para sahabat meminta keringanan
untuk di undurkan waktu shalat karena panasnya tempat sujud bukan karena
meminta izin menggunakan alas sujud. Maka itulah kita menemukan hadits berikut
:
عن أنس بن مالك قال: أنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها
Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam di musim yang sangat panas, salah satu dari kami
mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah
dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud
di atasnya.”(Sunan Baihaqi, 2/105, Nailul authar, 2 / 268)
Tujuan para sahabat di atas menggunakan kerikil yang dingin sebagai
alas dari panasnya tempat sujud. Dan yang dimaksud mereka sujud di atas batu
tersebut bukan sebatas meletakkan dahi pada bagian batu namun juga termasuk
anggota sujud lainnya karena hadits tersebut tidak menyatakan batu tersebut
diletakkan di dahi saja. Dan sebagian mereka menggunakan batu kertikil bukan menggunakan
kain karena sebagian mereka pada saat itu dalam keadaan kekurangan kain.
Begitu pula Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sebagaimana dari Maimunah radhiyallahu’anha
ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ
وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ
يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ
"Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat
sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan
setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas
tikar kecil." (HR. Bukhari no. 366 dan 368)
Sehingga dari hadits ini menunjukkan sujud menggunakan alas
merupakan perkara yang mubah(boleh) tidak terikat dengan panas atau dinginnya
tempat sujud.
Adapun riwayat hadits :
عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته
Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat
seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka
beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil
menunjuk pada dahinya.” (HR. Al-Bayhaqi)
Riwayat hadits ini mursal karena Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi
bukan termasuk dari kalangan sahabat namun termasuk tabiin.
Dan maksud teks hadits “mengangkat serbanya” dapat kita lihat pada
riwayat sebelumnya :
عن
صالح بن حيوان السبائى حدثه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يسجد بجنبه
وقد اعتم على جبهته فحسر رسول الله صلى الله عليه وسلم عن جبهته
Dari Shalih bin hayan As-Saba’i, dia menceritkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
melihat seseorang sujud dan ia mengenakan surban pada dahinya maka Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam membuka surbanya dari dahinya.”(HR. Bayhaqi)
Riwayat ini pun statusnya mursal karena Shalih bin Hayan As-Saba’i
bukanlah sahabat namun dari kalangan Tabi’in.
dari dua riwayat mursal tersebut
menyatakan tidak diperbolehkan adanya sesuatu yang menutup dahi ketika sujud
karena orang yang ditegur Rasul shallallahu’alaihiwasallam tadi mengenakan
surban yang ia lilit hingga menutup dahinya.
Ini artinya dahi langsung menyentuh tempat sujud atau alas sujud.
Maka Imam Bayhaqi memberi judul pada tema hadits tersebut dengan Judul :
باب الكشف عن الجبهة في السجود
Bab membuka dahi pada waktu sujud
Inilah yang dimaksud oleh perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi :
وَلَوْ سَجَدَ على رَأْسِهِ ولم يُمِسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لم يَجْزِهِ السُّجُودُ وَإِنْ سَجَدَ على رَأْسِهِ فَمَاسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
“Apabila seseorang sujud
dan dahinya sama sekali tidak menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap tidak sah.
Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya
menyentuh bumi (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah Ta’ala.”
(Al-Umm, 1/114)
Maka itulah bila kita lihat teksnya secara
lengkap:
ولو سجد على رأسه ولم يمس شيئا من
جبهته الارض لم يجزه السجود وإن سجد على رأسه فماس شيئا من جبهته الارض أجزأه
السجود إن شاء الله تعالى ولو سجد على جبهته ودونها ثوب أو غيره لم يجزه السجود
إلا أن يكون جريحا فيكون ذلك عذرا ولو سجد عليها وعليها ثوب متخرق فماس شيئا من
جبهته على الارض أجزأه ذلك لانه ساجد وشئ من جبهته على الارض وأحب أن يباشر
راحتيه الارض في البرد والحر فإن لم يفعل وسترها من حر أو برد وسجد عليها فلا
إعادة عليه ولا سجود سهو
“Apabila seseorang sujud
dan dahinya sama sekali tidak menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap tidak sah.
Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya
menyentuh bumi (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah
Taala. Dan bila ia sujud di atas dahinya dan padanya terdapat kain atau
selainnya belumlah dinyatakan sah sujudnya kecuali karena terdapat luka, maka
yang demikian itu sebagai udzur. Dan jika ia sujud di atas dahinya dan pada
dahinya terdapat kain yang sobek sehingga menyentuhlah dahinya dengan bumi maka
sah-lah hal itu karena ia sujud dengan sebagian dahinya (menyentuh) bumi. Dan
aku menyukai kedua telapak tangannya menyentuh langsung ke bumi. Jika tidak dan
ia menutupi telapak tangannya dari hawa panas atau dingin lalu ia sujud di
atasnya maka tidak perlu diulang shalatnya atau tidak perlu melakukan sujud
sahwi ” (Al-Umm, 1/114)
Perhatikan sebagian teks perkataan Imam Syafi’i
di atas :
ولو سجد
على جبهته ودونها ثوب أو غيره لم يجزه السجود إلا أن يكون جريحا فيكون ذلك عذرا
Dan bila ia sujud di atas dahinya dan padanya
terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah sujudnya kecuali karena
terdapat luka, maka yang demikian itu sebagai udzur. (Al-Umm, 1/114)
Maksud beliau adalah kain perban luka yang
melilit di dahi orang tersebut bukan kain yang mengalas tempat sujud.
Sehingga pendapat Imam Syafi’i, ketika sujud
tidak boleh dahi terhalang oleh kopiah atau kain surban yang ada di kepala, bukan
di tempat sujud. Dan Imam Syafii menyatakan makruhnya sujud dengan keadaan dahi
tidak langsung menyentuh tempat sujud karena terhalang kopiah, kain serban atau
rambut. Makanya anda akan melihat kaum nahdiyin yaitu kaum NU sebagai penganut
madzhab syafi’i menggunakan peci atau songkok tidak menutupi dahi ketika
shalat. Dan tidak ada satupun anda temui mereka membawa tanah masuk ke dalam
masjid untuk dikenakan pada dahi ketika sujud atau melarang atau sebatas
memakruhkan shalat di atas lantai berubin dan semisalnya yang tidak langsung
menyentuh tanah.
Jadi anda telah didustai dan ditipu oleh
pembuat tulisan yang anda copy paste(copas) tersebut. Si penulis telah
memanfaatkan ketidaktahuan anda terhadap bahasa arab mengenai arti kata الأرْضِ.
Sekarang mengenai tujuan khamaini menggunakan
turbah(tanah) karbala ketika sujud, kita berikan beberapa pertanyaan secara
logika akal.
Pertanyaan pertama, Apakah Khamaini memakai
turbah karbala dalam rangka mengamalkan hadits berikut?
فَقَالَ
« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ الأَرْضِ مَا يُصِيبُ الْجَبِينَ
»
“Beliau (Rasul shallallahu’alaihiwasallam) bersabda :”Tidak ada
shalat bagi orang yang tidak menyentuhkan hidungnya kebumi sebagaimana dahinya
menyentuh kebumi.( Shahih HR. Daruquthni no.1335)
Jelas tidak, karena khamaini tidak menyentuhkan hidungnya ke turbah
karbala namun ia hanya menyentuhkannya di alas sujudnya.
Pertanyaan Kedua, apakah khamaini memakainya dalam rangka mencontoh
sahabat menggunakan batu kerikil sebagaimana hadits berikut ini?????
