Menyongsong Khilafah Kasyidah di atas Minhaj Nubuwah

3 Desember 2012

Berpegang Kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi Bagian Pertama



Berpegang Kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi

Membongkar Makar Busuk syiah rafidhah
(Hadiah ‘Iedul Adha bagi Singa-singa Ahlus Sunnah Malaysia)

Bagian Pertama  
(Part 1)

Abu Haura Ahmad Junayd bin Ahmad Dzulkifli
(Jun Lab)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و أصحابه أجمعين

Merupakan perkara aneh pada akhir-akhir ini, di mana kita melihat bersemangatnya para syetan Syiah Rafidhah membahas takhrij dan tahqiq dari sanad-sanad riwayat hadits yang berasal dari kitab-kitab induk Ahlus Sunnah. Padahal kaum syiah terkenal atau masyhur dengan acuh tak acuhnya atau masa bodohnya mereka terhadap ilmu riwayat hadits. Hal ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab mereka yang penuh dengan riwayat palsu dan lemah yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam atau kepada Ahli Bait radhiyallahu’anhum.

Sudah bukan rahasia umum lagi, pada dasarnya ilmu riwayat hadits berasal dari kaum Ahlus Sunnah atau Sunni. Sedangkan kaum syiah rafidhah tertinggal jauh dalam mempelajarinya. Mereka sendiri sebenarnya hanya mencuri ilmu hadits dari ahlus sunnah. Sehingga mereka tidak memiliki sedikitpun jasa dalam membangun ilmu hadits ini. Berkata pendeta mereka Al-Ha’iriy dalam kitabnya :”Muqtabsul Atsar (3/73), :
”Termasuk informasi yang tidak diragukan oleh seorangpun, yaitu tidak pernah disusun ilmu dirayatul hadits dari ulama-ulama kita (syi’ah rafidhah-pen) sebelum asy-Syahid ats-Tsaniy.”

Yang dimaksud dengan asy-Syahid ats-Tsaniy adalah Zainuddin al-‘Amiliy (mati tahun 965 H). Dan mereka mempelajari ilmu hadits terjadi tatkala kepalsuan mereka tersingkap. Maka itulah kerusakan pada buku-buku mereka yang dipenuhi riwayat palsu dan dusta serta lemah merupakan perkara yang mahsyur(populer).

Yang menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa mereka bersemangat membahas ilmu riwayat hadits dengan fokus(focus) pembahasan pada riwayat-riwayat hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab riwayat hadits ahlus sunnah?”.
Jawabannya mudah. Pada hakikatnya mereka merasa buku-buku karangan para pendeta dan syetan mereka tidak akan laku atau tidak diminati oleh kalangan sunni dikarenakan hujjah-hujjah mereka berasal dari riwayat-riwayat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Lalu dengan mempergunakan sedikit keahlian dalam ilmu riwayat hadits yang telah mereka contek (plagiarize) dari ulama ahli hadits dari kaum ahlus sunnah, mereka membuat tipu muslihat (trickery) untuk menguatkan kesesatan agama syiah rafidhah mereka.

Salah satu tipu muslihat mereka adalah menolak riwayat hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang berbunyi :

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا  بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, yang mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh keduanya, yaitu : kitab Allah dan sunnahku, keduanya  tidak akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di haudh(telaga kautsar).”

Mereka bergembira sekali tatkala menemukan bahwa pada thuruq(jalur/jalan para perawi) terdapat perawi yang dhaif (lemah). Dan tidak satupun ulama ahli jarh wa ta’dil ahlus sunnah yang menyatakan tsiqah(kuat)-nya para perawi yang lemah tersebut. Para pengikut Syiah rafidhah gembira sekali dengan hal ini. Lalu mereka berusaha untuk membatasi keshahihan hanya pada riwayat yang berbunyi :

وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua hal yang berat kepada kalian, yaitu: Pertama, Al-Qur 'an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al Qur'an. Kedua, keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku." (HR. Muslim no. 4425)

Tujuan jahat mereka ini pada dasarnya ingin menyesatkan kaum sunni dengan suatu kesimpulan bahwa ahli bait adalah pedoman hidup (way of life) satu-satunya setelah Al-Quran. Sehingga berdasarkan ideologi agama mereka yang sesat menyatakan bahwa barangsiapa yang menyelisihi ahli bait dalam perkara apapun maka mereka adalah orang-orang sesat. Maksudnya para sahabat radhiyallahu’anhum yang pernah berselisih dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu adalah orang-orang sesat. Bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka menyatakan kafirnya para sahabat yang pernah berselisih dengan Ali -semoga Allah meridhai mereka semua dan melaknati para pemeluk agama syiah rafidhah-. Sehingga setiap sunnah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallahu’anhum yang pernah berselisih dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu adalah tertolak(mardud-مردود-) bila menyelisihi kesesatan mereka.

Cara mereka ini dengan metode berlebih-lebihan (غُلُو/إفْرَاط) memuliakan Ahli bait hingga pada tingkat ketuhanan yang menyebabkan kesyirikan pada satu sisi, dan menjatuhkan martabat sahabat lainnya hingga pada tingkat pengkafiran terhadap para sahabat walaupun terhadap para sahabat yang masuk dalam kategori sepuluh sahabat yang di beri kabar gembira dengan surga sebagai tempat tinggalnya nanti di akhirat, merupakan cara politik belah bambu yang tujuannya adalah mengadu domba para sahabat, di satu sisi bambu yang terbelah di angkat, sedangkan bambu yang lain di injak.

Baiklah, karena saya telah berjanji untuk menjawab dan membantah artikel yang berjudul ;
“Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” « Analisis Pencari Kebenaran.

Maka dengan bertawakal dan mengharapkan taufik serta pertolongan dari Allah, saya mencoba untuk memenuhi permintaan dari saudara kami singa-singa Ahlus Sunnah Malaysia yang kami cintai –barakallahu fikum-.

Pembahasan ini akan saya bagi dua, yaitu ; pembahasan dari segi sanad, dan pembahasan dari segi matan.

Namun sebelumnya saya ingin memberikan tambahan penjelasan bahwa walaupun hadits yang berbunyi”Kitab Allah dan Sunnahku” tidak ada sama sekali, atau tidak pernah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sabdakan atau ucapkan (said) maka hal itu tidaklah mengugurkan (failed) atau membatalkan kewajiban berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah Rasul di atas pemahaman tiga generasi yang terbaik(sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in). Apalagi hanya sebatas menyatakan hadits tersebut lemah.!!!!!!!

Mengapa begitu ??? Jawabnya, karena Al-Quran maupun Sunnah dan Ijma’ umat Islam (ingat Syiah Rafidhah bukanlah bagian dari umat Islam), menyatakan :”tidak mungkin Al-Quran dapat dilaksanakan/diamalkan(practice) kecuali berdasarkan penjelasan dari As-Sunnah Rasulullah “ sebagaimana Allah berfirman :

وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan telah kami turunkan kepada mu (Muhammad) Al-Dzikra(Al-Quran) agar engkau menjelaskan kepada manusia mengenai segala sesuatu (al-Quran) yang telah diturunkan kepada mereka  agar mereka berfikir. “(QS. An-Nahl : 44)

Maka itulah tatkala Imam Besar Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah pernah ditanya :
هذه الأحاديث الموضوعة؟ فقال : تعيش لها الجهابذة, (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ)
“Bagaimana dengan hadits-hadits yang palsu ini ?” Maka beliau menjawab:”Hal itu merupakan tugas para ahli hadits, (sebagaimana Allah berfirman) :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Dzikra(Al-Quran) dan sesungguhnya Kami pula yang akan menjaganya (memeliharannya).”(Al-Baa’its Al-Hatsiist syarh Ikhthishaar ‘Uluum Al-Hadiits lil Hafizh Ibni Katsir, dengan tahqiq dari Syaikhul Hadits Al-Azhhar Ahmad Muhammad Syakir, hal. 72)

Maka yang dimaksud bahwasannya Allah akan menjaga Al-Dzikra (Al-Quran), bukan hanya sebatas menjaga Al-Quran, namun juga termasuk menjaga penjelasannya yaitu as-Sunnah. Karena tidak akan mungkin Hujjah dari Al-Quran dapat tegak (إقامة الحجة) dengan sempurna kecuali dengan adanya As-Sunnah. Ingatlah(remember) As-Sunnah adalah bagian dari wahyu Allah, dimana Allah berfirman :

وَمَا ينْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tidaklah apa yang dia (Muhammad) ucapkan berasal dari hawa nafsunya, namun ucapan itu tiada lain hanyalah berasal dari wahyu yang diwahyukan.”(QS. An-Najm : 3-4)

Dan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun menyatakan bahwa sabda yang beliau ucapkan bagian dari wahyu yang diturunkan bersama Al-Quran, beliau bersabda :

أَلَا إنّي أُوْتيْتُ الْقُرْآنَ وَمثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah bahwasannya aku telah dianugerahi (give me) Al-Quran dan semisalnya(As-Sunnah) bersamanya.”(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Hakim dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

Kesimpulannya, As-Sunnah adalah way of life kedua setelah Al-Quran yang akan terjaga hingga hari akhir yang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Karena itulah Allah berfirman :

فَإِنْ تنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Maka jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’ : 59)

Jelas kita tidak pernah menemukan satu ayatpun, yang menyatakan bila terdapat perselisihan maka kembalikanlah pada para sahabat baik dari kalangan ahli bait maupun yang bukan dari kalangan ahli bait sekalipun. Karena para sahabat -radhiyallahu’anhum dan laknatullah bagi Rafidhah- tidak ma’sum(غير معصوم) yang terbebas dari kesalahan dan dosa. Adapun perintah mengikuti para sahabat baik dari kalangan ahli bait maupun yang bukan ahli bait adalah karena mereka mengikuti dan  paling mengerti Al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Maka itulah Allah berfirman :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl : 43)

Dari Firman Allah di atas, bahwasannya dasar seseorang diikuti adalah karena adanya pengetahuan mereka yang lurus mengenai ilmu Allah dari Al-Quran maupun As-Sunnah bukan karena Nasab( keturunannya).

Tidak diragukan lagi kaum syiah rafidhah adalah kaum sesat lagi menyesatkan dan mereka bukan bagian dari Umat Islam. Namun mereka adalah para pemeluk agama rafidhah yang nabi mereka adalah Ibnu Saba’. Hal itu karena mereka telah memusuhi para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan lebih mengutamakan sabda Ibnu Saba’ untuk memusuhi para Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang mana para sahabatlah pintu-pintu menuju kebenaran Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena sahabatlah yang telah mengumpulkan Al-Quran dan menyampaikan Sunnah Rasul. Maka memusuhi sahabat berarti memusuhi Al-Quran dan Sunnah. Memusuhi sahabat berarti memusuhi agama ini. Memusuhi sahabat berarti memusuhi Allah dan Rasul-Nya yang telah mempercayakan amanat kebenaran Islam kepada mereka setelah wahyu terputus dengan wafatnya Baginda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Selesai penjelasan tambahan ini.

Sekarang saatnya saya akan membahas bagaimana kedudukan riwayat hadits yang berbunyi:

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا  بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, yang mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh keduanya, yaitu : kitab Allah dan sunnahku, keduanya  tidak akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di haudh(telaga kautsar).”

Lafazh (text) riwayat di atas berasal dari riwayat Al-Hakim no. 291 dalam Al-Mustadraknya. Selain itu riwayat yang serupa dapat ditemukan pada Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Kubra Bayhaqi dan terdapat pula di dalam Al-Muwatha’ Imam Malik bin Annas secara Munqathi’ serta diriwayatkan pula dari Urwah bin Zubair secara Mursal di dalam Sunan Al-Bayhaqi dan sebagainya (etc.).

Para syetan Rafidhah berusaha untuk menolak riwayat tersebut dengan menyerang beberapa perawi hadits tersebut seperti Shalih bin Musa Ath-Thalhi, Isma’il bin Abdullah bin Abdullah bin Uwais (Ibnu Abi ‘Uwais) dan Ayahnya,  Katsir bin Abdullah, dan Saif bin UmarAt-Tamimi. Sekaligus mereka mempermasalahkan kemursalan riwayat ‘Urwah bin Zubair serta munqathi’nya riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwatha’nya.

Untuk memulai pembahasan, saya akan membahas kemursalan dari Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu’anhu. Urwah bin Zubair adalah pembesar Tabi’in (Kibarut-Tabi’in) yang banyak meriwayatkan hadits dari bibinya (khaalah/خالة) yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha, dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Ummul Mukminin Ummu Habibah radhiyallahu’anha, dari Ibunya Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu’anha, Abu Hurayrah, Ibnu Abbas –radhyallahu’anhum- dan lainnya.

Dari sini kita bisa mengetahui kebodohan dari para pendeta syiah rafidhah yang langsung begitu saja melemahkan riwayat yang berasal dari Urwah bin Az-Zubair ini semata-mata karena ketidaktahuan dari siapakah Urwah bin Az-Zubair mendapatkan riwayat hadits ini.

Suatu kebodohan untuk mendhaifkan atau melemahkan setiap riwayat yang mursal tanpa  memperhatikan pengecualian pada beberapa keadaan.

Seperti mursalnya riwayat Sa’id bin Al-Musayyib tidaklah menjadikan riwayat darinya berlaku hukum ‘inqatha’ (terputus)  sebagaimana kebanyakan para perawi lainnya.

Berkata Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi :

وَمَرَاسِيْلُ سَعِيْدٍ مُحْتَجٌّ بِهَا............. قالَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ: مُرْسَلاَتُ سَعِيْدِ بنِ المُسَيِّبِ صِحَاحٌ.