عن أنس بن مالك قال: أنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها
Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam di musim yang sangat panas, salah satu dari kami
mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah
dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud
di atasnya.”(Sunan Baihaqi, 2/105, Nailul authar, 2 / 268)
Jelas berbeda antara tujuan khamaini memakai turbah karbala, karena
sahabat memakai batu kerikil sebagai alas sujud dalam rangka menghalangi hawa
panas dari tempat sujud dan itupun bukan sebatas pada daerah dahi. Sedangkan
khamaini kita lihat sujud di atas turbah karbalah di bawah atap sebuah
bangunan, yang besar kemungkinan di dalam masjid yang bertehel bukan dari
lantai tanah yang panas.
Pertanyaan Ketiga, Apakah khamaini sujud di atas turbah karbala
dalam rangka melaksanakan hadits berikut ini ????
dari Maimunah ia berkata :
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ
وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ
يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ
"Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat
sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan
setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas
tikar kecil." (HR. Bukhari no. 366 dan 368)
Jelas tidak, karena Rasul shallallahu’alaihiwasallam memakai tikar
kecil sebagai alas dan bukan menggunakan turbah karbala sebagai alas. Sedangkan
khamaini selain memakai kain alas sujud juga menambah turbah karbala, bukankah
ini berlebihan bila di bandingkan dengan hadits tersebut?????
Andaikan khamaini menggunakan alas sujud dengan tujuh lapis kain
pun kita masih bisa mentolerirnya. Namun masalahnya ia menggunakan turbah
karbala bukan kain atau tikar alas sujud.
Pertanyaan Keempat, Apakah tujuan sebenarnya khamaini menggunakan
turbah karbala????
Andaikan ada yang menyanggah dengan pernyataan bahwa khamaini
menggunakan tanah karbala pada dahinya dalam rangka lebih merendahkan diri
dihadapan Allah. Maka kami katakan, apakah kalian merasa lebih pintar dan
berilmu dibandingkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang sujud
menggunakan alas dari tikar kecil yang tidak menambah di atas tikarnya tersebut
sebongkah kecil tanah atau serbuk/debu tanah??????
Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahdzab : 21)
Kemudian Nabi shallallahu’alaihiwasallam juga bersabda :
فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah,
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap
bid'ah adalah sesat."(HR. Muslim no. 1435)
Karena itulah cukup kita berpegang dengan Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي
"Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”(HR.
Bukhari no. 595)
Bukan
berpegang dengan perbuatan khamaini yang bid’ah tersebut.
Bisa
jadi ada yang berkata”khamaini ketika sujud dia dalam keadaan ikhlas kepada
Allah” jadi jangan dipermasalahkan hal tersebut.
Kami
jawab : Syarat sahnya amalan itu diterima ada dua ;
1.
Ikhlas
kepada Allah (tidak Syirik kecil maupun Besar)
2.
Sesuai
dengan Petunjuk Allah dan Rasulnya (tidak berbuat bid’ah).
Sebagaimana
Firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi : 110)
Yang dimaksud dengan mengerjakan “amalan yang shalih” adalah amalan
yang sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya yaitu bukan perbuatan bid’ah.
Sedangkan arti “dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya” artinya ikhlas karena Allah semata.
Allah Ta’ala berfirman :
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“..Supaya Dia (Allah) menguji kalian, siapa diantara kalian yang
paling baik amalnya...”(QS. Al-Muluk :2)
Fudhail bin Iyadh berkata
(mengomentari ayat tersebut) :”
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ . قَالُوا : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ قَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ
صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ
يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ
وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ .
“Maksudnya amal yang paling ikhlas dan benar.” Kemudian mereka bertanya
:”Hai Abu Ali (Fudhail bin Iyadh), apa amal yang paling ikhlas dan benar?” Beliau
menjawab :”Sesungguhnya jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, tidak akan
diterima. Dan andaikan amal itu ikhlas tapi tidak benar, juga tidak diterima.
Yang diterima, amal ikhlas dan benar. Amal ikhlas ialah amal yang dilakukan
karena Allah, sedangkan amal yang benar ialah yang berdasarkan sunnah.” (Majmu’
al-Fatawa Ibnu Taymiyyah, 1/99)
Maka sujud di atas turbah karbala bukan amalan shalih namun amalan
qabih(buruk). Yang jelas bid’ah yang dilakukan khamaini adalah “amalan qabih.”
Nah sekarang jawaban yang tepat dari Tujuan khamaini sujud menggunakan turbah
karbala pada dahinya adalah dalam rangka bertabaruk(mencari berkah) dengan
tanah karbala.....inilah jawabannya.
Sudahlah tinggalkan dalih-dalih mencari alasan sampai – sampai
mengutip-ngutip perkataan Imam Syafi’i yang tidak ditempatkan pada makna yang
ia maksud.
Sekarang kami persilahkan bagi Syaikh kami yang mulia Ahli Hadits
abad ini Syaikh Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah yang menerangkan
mengenai sujud dengan turbah Karbala dari Kitab Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, ketika beliau mengomentari hadits berikut:
قَامَ
مَنْ عِنْدِي جِبْرِيْلُ قَبْلُ فَحَدَّثَنِيْ أَنَّ الْحُسَيْنَ يُقْتَلُ بِشَطِّ
الْفُرَاتِ.
Telah datang malaikat Jibril di sisiku, lalu dia mengabarkan
kepadaku bahwa Husein akan dibunuh di Syaththil
Furaats (Karbala). (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/85);
dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dengan beberapa syawahid
(penguat-penguat hadits tersebut) dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, jilid III, hal. 159-162)
Setelah beliau men-takhrij dan menyebutkan berbagai syawahid-nya
secara lengkap, beliau berkata sebagai berikut: “Hadits-hadits ini[1]
tidak menunjukkan kesucian tanah Karbala, keutamaan sujud di atas tanah
tersebut dan tidak pula menunjukkan sunnah menjadikan qursh (batu
lempengan) dari tanah Karbala untuk sujud di atasnya ketika shalat sebagaimana
yang dilakukan kaum Syi’ah pada hari ini. Kalau hal ini termasuk perkara sunnah, maka
menjadikan qursh dari tanah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi
(Madinah) paling pantas untuk sujud di atasnya ketika shalat, tetapi hal ini
merupakan bid’ah Syi’ah dan sikap ghuluw mereka dalam mengagungkan ahlul
bait dan peninggalan-peninggalan mereka.
Termasuk dari keanehan kaum Syi’ah yang lain ialah pendapat mereka
bahwa akal termasuk sumber tasyri’ (yang dijadikan patokan dalam
syari’at). Oleh karena itu mereka mengatakan baik dan jelek berdasarkan akal.
Bersamaan dengan hal ini (akal sebagai sumber tasyri’), mereka
meriwayatkan atsar tentang keutamaan sujud di atas tanah Karbala,
padahal atsar tersebut adalah termasuk hadits-hadits yang dapat
dibuktikan kebatilannya oleh akal yang sehat secara aksioma.[2]
Aku (Syaikh Al-Albani) mendapatkan risalah (tulisan / karangan) yang ditulis oleh
seorang Syi’ah yang biasa dipanggil As-Sayyid Abdur-Ridla Al-Mar’isyi
Asy-Syihristaani (selanjutnya disingkat ARMS –pent.) dengan judul As-Sujud
‘ala At-Turbah Al-Husainiyyah pada hal. 15 dia berkata: “Telah
diriwayatkan bahwa sujud di atas tanah Karbala paling utama karena kemuliaan
dan kesucian tanah tersebut. Serta kesucian orang yang dikubur di tanah
tersebut". Dan telah diriwayatkan hadits dari A`imatil ‘Ithrah
Ath-Thahirah alaihimus salam[3]
bahwa sujud di atas Karbala menerangi bumi yang ketujuh. Dalam riwayat
lain: “Dapat menembus ketujuh hijab". Dan dalam riwayat lain: Allah
menerima shalat orang yang bersujud di atas tanah Karbala yang Dia tidak
menerima shalat orang yang bersujud di selainnya. Dalam riwayat lain bahwa sujud
di atas tanah kuburan Husein menerangi bumi.”