 “Dan kemursalan Sa’id (bin Al-Musayyib) adalah hujjah..........berkata Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya :”Kemursalan Sa’id bin Al-Musayyib adalah shahih”.(Siiru A‘laam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 4/221-222)

Maka itulah Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :

ومنقطع السند بجميع أقسامه مردود؛ للجهل بحال المحذوف, سوى ما يأتي :
1.      مرسل الصحابي.
2.      مرسل كبار التابعين عند كثير من أهل العلم, إذا عضده مرسل آخر, أو عمل صحابي أو قياس.
3.      المعلّق إذا كان بصيغة الجزم في كتاب التزمت صحته ((كصحيح البخاري)).
4.      ما جاء متصلا من طريق آخر, وتمت فيه شروط القبول.
“Dan munqathi’(keterputusan) sanad pada setiap bagiannya adalah tertolak, karena ketidaktahuan terhadap kondisi rawi yang terhapus namanya, kecuali dalam kondisi berikut:
1.      Kemursalan para sahabat.
2.      Kemursalan para pembesar Tabi’in sebagaimana pendapat sebagian besar ulama, tatkala dikuatkan oleh riwayat mursal lainnya, atau amalan sahabat atau sesuai dengan Qiyas(analogi yang shahih).
3.      Mu’allaq dengan bentuk lafazh yang pasti berasal dari kitab yang dinyatakan kuat keshahihannya (seperti shahih Bukhari).
4.      Riwayat yang terdapat padanya pula riwayat lain yang mutashil (tersambung sanadnya) dari jalan rawi yang lain, dan telah terpenuhi syarat-syarat penerimaannya.
(Mushthalahul Hadiits, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, hal.23)

Maka bila kita memperhatikan kedudukan Urwah bin Az-Zubair al-‘Awwam sebagai seorang Pembesar Tabi’in yang disejajarkan dengan kedudukan Sa’id Al-Musayyib, dan ‘Alqamah bin Qais. Maka tidak diragukan bahwa kemursalan riwayat Urwah bin Az-Zubair ini adalah hujjah. Dimana diduga kuat ia mendengarnya dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau dari Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu’anhum- yang mana mereka semua adalah pelaku sejarah dalam haji wada’. Maka itulah suatu kebodohan bila terburu-buru menolak riwayat Urwah ini.

Hal ini dari satu sisi, ditambah lagi bahwasannya kemursalan riwayat Urwah diperkuat oleh adanya riwayat-riwayat muttashil yang berasal dari Abu Hurairah, ‘Amru bin ‘Auwf dan Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhum-.

Ya benar, pada riwayat Abu Hurairah terdapat perawi yang lemah (dhaif) yaitu Shalih bin Musa Ath-Thalhi. Namun bagaimanakah posisi kelemahan kedhaifannya? Apakah kelemahannya pada ke-Dhabitannya(kekuatan hafalannya) atau juga pada ke-adilannya (kejujuran)?

Memang benar Imam Bukhari mengatakan :

منكر الحديث عن سهيل بن أبى صالح .
“Munkarul Hadits dari riwayat Suhail bin Abi Shalih”(Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

 Begitu juga Abi Hatim menyatakan :

ضعيف الحديث ، منكر الحديث جدا ، كثير المناكير عن الثقات
“Dhaiful Hadits(lemah), sangat munkarul hadits, dan banyak sekali riwayat-riwayat munkar dari para tsiqat.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Pernyataan Imam Bukhari tersebut merupakan jarh(celaan) terhadap ke-adilan Shalih bin Musa Ath-Thalhi. Dimana Imam Bukhari bila menyebutkan bahwa perawi adalah munkarul hadits maka maksudnya siperawi dicurigai adalah pendusta. Sebagaimana Imam Bukhari mengatakan :

كل من قلت فيه : منكر الحديث؛ فلا تحل الرواية عنه
“Setiap orang yang kami katakan dia adalah : Munkarul Hadits, maka tidak boleh mengambil riwayat darinya.”(Al-Miizan lidz-Dzahabi, 1/5)

Namun pernyataan Imam Bukhari ini tidak serta merta dibenarkan. Yang benar adalah Shalih bin Musa Ath-Thalhi merupakan perawi lemah sebagaimana yang dikatakan Abu Ahmad bin ‘Adi :

عامة ما يرويه لا يتابعه عليه أحد . و هو عندى ممن لا يتعمد الكذب ، و لكن يشبه عليه و يخطىء.
“Pada umumnya apa yang ia riwayatkan tidak ada satu pun orang yang mengikutinya. Menurut saya dia bukanlah orang yang dengan sengaja berdusta, akan tetapi terdapat kesamaran atasnya dan kekeliruan.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Begitu juga Al-Juzajani mengatakan :

ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ عَلَى حُسْنِهِ.
“Dia adalah dhaiful hadits(lemah) di atas persangkaan baik terhadapnya.”(Siru A’laamun Nubala, 8/181)

Begitu pula Ibnu Hibban berkata :
و قال ابن حبان : كان يروى عن الثقات ما لا يشبه حديث الأثبات حتى يشهد المستمع لها أنها معمولة أو مقلوبة ، لا يجوز الاحتجاج به .
Dia biasa meriwayatkan dari para perawi tsiqat sesuatu yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah atau maqlubah (terbalik),  tidak diperbolehkan berhujjah dengannya.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Maka kelemahan Shalih bin Musa Ath-Thalhi berasal dari segi hafalan bukan dari segi keadilan. Maka itulah riwayat yang kita bahas dapat menjadi kuat tatkala terdapat riwayat muttasil lainnya atau mursal yang mana para perawinya tidak tertuduh pendusta.

Adapun Ismail bin Abdullah bin abdullah bin ‘Uwais dan ayahnya berstatus dhaif. Namun mereka adalah shaduq. Mengenai riwayat dari Daruqutni berupa pernyataan bahwa Ismail bin Ibnu Abi ‘Uwais berkata :

رُبَّمَا كُنْتُ أَضَعُ الحَدِيْثَ لأَهْلِ المَدِيْنَةِ إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ فِيْمَا بَيْنَهُم.
“Kadangkala aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu yang terjadi di antara mereka”.