Hadits-hadits seperti ini jelas kebatilannya menurut kami dan para
Imam Ahlul Bait radliyallahu ‘anhum berlepas diri dari hadits-hadits
tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak memiliki sanad-sanad di sisi mereka,
sehingga dimungkinkan untuk dikritik dari segi ilmu hadits dan ushul-ushul ilmu
hadits. Hadits-hadits tersebut hanyalah hadits-hadits yang mursal[4]
dan mu’dlal[5].
Penulis risalah tersebut belum puas memenuhi risalahnya dengan
nukilan-nukilan ini yang dianggap dari para imam Ahlul Bait. Bahkan dia
mengelabui para pembaca bahwasanya nukilan-nukilan tersebut seperti
nukilan-nukilan kita Ahlus Sunnah. Dia mengatakan (pada hal. 19):
“Hadits-hadits keutamaan tanah Husainiyyah (tanah Karbala) dan
kesuciannya tidak terbatas pada hadits-hadits para Imam Ahlul Bait alaihimus
salam karena hadits-hadits yang serupa dengan hadits-hadits ini masyhur
(terkenal) dan banyak terdapat dalam kitab-kitab induk firqah Islam yang lain
dari jalan ulama-ulama dan rawi-rawi mereka. Di antaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Suyuthi dalam kitabnya Al-Khasha`ishul Kubra bab Ikhbarun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biqatlil Husein alaihis salam. Dia
meriwayatkan dalam kitab tersebut sekitar 20 hadits dari tokoh-tokoh yang
terpercaya di kalangan mereka seperti Al-Hakim, Al-Baihaqi, Abu Nu’aim,
At-Thabrani, Al-Haitsami dalam Al-Mujma’ (9:191) dan lain-lain dari
perawi-perawi mereka yang terkenal.”
Wahai saudarakum muslim, ketahuilah bahwasanya tidak ada pada
As-Suyuthi dan tidak pula pada Al-Haitsami satu hadits pun yang menunjukkan
keutamaan tanah Al-Huseiniyyah (tanah Karbala) dan kesuciannya.
Setiap nukilan yang ada pada kitab-kitab tersebut yang sesuai kosa
kata-kosa katanya sesungguhnya hanya berupa pengkhabaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang terbunuhnya Husein di tanah Karbala. Dan baru
saja aku (As-Syaikh Al-Albani) paparkan intisari-intisari nukilan tersebut.
Apakah kalian dapatkan pada kitab-kitab tersebut sebagaimana yang dinyatakan
oleh Syi’ah ini (ARMS) pada risalahnya atas As-Suyuthi dan Al-Haitsami?
“Demi Allah, tidak! Tetapi, Syi’ah dalam mendukung kesesatan
bid’ahnya menggunakan dalil yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Dia (orang
Syi’ah ini) terus menerus membuat pengkaburan terhadap para pembaca bahkan
sampai berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sebagaimana perkataannya pada hal. 13:
“Orang pertama yang menjadikan batu lempengan dari tanah untuk
sujud di atasnya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada tahun ketiga hijriah tatkala terjadi peperangan yang luar biasa antara
kaum muslimin dan Quraisy pada perang Uhud dan gugur pada peperangan tersebut
tokoh yang paling agung dalam Islam yaitu Hamzah bin Abdil Muthalib paman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada para wanita Islam untuk berniyahah
(meratap) atas kematian Hamzah tersebut pada setiap pertemuan. Perkara
pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para shahabat) mengambil tanah
kuburannya unntuk meminta berkah dan sujud di atasnya karena Allah Ta’ala dan
mereka membuat alat tasbih dari tanah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam
kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah. Dan para tabi’in melakukan yang
demikian ini. Di antaranya Al-Faqih…”
Kitab tersebut di atas (Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah)
merupakan bagian kitab-kitab Syiah. Wahai pembaca yang mulia! Perhatikanlah!
Bagaimana dia berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan pernyataannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang pertama yang menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya.
Selanjutnya tidaklah dia memaparkan (‘atsar) untuk menopang pernyataannya
tersebut kecuali kepada kedustaan yang lain, yaitu perintah Rasulullah kepada
para wanita untuk meratap kematian Hamzah pada setiap pertemuan, padahal tidak
ada kaitan antara perintah niyahah ini –sekalipun shahih- dengan menjadikan
batu lempengan untuk sujud di atasnya sebagaimana yang tampak. Perintah niyahah
ini tidak benar (tidak sah) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana hal ini terjadi, padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
membai’at para wanita agar mereka tidak berniyahah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari Umu ‘Athiyyah
(lihat kitab kami Ahkamul Jana’iz hal. 28). Dan tampak bagiku bahwasanya
dia (penulis) menyertakan kedustaan yang ketiga kepada kedustaan di atas, yaitu
ucapannya tentang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“… perkara tentang pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka
(para shahabat) mengambil tanah kuburannya untuk meminta berkah dan sujud di
atasnya karena Allah Ta’ala…” Hal ini adalah kedustaan atas para shahabat radliallahu
‘anhum. Dan mustahil para shahabat mendekati pemujian berhala seperti ini.
Cukup bagi pembaca melihat bukti kedustaan orang Syi’ah ini atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwasanya dia tidak bisa menisbatkan
(menyandarkan) yang demikian ini kepada sumber yang ma’ruf dari sumber-sumber
kaum muslimin kecuali kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah yang
termasuk kitab-kitab orang-orang akhir di kalangan mereka dan tidak diketahui
pengarangnya. Orang Syi’ah ini (ARMS) tidak berani menyebutkan nama pengarang
kitab tersebut dan menuntupi identitasnya agar tidak terbuka kedoknya
(kejelekan dan kesalahannya) dengan penyebutan nama pengarang tersebut yang hal
ini sebagai sumber kedustaannya.
Penulis (ARMS) belum puas menyuguhkan kedustaannya terhadap as-salaful
awwal bahkan berlanjut kedustaan terhadap orang setelah mereka.
Perhatikanlah lanjutan ucapannya di atas:
“Dan di antara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Al-Ajda’
meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’i besar yang tergolong rijal shihah
yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah
dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al-Hafidh Imamus Sunnah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al-Mushannaf
jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ‘Alaihi. Dia
mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan dua sanad, bahwasanya Masruq apabila
safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk
sujud di atasnya.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan: “Dalam ucapan ini banyak kedustaan:
1. Ucapannya: “Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dalam
safar-safarnya.” Ucapan safar ini mencakup safar di daratan dan ini menyelisihi
atsar yang dia sebutkan (yaitu di laut –pent.)
2. Penetapan penulis bahwa Masruq melakukan demikian memberikan
(makna) bahwa atsar tersebut tsabit dari Masruq padahal tidak demikian, bahkan dhaif
munqathi’[6]
sebagaimana akan datang penjelasannya.
3. Ucapannya: “… dengan dua sanad” adalah dusta. Sesungguhnya
sanadnya hanya satu yang bersumber dari Ali Muhammad bin Siriin. Terjadi
perselisihan tentang Ali Muhammad bin Siriin dalam atsar ini. Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (2/43/2) dari jalan Yazid bin Ibrahim
dari Ibnu Siriin bahwa dia (Yazid) berkata: “Aku khabarkan bahwa Masruq membawa
batu lempengan dalam perahu untuk sujud di atasnya.” Dan dari jalan Ibnu ‘Aun
dari Muhammad bahwasanya Masruq apabila safar dalam perahu dia membawa batu
lempengan untuk sujud di atasnya.”