Mengenai riwayat ini, Abu Bakar Al-Barqani pernah bertanya kepada Imam Daruqutni :

مَنْ حَكَى لَكَ هَذَا عَنِ ابْنِ مُوْسَى؟ قَالَ: الوَزِيْرُ -يَعْنِي: ابْنَ حِنْزَابَه- وَكَتَبتُهَا مِنْ كِتَابِهِ.
“Siapakah orang yang telah menceritakan riwayat ini yang berasal dari Ibnu Musa kepada anda? Maka Imam Daruquthni menjawab :”Al-Wazir(menteri)- yaitu Ibnu Hinzabah- dan aku menyalin dari bukunya.”( Siiru A’laamun Nubala, 10/391)

Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqalani menerangkan riwayat tersebut :

وهذا هو الذى بان للنسائى منه حتى تجنب حديثه و اطلق القول فيه بأنه ليس بثقة ، و لعل هذا كان من إسماعيل فى شبيبته ثم انصلح .
“Inilah riwayat yang menyebabkan An-Nasaai menjauhi haditsnya, dan memutlakan pernyataan tersebut padanya bahwasannya dia bukanlah perawi yang tsiqah. Dan barangkali hal ini adalah keadaan Ismail di masa remajanya lalu dia berubah memperbaiki dirinya.”(Tahdzib At-Tahdzib,1/311)

Bersambung ( To be continued) Insya Allah














3 Juli 2012

MELURUSKAN PEMAHAMAN HADITS SUJUD DI ATAS BUMI Dan bid’ahnya sujud dengan turbah karbala


MELURUSKAN PEMAHAMAN HADITS SUJUD DI ATAS  BUMI
Dan bid’ahnya sujud dengan turbah karbala
BRIGADE PEMBUNGKAM MULUT SYIAH
“Jangan pernah mimpi Syiah merasa lebih paham dari kami Ahlus Sunnah”
Ketidak tahuan bahasa arab menyebabkan syiah rafidhah memperdaya anda dalam memahami hadits berikut ini :
جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً
“Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi mensucikan.”
Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan teks hadits secara lengkap di bawah ini :
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
"Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi mensucikan. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia." (Shahih HR. Bukhari no. 323 dan 419, Muslim no. 810, Nasa’i no. 429, Ahmad no.2606, 13745, 20337,20352,dan 20463, dan darimi no. 1353 dan 2358 )
Makna Al-ardhu ( الأرْضِ ) dari hadits ini bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah bumi. Memaknai kata Al-ardhu ( الأرْضِ ) dengan tanah pada hadits ini merupakan kerancuan. Karena kita dapat menemukan perincian kata Al-ardhu dalam hadits berikut ini :
Dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu yang berkata:” Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam :
 فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدْ الْمَاءَ وَذَكَرَ خَصْلَةً أُخْرَى
“Kami diberi keutamaan atas manusia lainnya dengan tiga hal: (pertama), Shaf kami dijadikan sebagaimana shaf para malaikat. (Kedua), ( الأرْضِ ) bumi dijadikan untuk kami semuanya sebagai masjid. (Ketiga), dan ( تُرْبَتُهَا ) debu/tanahnya dijadikan suci untuk kami apabila kami tidak mendapatkan air.' (Shahih HR. Muslim no. 811)
Perhatikan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memperinci kata Al-Ardhu. Dimana Al-Ardhu menurut Rasulullah adalah bumi itu sendiri sedangkan Turbah (tanah/debu) adalah bagian dari Al-Ardhu( bumi) tersebut.
Dan perhatikan pula riwayat berikut ini :
Dari Ummu Salamah :“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda telah berkata Jibril ‘alaihiwasallam kepada beliau :
إِنَّ أُمَّتَكَ سَتَقْتُلُ هَذَا بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا : كَرْبَلاءُ " ، فَتَنَاوَلَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنْ تُرْبَتِهَا ، فَأَرَاهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya keturunan  anda ini (Husein radhiyallahu’anhu) akan dibunuh di (أَرْضٌ) bumi yang dikatakan tempatnya bernama  Karbala. Maka Jibril ‘alaihissalaam mengambil sebagian dari ( تُرْبَتِهَا ) tanahnya dan Nabi-pun melihatnya.”(Sanadnya Shahih HR. Thabrani,Al-mu’jam Al-Kabir  3/182)
Maka itulah bila hadits sebelumnya (HR. Bukhari no. 323 dan 419) kita lihat pada teks berikutnya yang berbunyi :
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
“Maka di mana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat”
Maka kata فَأَيُّمَا(dimana saja) menunjukkan keumumuan tempat di BUMI (termasuk di atas gedung bertingkat seratus sekalipun atau di atas kapal yang berlayar) sebagai masjid/tempat sujud. Hal ini juga diperkuat maknanya dengan hadits :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seluruh bumi adalah masjid (tempat sujud), kecuali kuburan dan kamar mandi." (Shahih HR. Ibnu Majah no. 737, Tarmidzi no. 236,  dan Abu Dawud no. 415 )
maka hadits ini menunjukkan الْأَرْضُ sebagai bumi atau tepatnya sebagai مَا يَطْأُهُ الْقَدَمُ (sesuatu yang diinjak oleh telapak kaki) atau lantai, kecuali kuburan dan kamar mandi.
Maka bila kita memperhatikan hadits berikut ini : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dia berkata :”
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَأَى رَجُلاً يُصَلِّى مَا يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ الأَرْضِ فَقَالَ « لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ الأَرْضِ مَا يُصِيبُ الْجَبِينَ »
“Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam-tatkala beliau melihat seseorang shalat(ketika sujud)  hidungnya tidak menyentuh الأرض bumi .Beliau bersabda :”Tidak ada shalat bagi orang yang tidak menyentuhkan hidungnya ke الأرض  bumi sebagaimana dahinya menyentuh ke الأرض  bumi.( Shahih HR. Daruquthni no.1335)
Maksud menyentuh hidung dan dahi ke bumi adalah menempelkan hidung dan dahi ke lantai tempat sujud bukan harus menyentuhkannya dengan tanah. Karena الأرض  (Al-Ardhu) disini diartikan sebagai مَا يَطْأُهُ الْقَدَمُ (sesuatu yang diinjak oleh telapak kaki) atau tepatnya lantai. Andaikan di artikan menyentuhkan dahi dan hidungnya ke الأرض  (Al-Ardhu) dengan makna menyetuhkannya ke-tanah, maka yang menjadi pertanyaan mengapa khamaini tidak menyentuhkan hidung di turbah(tanah) karbala-nya tersebut????? Namun cukup di atas sajadah sebagaimana yang nampak dalam foto tersebut!!!!!
Lalu perhatikanlah Firman Allah subhana wa ta’ala berikut ini:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (12)
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka BUMI (الأرْضِ). mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan." Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah : 11-12)
Apakah pantas kita mengartikan (الأرْضِ) sebagai tanah?? Maka akan menggelikan kedengarannya coba kita perhatikan :
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di(الأرْضِ) tanah.”
Lucukan kedengarannya!!!!!!!!coba cari saja ayat-ayat yang berbunyi  Al-Ardhu(الأرْضِ) di dalam Al-Quran akan terasa janggal bila semuanya diartikan dengan tanah(تُرْبَةٌ ). Karena kata Ardhu(الأرْضِ) dimaknai bumi yang meliputi lautannya, sungainya, danaunya, dan lapisan padang pasirnya maupun lapisan saljunya.
Lalu perhatikan lagi hadits berikut ini :
Dari Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد فوضع يديه بالارض استقبل بكفيه واصابعه القبلة
”Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam biasa jika beliau sujud meletakkan kedua tangganya ke (الأرض) bumi dengan menghadap kiblat kedua telapak tangan berserta jari-jemarinya.”(Sanadnya Shahih HR. Bayhaqi dalam Sunan Al-Kubra 2/113)
Andaikan Al-Ardhu (الأرض) di terjemahkan sebagai tanah, mengapa khamaini juga tidak meletakkan turbah karbala pada telapak tangannya ketika sujud???????
Jadi hadits-hadits tersebut bila dipakai sebagai dalil kebolehan sujud diatas turbah karbala merupakan perbuatan yang sangat-sangat salah alamat. Artinya sujud dengan dahi menyentuh turbah karbala tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan bahkan tidak ada dasarnya dari syariat Islam.
Adapun mengenai hadits berikut :
عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا

Dari Khabab bin Al-Arat berkata: “Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tentang sangat panasnya tanah yang kami letakkan padanya dahi dan telapak tangan kami, tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi)
Saya bertanya pada kalian dari manakah petunjuk bahwa para sahabat mengadu kepada Rasul untuk diperbolehkan menggunakan alas ketika sujud karena panasnya tanah tempat mereka sujud??????
Apakah kalian pura-pura tidak tahu bila terdapat hadits mengenai kebolehan menggunakan pengalas sujud??????
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ
dari Anas bin Malik berkata, "Kami shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu salah seorang dari kami meletakkan salah satu dari ujung bajunya di tempat sujudnya karena panasnya tempat sujud." (HR. Bukhari no. 372)
jadi maksud dari hadits riwayat Al-Bayhaqi mengenai pengaduan para sahabat yang tidak Rasulullah tanggapi adalah para sahabat meminta keringanan untuk di undurkan waktu shalat karena panasnya tempat sujud bukan karena meminta izin menggunakan alas sujud. Maka itulah kita menemukan hadits berikut :

عن أنس بن مالك قال: أنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها

Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud di atasnya.”(Sunan Baihaqi, 2/105, Nailul authar, 2 / 268)
Tujuan para sahabat di atas menggunakan kerikil yang dingin sebagai alas dari panasnya tempat sujud. Dan yang dimaksud mereka sujud di atas batu tersebut bukan sebatas meletakkan dahi pada bagian batu namun juga termasuk anggota sujud lainnya karena hadits tersebut tidak menyatakan batu tersebut diletakkan di dahi saja. Dan sebagian mereka menggunakan batu kertikil bukan menggunakan kain karena sebagian mereka pada saat itu dalam keadaan kekurangan kain.
Begitu pula Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam  sebagaimana dari Maimunah radhiyallahu’anha ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ
"Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas tikar kecil." (HR. Bukhari no. 366 dan 368)
Sehingga dari hadits ini menunjukkan sujud menggunakan alas merupakan perkara yang mubah(boleh) tidak terikat dengan panas atau dinginnya tempat sujud.
Adapun riwayat hadits :

عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته

Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” (HR. Al-Bayhaqi)
Riwayat hadits ini mursal karena Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi bukan termasuk dari kalangan sahabat namun termasuk tabiin.
Dan maksud teks hadits “mengangkat serbanya” dapat kita lihat pada riwayat sebelumnya :
عن صالح بن حيوان السبائى حدثه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يسجد بجنبه وقد اعتم على جبهته فحسر رسول الله صلى الله عليه وسلم عن جبهته
Dari Shalih bin hayan As-Saba’i, dia menceritkan  bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melihat seseorang sujud dan ia mengenakan surban pada dahinya maka Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam membuka surbanya dari dahinya.”(HR. Bayhaqi)
Riwayat ini pun statusnya mursal karena Shalih bin Hayan As-Saba’i bukanlah sahabat namun dari kalangan Tabi’in.
dari dua riwayat  mursal tersebut menyatakan tidak diperbolehkan adanya sesuatu yang menutup dahi ketika sujud karena orang yang ditegur Rasul shallallahu’alaihiwasallam tadi mengenakan surban yang ia lilit hingga menutup dahinya.
Ini artinya dahi langsung menyentuh tempat sujud atau alas sujud. Maka Imam Bayhaqi memberi judul pada tema hadits tersebut dengan Judul :
باب الكشف عن الجبهة في السجود
Bab membuka dahi pada waktu sujud
Inilah yang dimaksud oleh perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi :

وَلَوْ سَجَدَ على رَأْسِهِ ولم يُمِسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لم يَجْزِهِ السُّجُودُ وَإِنْ سَجَدَ على رَأْسِهِ فَمَاسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh bumi (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah Ta’ala.” (Al-Umm, 1/114)
Maka itulah bila kita lihat teksnya secara lengkap:
ولو سجد على رأسه ولم يمس شيئا من جبهته الارض لم يجزه السجود وإن سجد على رأسه فماس شيئا من جبهته الارض أجزأه السجود إن شاء الله تعالى ولو سجد على جبهته ودونها ثوب أو غيره لم يجزه السجود إلا أن يكون جريحا فيكون ذلك عذرا ولو سجد عليها وعليها ثوب متخرق فماس شيئا من جبهته على الارض أجزأه ذلك لانه ساجد وشئ من جبهته على الارض وأحب أن يباشر راحتيه الارض في البرد والحر فإن لم يفعل وسترها من حر أو برد وسجد عليها فلا إعادة عليه ولا سجود سهو
“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh bumi (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah Taala. Dan bila ia sujud di atas dahinya dan padanya terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah sujudnya kecuali karena terdapat luka, maka yang demikian itu sebagai udzur. Dan jika ia sujud di atas dahinya dan pada dahinya terdapat kain yang sobek sehingga menyentuhlah dahinya dengan bumi maka sah-lah hal itu karena ia sujud dengan sebagian dahinya (menyentuh) bumi. Dan aku menyukai kedua telapak tangannya menyentuh langsung ke bumi. Jika tidak dan ia menutupi telapak tangannya dari hawa panas atau dingin lalu ia sujud di atasnya maka tidak perlu diulang shalatnya atau tidak perlu melakukan sujud sahwi ” (Al-Umm, 1/114)
Perhatikan sebagian teks perkataan Imam Syafi’i di atas  :
ولو سجد على جبهته ودونها ثوب أو غيره لم يجزه السجود إلا أن يكون جريحا فيكون ذلك عذرا
Dan bila ia sujud di atas dahinya dan padanya terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah sujudnya kecuali karena terdapat luka, maka yang demikian itu sebagai udzur. (Al-Umm, 1/114)
Maksud beliau adalah kain perban luka yang melilit di dahi orang tersebut bukan kain yang mengalas tempat sujud.
Sehingga pendapat Imam Syafi’i, ketika sujud tidak boleh dahi terhalang oleh kopiah atau kain surban yang ada di kepala, bukan di tempat sujud. Dan Imam Syafii menyatakan makruhnya sujud dengan keadaan dahi tidak langsung menyentuh tempat sujud karena terhalang kopiah, kain serban atau rambut. Makanya anda akan melihat kaum nahdiyin yaitu kaum NU sebagai penganut madzhab syafi’i menggunakan peci atau songkok tidak menutupi dahi ketika shalat. Dan tidak ada satupun anda temui mereka membawa tanah masuk ke dalam masjid untuk dikenakan pada dahi ketika sujud atau melarang atau sebatas memakruhkan shalat di atas lantai berubin dan semisalnya yang tidak langsung menyentuh tanah.
Jadi anda telah didustai dan ditipu oleh pembuat tulisan yang anda copy paste(copas) tersebut. Si penulis telah memanfaatkan ketidaktahuan anda terhadap bahasa arab mengenai arti kata الأرْضِ.
Sekarang mengenai tujuan khamaini menggunakan turbah(tanah) karbala ketika sujud, kita berikan beberapa pertanyaan secara logika akal.
Pertanyaan pertama, Apakah Khamaini memakai turbah karbala dalam rangka mengamalkan hadits berikut?
فَقَالَ « لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ الأَرْضِ مَا يُصِيبُ الْجَبِينَ »
“Beliau (Rasul shallallahu’alaihiwasallam) bersabda :”Tidak ada shalat bagi orang yang tidak menyentuhkan hidungnya kebumi sebagaimana dahinya menyentuh kebumi.( Shahih HR. Daruquthni no.1335)
Jelas tidak, karena khamaini tidak menyentuhkan hidungnya ke turbah karbala namun ia hanya menyentuhkannya di alas sujudnya.
Pertanyaan Kedua, apakah khamaini memakainya dalam rangka mencontoh sahabat menggunakan batu kerikil sebagaimana hadits berikut ini?????

عن أنس بن مالك قال: أنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها

Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud di atasnya.”(Sunan Baihaqi, 2/105, Nailul authar, 2 / 268)
Jelas berbeda antara tujuan khamaini memakai turbah karbala, karena sahabat memakai batu kerikil sebagai alas sujud dalam rangka menghalangi hawa panas dari tempat sujud dan itupun bukan sebatas pada daerah dahi. Sedangkan khamaini kita lihat sujud di atas turbah karbalah di bawah atap sebuah bangunan, yang besar kemungkinan di dalam masjid yang bertehel bukan dari lantai tanah yang panas.
Pertanyaan Ketiga, Apakah khamaini sujud di atas turbah karbala dalam rangka melaksanakan hadits berikut ini ????
dari Maimunah ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ
"Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas tikar kecil." (HR. Bukhari no. 366 dan 368)
Jelas tidak, karena Rasul shallallahu’alaihiwasallam memakai tikar kecil sebagai alas dan bukan menggunakan turbah karbala sebagai alas. Sedangkan khamaini selain memakai kain alas sujud juga menambah turbah karbala, bukankah ini berlebihan bila di bandingkan dengan hadits tersebut?????
Andaikan khamaini menggunakan alas sujud dengan tujuh lapis kain pun kita masih bisa mentolerirnya. Namun masalahnya ia menggunakan turbah karbala bukan kain atau tikar alas sujud.
Pertanyaan Keempat, Apakah tujuan sebenarnya khamaini menggunakan turbah karbala????
Andaikan ada yang menyanggah dengan pernyataan bahwa khamaini menggunakan tanah karbala pada dahinya dalam rangka lebih merendahkan diri dihadapan Allah. Maka kami katakan, apakah kalian merasa lebih pintar dan berilmu dibandingkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang sujud menggunakan alas dari tikar kecil yang tidak menambah di atas tikarnya tersebut sebongkah kecil tanah atau serbuk/debu tanah??????
Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahdzab : 21)
Kemudian Nabi shallallahu’alaihiwasallam juga bersabda :
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid'ah adalah sesat."(HR. Muslim no. 1435)
Karena itulah cukup kita berpegang dengan Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”(HR. Bukhari no. 595)
Bukan berpegang dengan perbuatan khamaini yang bid’ah tersebut.
Bisa jadi ada yang berkata”khamaini ketika sujud dia dalam keadaan ikhlas kepada Allah” jadi jangan dipermasalahkan hal tersebut.
Kami jawab : Syarat sahnya amalan itu diterima ada dua ;
1.      Ikhlas kepada Allah (tidak Syirik kecil maupun Besar)
2.      Sesuai dengan Petunjuk Allah dan Rasulnya (tidak berbuat bid’ah).
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi : 110)
Yang dimaksud dengan mengerjakan “amalan yang shalih” adalah amalan yang sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya yaitu bukan perbuatan bid’ah. Sedangkan arti “dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” artinya ikhlas karena Allah semata.
Allah Ta’ala berfirman :
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“..Supaya Dia (Allah) menguji kalian, siapa diantara kalian yang paling baik amalnya...”(QS. Al-Muluk :2)
 Fudhail bin Iyadh berkata (mengomentari ayat tersebut) :”
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ . قَالُوا : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ قَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ .
“Maksudnya amal yang paling ikhlas dan benar.” Kemudian mereka bertanya :”Hai Abu Ali (Fudhail bin Iyadh), apa amal yang paling ikhlas dan benar?” Beliau menjawab :”Sesungguhnya jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan andaikan amal itu ikhlas tapi tidak benar, juga tidak diterima. Yang diterima, amal ikhlas dan benar. Amal ikhlas ialah amal yang dilakukan karena Allah, sedangkan amal yang benar ialah yang berdasarkan sunnah.” (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taymiyyah, 1/99)
Maka sujud di atas turbah karbala bukan amalan shalih namun amalan qabih(buruk). Yang jelas bid’ah yang dilakukan khamaini adalah “amalan qabih.”
Nah sekarang jawaban yang tepat dari  Tujuan khamaini sujud menggunakan turbah karbala pada dahinya adalah dalam rangka bertabaruk(mencari berkah) dengan tanah karbala.....inilah jawabannya.
Sudahlah tinggalkan dalih-dalih mencari alasan sampai – sampai mengutip-ngutip perkataan Imam Syafi’i yang tidak ditempatkan pada makna yang ia maksud.
Sekarang kami persilahkan bagi Syaikh kami yang mulia Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah yang menerangkan mengenai sujud dengan turbah Karbala dari Kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, ketika beliau mengomentari hadits berikut:
قَامَ مَنْ عِنْدِي جِبْرِيْلُ قَبْلُ فَحَدَّثَنِيْ أَنَّ الْحُسَيْنَ يُقْتَلُ بِشَطِّ الْفُرَاتِ.
Telah datang malaikat Jibril di sisiku, lalu dia mengabarkan kepadaku bahwa Husein akan dibunuh di Syaththil Furaats (Karbala). (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/85); dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dengan beberapa syawahid (penguat-penguat hadits tersebut) dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, jilid III, hal. 159-162)
Setelah beliau men-takhrij dan menyebutkan berbagai syawahid-nya secara lengkap, beliau berkata sebagai berikut: “Hadits-hadits ini[1] tidak menunjukkan kesucian tanah Karbala, keutamaan sujud di atas tanah tersebut dan tidak pula menunjukkan sunnah menjadikan qursh (batu lempengan) dari tanah Karbala untuk sujud di atasnya ketika shalat sebagaimana yang dilakukan kaum Syi’ah pada hari ini. Kalau hal ini termasuk perkara sunnah, maka menjadikan qursh dari tanah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah) paling pantas untuk sujud di atasnya ketika shalat, tetapi hal ini merupakan bid’ah Syi’ah dan sikap ghuluw mereka dalam mengagungkan ahlul bait dan peninggalan-peninggalan mereka.

Termasuk dari keanehan kaum Syi’ah yang lain ialah pendapat mereka bahwa akal termasuk sumber tasyri’ (yang dijadikan patokan dalam syari’at). Oleh karena itu mereka mengatakan baik dan jelek berdasarkan akal. Bersamaan dengan hal ini (akal sebagai sumber tasyri’), mereka meriwayatkan atsar tentang keutamaan sujud di atas tanah Karbala, padahal atsar tersebut adalah termasuk hadits-hadits yang dapat dibuktikan kebatilannya oleh akal yang sehat secara aksioma.[2]

Aku (Syaikh Al-Albani) mendapatkan risalah (tulisan / karangan) yang ditulis oleh seorang Syi’ah yang biasa dipanggil As-Sayyid Abdur-Ridla Al-Mar’isyi Asy-Syihristaani (selanjutnya disingkat ARMS –pent.) dengan judul As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyyah pada hal. 15 dia berkata: “Telah diriwayatkan bahwa sujud di atas tanah Karbala paling utama karena kemuliaan dan kesucian tanah tersebut. Serta kesucian orang yang dikubur di tanah tersebut". Dan telah diriwayatkan hadits dari A`imatil ‘Ithrah Ath-Thahirah alaihimus salam[3] bahwa sujud di atas Karbala menerangi bumi yang ketujuh. Dalam riwayat lain: “Dapat menembus ketujuh hijab". Dan dalam riwayat lain: Allah menerima shalat orang yang bersujud di atas tanah Karbala yang Dia tidak menerima shalat orang yang bersujud di selainnya. Dalam riwayat lain bahwa sujud di atas tanah kuburan Husein menerangi bumi.”

Hadits-hadits seperti ini jelas kebatilannya menurut kami dan para Imam Ahlul Bait radliyallahu ‘anhum berlepas diri dari hadits-hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak memiliki sanad-sanad di sisi mereka, sehingga dimungkinkan untuk dikritik dari segi ilmu hadits dan ushul-ushul ilmu hadits. Hadits-hadits tersebut hanyalah hadits-hadits yang mursal[4] dan mu’dlal[5].

Penulis risalah tersebut belum puas memenuhi risalahnya dengan nukilan-nukilan ini yang dianggap dari para imam Ahlul Bait. Bahkan dia mengelabui para pembaca bahwasanya nukilan-nukilan tersebut seperti nukilan-nukilan kita Ahlus Sunnah. Dia mengatakan (pada hal. 19): “Hadits-hadits keutamaan tanah Husainiyyah (tanah Karbala) dan kesuciannya tidak terbatas pada hadits-hadits para Imam Ahlul Bait alaihimus salam karena hadits-hadits yang serupa dengan hadits-hadits ini masyhur (terkenal) dan banyak terdapat dalam kitab-kitab induk firqah Islam yang lain dari jalan ulama-ulama dan rawi-rawi mereka. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Suyuthi dalam kitabnya Al-Khasha`ishul Kubra bab Ikhbarun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biqatlil Husein alaihis salam. Dia meriwayatkan dalam kitab tersebut sekitar 20 hadits dari tokoh-tokoh yang terpercaya di kalangan mereka seperti Al-Hakim, Al-Baihaqi, Abu Nu’aim, At-Thabrani, Al-Haitsami dalam Al-Mujma’ (9:191) dan lain-lain dari perawi-perawi mereka yang terkenal.”

Wahai saudarakum muslim, ketahuilah bahwasanya tidak ada pada As-Suyuthi dan tidak pula pada Al-Haitsami satu hadits pun yang menunjukkan keutamaan tanah Al-Huseiniyyah (tanah Karbala) dan kesuciannya.

Setiap nukilan yang ada pada kitab-kitab tersebut yang sesuai kosa kata-kosa katanya sesungguhnya hanya berupa pengkhabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang terbunuhnya Husein di tanah Karbala. Dan baru saja aku (As-Syaikh Al-Albani) paparkan intisari-intisari nukilan tersebut. Apakah kalian dapatkan pada kitab-kitab tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Syi’ah ini (ARMS) pada risalahnya atas As-Suyuthi dan Al-Haitsami?

“Demi Allah, tidak! Tetapi, Syi’ah dalam mendukung kesesatan bid’ahnya menggunakan dalil yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Dia (orang Syi’ah ini) terus menerus membuat pengkaburan terhadap para pembaca bahkan sampai berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sebagaimana perkataannya pada hal. 13:

“Orang pertama yang menjadikan batu lempengan dari tanah untuk sujud di atasnya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ketiga hijriah tatkala terjadi peperangan yang luar biasa antara kaum muslimin dan Quraisy pada perang Uhud dan gugur pada peperangan tersebut tokoh yang paling agung dalam Islam yaitu Hamzah bin Abdil Muthalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita Islam untuk berniyahah (meratap) atas kematian Hamzah tersebut pada setiap pertemuan. Perkara pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para shahabat) mengambil tanah kuburannya unntuk meminta berkah dan sujud di atasnya karena Allah Ta’ala dan mereka membuat alat tasbih dari tanah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah. Dan para tabi’in melakukan yang demikian ini. Di antaranya Al-Faqih…”

Kitab tersebut di atas (Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah) merupakan bagian kitab-kitab Syiah. Wahai pembaca yang mulia! Perhatikanlah! Bagaimana dia berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang pertama yang menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya. Selanjutnya tidaklah dia memaparkan (‘atsar) untuk menopang pernyataannya tersebut kecuali kepada kedustaan yang lain, yaitu perintah Rasulullah kepada para wanita untuk meratap kematian Hamzah pada setiap pertemuan, padahal tidak ada kaitan antara perintah niyahah ini –sekalipun shahih- dengan menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya sebagaimana yang tampak. Perintah niyahah ini tidak benar (tidak sah) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana hal ini terjadi, padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita agar mereka tidak berniyahah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari Umu ‘Athiyyah (lihat kitab kami Ahkamul Jana’iz hal. 28). Dan tampak bagiku bahwasanya dia (penulis) menyertakan kedustaan yang ketiga kepada kedustaan di atas, yaitu ucapannya tentang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“… perkara tentang pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para shahabat) mengambil tanah kuburannya untuk meminta berkah dan sujud di atasnya karena Allah Ta’ala…” Hal ini adalah kedustaan atas para shahabat radliallahu ‘anhum. Dan mustahil para shahabat mendekati pemujian berhala seperti ini. Cukup bagi pembaca melihat bukti kedustaan orang Syi’ah ini atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwasanya dia tidak bisa menisbatkan (menyandarkan) yang demikian ini kepada sumber yang ma’ruf dari sumber-sumber kaum muslimin kecuali kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah yang termasuk kitab-kitab orang-orang akhir di kalangan mereka dan tidak diketahui pengarangnya. Orang Syi’ah ini (ARMS) tidak berani menyebutkan nama pengarang kitab tersebut dan menuntupi identitasnya agar tidak terbuka kedoknya (kejelekan dan kesalahannya) dengan penyebutan nama pengarang tersebut yang hal ini sebagai sumber kedustaannya.

Penulis (ARMS) belum puas menyuguhkan kedustaannya terhadap as-salaful awwal bahkan berlanjut kedustaan terhadap orang setelah mereka. Perhatikanlah lanjutan ucapannya di atas:

“Dan di antara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Al-Ajda’ meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’i besar yang tergolong rijal shihah yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hafidh Imamus Sunnah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al-Mushannaf jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ‘Alaihi. Dia mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan dua sanad, bahwasanya Masruq apabila safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk sujud di atasnya.

Aku (Syaikh Al-Albani) katakan: “Dalam ucapan ini banyak kedustaan:

1. Ucapannya: “Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dalam safar-safarnya.” Ucapan safar ini mencakup safar di daratan dan ini menyelisihi atsar yang dia sebutkan (yaitu di laut –pent.)

2. Penetapan penulis bahwa Masruq melakukan demikian memberikan (makna) bahwa atsar tersebut tsabit dari Masruq padahal tidak demikian, bahkan dhaif munqathi’[6] sebagaimana akan datang penjelasannya.

3. Ucapannya: “… dengan dua sanad” adalah dusta. Sesungguhnya sanadnya hanya satu yang bersumber dari Ali Muhammad bin Siriin. Terjadi perselisihan tentang Ali Muhammad bin Siriin dalam atsar ini. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (2/43/2) dari jalan Yazid bin Ibrahim dari Ibnu Siriin bahwa dia (Yazid) berkata: “Aku khabarkan bahwa Masruq membawa batu lempengan dalam perahu untuk sujud di atasnya.” Dan dari jalan Ibnu ‘Aun dari Muhammad bahwasanya Masruq apabila safar dalam perahu dia membawa batu lempengan untuk sujud di atasnya.”

Anda dapat melihat bahwa atsar yang pertama dari jalan Ibnu Siriin dan yang lain (kedua) dari jalan Muhammad yang dia itu tidak lain adalah Ibnu Siriin juga. Maka sanad ini pada hakikatnya satu sanad. Tetapi Yazid bin Ibrahim berkata darinya (Ibnu Siriin): “Aku khabarkan”. Dia (Yazid) menetapkan bahwa Ibnu Siriin melakukan demikian dengan perantaraan Masruq sedangkan Ibnu ‘Aun tidak menetapkan demikian. Masing-masing dari keduanya (Yazid bin Ibrahim dan Ibnu ‘Aun) tsiqah/terpercaya dalam periwayatan (‘atsar), hanya saja Yazid bin Ibrahim membawa tambahan ini (“Aku khabarkan”) dalam sanadnya. Maka tambahan tersebut diterima sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Musthalah (Ilmu Musthalah Hadits) bahwa: “Orang yang hafal sebagai hujjah atas orang yang belum hafal.” Dan atas dasar ini maka penyandaran perbuatan ini kepada Masruq adalah dhaif (lemah) yang tidak tegak hujjah dengannya karena sumber atsar tersebut adalah satu rawi yang tidak disebut namanya (majhul). Maka tidak boleh penetapan dengan menisbatkan perbuatan tersebut pada Masruq radliallahu ‘anhu wa rahimahu sebagaimana yang dilakukan oleh orang Syi’ah ini (ARMS).

4. Orang Syi’ah ini (penulis/ARMS) telah memasukkan pada atsar ini tambahan yang tidak ada asalnya pada Al-Mushannaf yaitu ucapannya: “Dari tanah Madinah Munawwarah.” Tidak ada penyebutan tambahan ini pada masing-masing riwayat tersebut sebagaimana yang anda lihat.

Tahukah anda kenapa orang Syi’ah ini mengadakan tambahan dalam atsar ini. Telah jelas baginya bahwa pada atsar tersebut tidak ada dalil secara mutlak atas pengambilan batu lempengan dari bumi Al-Mubaarakah (Madinah Munawarah) untuk sujud di atasnya apabila dia membiarkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Oleh karena itu ia sertakan tambahan ini pada atsar tersebut untuk mengelabui para pembaca bahwa Masruq rahimahullah menjadikan batu lempengan dari Madinah untuk sujud di atasnya dalam rangka minta barakah. Apabila hal ini tsabit ia sertakan pada atsar ini kebolehan menjadikan lempengan dari tanah Karbala dengan seluruh penyertaan sebagai bumi yang disucikan.

Apabila anda mengetahui bahwa yang dijadikan qiyas atasnya adalah batil dan tidak ada asalnya, melainkan hanya berupa rekaan (perbuatan bohong) orang Syi’ah tersebut (ARMS) maka anda mengetahui bahwa mengqiaskan kepadanya juga batil. Sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah: “Tidak akan tegak (lurus) suatu bayangan sedangkan tongkat itu bengkok.”

Wahai pembaca yang mulia, perhatikanlah keberanian Syi’ah yang luar biasa atas pendustaan ini sampai mereka berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendukung kesesatan yang ada pada mereka. Perhatikan yang demikian ini niscaya akan jelas bagi anda kebenaran orang yang mensifati mereka dari kalangan aimmah dengan ucapan: “Sedusta-dusta kelompok adalah Rafidlah (Syi’ah Rafidlah).”
Termasuk kedustaan-kedustaan adalah ucapannya (halaman 9): “Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (!) (1/331) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci shalat di atas sesuatu yang bukan tanah.”
Perkataan ini adalah dusta dari dua sisi:
1. Tidak terdapat dalam shahih Bukhari lafadz ini, tidak dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari kalangan salaf.
2. Atsar tersebut disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarhihi ala Al-Bukhari (1/388-cetakan al-Bahiyyah) dari ‘Urwah dia berkata: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Urwah dan Az-Zubair bahwasanya dia membenci shalat atas sesuatu yang bukan selain tanah.”
(Diterjemahkan oleh al Faqir ila maghfiratil Jaliil Abu Sa’id Hamzah bin Halil dari Kitab Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah/Al-Albani jilid 3 hal. 162-166)
Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi’ul Awwal/1417/1996