Anda dapat melihat bahwa atsar yang pertama dari jalan Ibnu Siriin
dan yang lain (kedua) dari jalan Muhammad yang dia itu tidak lain adalah Ibnu
Siriin juga. Maka sanad ini pada hakikatnya satu sanad. Tetapi Yazid bin
Ibrahim berkata darinya (Ibnu Siriin): “Aku khabarkan”. Dia (Yazid) menetapkan
bahwa Ibnu Siriin melakukan demikian dengan perantaraan Masruq sedangkan Ibnu
‘Aun tidak menetapkan demikian. Masing-masing dari keduanya (Yazid bin Ibrahim
dan Ibnu ‘Aun) tsiqah/terpercaya dalam periwayatan (‘atsar), hanya saja Yazid
bin Ibrahim membawa tambahan ini (“Aku khabarkan”) dalam sanadnya. Maka
tambahan tersebut diterima sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Musthalah
(Ilmu Musthalah Hadits) bahwa: “Orang yang hafal sebagai hujjah atas orang yang
belum hafal.” Dan atas dasar ini maka penyandaran perbuatan ini kepada Masruq
adalah dhaif (lemah) yang tidak tegak hujjah dengannya karena sumber
atsar tersebut adalah satu rawi yang tidak disebut namanya (majhul).
Maka tidak boleh penetapan dengan menisbatkan perbuatan tersebut pada Masruq radliallahu
‘anhu wa rahimahu sebagaimana yang dilakukan oleh orang Syi’ah ini (ARMS).
4. Orang Syi’ah ini (penulis/ARMS) telah memasukkan pada atsar ini
tambahan yang tidak ada asalnya pada Al-Mushannaf yaitu ucapannya: “Dari
tanah Madinah Munawwarah.” Tidak ada penyebutan tambahan ini pada masing-masing
riwayat tersebut sebagaimana yang anda lihat.
Tahukah anda kenapa orang Syi’ah ini mengadakan tambahan dalam
atsar ini. Telah jelas baginya bahwa pada atsar tersebut tidak ada dalil secara
mutlak atas pengambilan batu lempengan dari bumi Al-Mubaarakah (Madinah
Munawarah) untuk sujud di atasnya apabila dia membiarkan sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Oleh karena itu ia sertakan tambahan ini
pada atsar tersebut untuk mengelabui para pembaca bahwa Masruq rahimahullah
menjadikan batu lempengan dari Madinah untuk sujud di atasnya dalam rangka
minta barakah. Apabila hal ini tsabit ia sertakan pada atsar ini
kebolehan menjadikan lempengan dari tanah Karbala dengan seluruh penyertaan
sebagai bumi yang disucikan.
Apabila anda mengetahui bahwa yang dijadikan qiyas atasnya
adalah batil dan tidak ada asalnya, melainkan hanya berupa rekaan (perbuatan
bohong) orang Syi’ah tersebut (ARMS) maka anda mengetahui bahwa mengqiaskan
kepadanya juga batil. Sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah: “Tidak akan
tegak (lurus) suatu bayangan sedangkan tongkat itu bengkok.”
Wahai pembaca yang mulia, perhatikanlah keberanian Syi’ah yang luar
biasa atas pendustaan ini sampai mereka berdusta atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam rangka mendukung kesesatan yang ada pada mereka.
Perhatikan yang demikian ini niscaya akan jelas bagi anda kebenaran orang yang
mensifati mereka dari kalangan aimmah dengan ucapan: “Sedusta-dusta kelompok
adalah Rafidlah (Syi’ah Rafidlah).”
Termasuk kedustaan-kedustaan adalah ucapannya (halaman 9):
“Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (!) (1/331) bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membenci shalat di atas sesuatu yang bukan tanah.”
Perkataan ini adalah dusta dari dua sisi:
1. Tidak terdapat dalam shahih Bukhari lafadz ini, tidak dari
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari kalangan salaf.
2. Atsar tersebut disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarhihi
ala Al-Bukhari (1/388-cetakan al-Bahiyyah) dari ‘Urwah dia berkata: “Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Urwah dan Az-Zubair bahwasanya dia membenci
shalat atas sesuatu yang bukan selain tanah.”
(Diterjemahkan oleh al Faqir ila maghfiratil Jaliil Abu Sa’id
Hamzah bin Halil dari Kitab Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah/Al-Albani jilid 3
hal. 162-166)
Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi’ul Awwal/1417/1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar