Menyongsong Khilafah Kasyidah di atas Minhaj Nubuwah

3 Desember 2012

Berpegang Kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi Bagian Pertama



Berpegang Kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi

Membongkar Makar Busuk syiah rafidhah
(Hadiah ‘Iedul Adha bagi Singa-singa Ahlus Sunnah Malaysia)

Bagian Pertama  
(Part 1)

Abu Haura Ahmad Junayd bin Ahmad Dzulkifli
(Jun Lab)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و أصحابه أجمعين

Merupakan perkara aneh pada akhir-akhir ini, di mana kita melihat bersemangatnya para syetan Syiah Rafidhah membahas takhrij dan tahqiq dari sanad-sanad riwayat hadits yang berasal dari kitab-kitab induk Ahlus Sunnah. Padahal kaum syiah terkenal atau masyhur dengan acuh tak acuhnya atau masa bodohnya mereka terhadap ilmu riwayat hadits. Hal ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab mereka yang penuh dengan riwayat palsu dan lemah yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam atau kepada Ahli Bait radhiyallahu’anhum.

Sudah bukan rahasia umum lagi, pada dasarnya ilmu riwayat hadits berasal dari kaum Ahlus Sunnah atau Sunni. Sedangkan kaum syiah rafidhah tertinggal jauh dalam mempelajarinya. Mereka sendiri sebenarnya hanya mencuri ilmu hadits dari ahlus sunnah. Sehingga mereka tidak memiliki sedikitpun jasa dalam membangun ilmu hadits ini. Berkata pendeta mereka Al-Ha’iriy dalam kitabnya :”Muqtabsul Atsar (3/73), :
”Termasuk informasi yang tidak diragukan oleh seorangpun, yaitu tidak pernah disusun ilmu dirayatul hadits dari ulama-ulama kita (syi’ah rafidhah-pen) sebelum asy-Syahid ats-Tsaniy.”

Yang dimaksud dengan asy-Syahid ats-Tsaniy adalah Zainuddin al-‘Amiliy (mati tahun 965 H). Dan mereka mempelajari ilmu hadits terjadi tatkala kepalsuan mereka tersingkap. Maka itulah kerusakan pada buku-buku mereka yang dipenuhi riwayat palsu dan dusta serta lemah merupakan perkara yang mahsyur(populer).

Yang menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa mereka bersemangat membahas ilmu riwayat hadits dengan fokus(focus) pembahasan pada riwayat-riwayat hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab riwayat hadits ahlus sunnah?”.
Jawabannya mudah. Pada hakikatnya mereka merasa buku-buku karangan para pendeta dan syetan mereka tidak akan laku atau tidak diminati oleh kalangan sunni dikarenakan hujjah-hujjah mereka berasal dari riwayat-riwayat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Lalu dengan mempergunakan sedikit keahlian dalam ilmu riwayat hadits yang telah mereka contek (plagiarize) dari ulama ahli hadits dari kaum ahlus sunnah, mereka membuat tipu muslihat (trickery) untuk menguatkan kesesatan agama syiah rafidhah mereka.

Salah satu tipu muslihat mereka adalah menolak riwayat hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang berbunyi :

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا  بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, yang mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh keduanya, yaitu : kitab Allah dan sunnahku, keduanya  tidak akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di haudh(telaga kautsar).”

Mereka bergembira sekali tatkala menemukan bahwa pada thuruq(jalur/jalan para perawi) terdapat perawi yang dhaif (lemah). Dan tidak satupun ulama ahli jarh wa ta’dil ahlus sunnah yang menyatakan tsiqah(kuat)-nya para perawi yang lemah tersebut. Para pengikut Syiah rafidhah gembira sekali dengan hal ini. Lalu mereka berusaha untuk membatasi keshahihan hanya pada riwayat yang berbunyi :

وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua hal yang berat kepada kalian, yaitu: Pertama, Al-Qur 'an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al Qur'an. Kedua, keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku." (HR. Muslim no. 4425)

Tujuan jahat mereka ini pada dasarnya ingin menyesatkan kaum sunni dengan suatu kesimpulan bahwa ahli bait adalah pedoman hidup (way of life) satu-satunya setelah Al-Quran. Sehingga berdasarkan ideologi agama mereka yang sesat menyatakan bahwa barangsiapa yang menyelisihi ahli bait dalam perkara apapun maka mereka adalah orang-orang sesat. Maksudnya para sahabat radhiyallahu’anhum yang pernah berselisih dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu adalah orang-orang sesat. Bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka menyatakan kafirnya para sahabat yang pernah berselisih dengan Ali -semoga Allah meridhai mereka semua dan melaknati para pemeluk agama syiah rafidhah-. Sehingga setiap sunnah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallahu’anhum yang pernah berselisih dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu adalah tertolak(mardud-مردود-) bila menyelisihi kesesatan mereka.

Cara mereka ini dengan metode berlebih-lebihan (غُلُو/إفْرَاط) memuliakan Ahli bait hingga pada tingkat ketuhanan yang menyebabkan kesyirikan pada satu sisi, dan menjatuhkan martabat sahabat lainnya hingga pada tingkat pengkafiran terhadap para sahabat walaupun terhadap para sahabat yang masuk dalam kategori sepuluh sahabat yang di beri kabar gembira dengan surga sebagai tempat tinggalnya nanti di akhirat, merupakan cara politik belah bambu yang tujuannya adalah mengadu domba para sahabat, di satu sisi bambu yang terbelah di angkat, sedangkan bambu yang lain di injak.

Baiklah, karena saya telah berjanji untuk menjawab dan membantah artikel yang berjudul ;
“Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” « Analisis Pencari Kebenaran.

Maka dengan bertawakal dan mengharapkan taufik serta pertolongan dari Allah, saya mencoba untuk memenuhi permintaan dari saudara kami singa-singa Ahlus Sunnah Malaysia yang kami cintai –barakallahu fikum-.

Pembahasan ini akan saya bagi dua, yaitu ; pembahasan dari segi sanad, dan pembahasan dari segi matan.

Namun sebelumnya saya ingin memberikan tambahan penjelasan bahwa walaupun hadits yang berbunyi”Kitab Allah dan Sunnahku” tidak ada sama sekali, atau tidak pernah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sabdakan atau ucapkan (said) maka hal itu tidaklah mengugurkan (failed) atau membatalkan kewajiban berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah Rasul di atas pemahaman tiga generasi yang terbaik(sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in). Apalagi hanya sebatas menyatakan hadits tersebut lemah.!!!!!!!

Mengapa begitu ??? Jawabnya, karena Al-Quran maupun Sunnah dan Ijma’ umat Islam (ingat Syiah Rafidhah bukanlah bagian dari umat Islam), menyatakan :”tidak mungkin Al-Quran dapat dilaksanakan/diamalkan(practice) kecuali berdasarkan penjelasan dari As-Sunnah Rasulullah “ sebagaimana Allah berfirman :

وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan telah kami turunkan kepada mu (Muhammad) Al-Dzikra(Al-Quran) agar engkau menjelaskan kepada manusia mengenai segala sesuatu (al-Quran) yang telah diturunkan kepada mereka  agar mereka berfikir. “(QS. An-Nahl : 44)

Maka itulah tatkala Imam Besar Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah pernah ditanya :
هذه الأحاديث الموضوعة؟ فقال : تعيش لها الجهابذة, (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ)
“Bagaimana dengan hadits-hadits yang palsu ini ?” Maka beliau menjawab:”Hal itu merupakan tugas para ahli hadits, (sebagaimana Allah berfirman) :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Dzikra(Al-Quran) dan sesungguhnya Kami pula yang akan menjaganya (memeliharannya).”(Al-Baa’its Al-Hatsiist syarh Ikhthishaar ‘Uluum Al-Hadiits lil Hafizh Ibni Katsir, dengan tahqiq dari Syaikhul Hadits Al-Azhhar Ahmad Muhammad Syakir, hal. 72)

Maka yang dimaksud bahwasannya Allah akan menjaga Al-Dzikra (Al-Quran), bukan hanya sebatas menjaga Al-Quran, namun juga termasuk menjaga penjelasannya yaitu as-Sunnah. Karena tidak akan mungkin Hujjah dari Al-Quran dapat tegak (إقامة الحجة) dengan sempurna kecuali dengan adanya As-Sunnah. Ingatlah(remember) As-Sunnah adalah bagian dari wahyu Allah, dimana Allah berfirman :

وَمَا ينْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tidaklah apa yang dia (Muhammad) ucapkan berasal dari hawa nafsunya, namun ucapan itu tiada lain hanyalah berasal dari wahyu yang diwahyukan.”(QS. An-Najm : 3-4)

Dan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun menyatakan bahwa sabda yang beliau ucapkan bagian dari wahyu yang diturunkan bersama Al-Quran, beliau bersabda :

أَلَا إنّي أُوْتيْتُ الْقُرْآنَ وَمثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah bahwasannya aku telah dianugerahi (give me) Al-Quran dan semisalnya(As-Sunnah) bersamanya.”(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Hakim dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

Kesimpulannya, As-Sunnah adalah way of life kedua setelah Al-Quran yang akan terjaga hingga hari akhir yang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Karena itulah Allah berfirman :

فَإِنْ تنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Maka jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’ : 59)

Jelas kita tidak pernah menemukan satu ayatpun, yang menyatakan bila terdapat perselisihan maka kembalikanlah pada para sahabat baik dari kalangan ahli bait maupun yang bukan dari kalangan ahli bait sekalipun. Karena para sahabat -radhiyallahu’anhum dan laknatullah bagi Rafidhah- tidak ma’sum(غير معصوم) yang terbebas dari kesalahan dan dosa. Adapun perintah mengikuti para sahabat baik dari kalangan ahli bait maupun yang bukan ahli bait adalah karena mereka mengikuti dan  paling mengerti Al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Maka itulah Allah berfirman :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl : 43)

Dari Firman Allah di atas, bahwasannya dasar seseorang diikuti adalah karena adanya pengetahuan mereka yang lurus mengenai ilmu Allah dari Al-Quran maupun As-Sunnah bukan karena Nasab( keturunannya).

Tidak diragukan lagi kaum syiah rafidhah adalah kaum sesat lagi menyesatkan dan mereka bukan bagian dari Umat Islam. Namun mereka adalah para pemeluk agama rafidhah yang nabi mereka adalah Ibnu Saba’. Hal itu karena mereka telah memusuhi para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan lebih mengutamakan sabda Ibnu Saba’ untuk memusuhi para Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang mana para sahabatlah pintu-pintu menuju kebenaran Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena sahabatlah yang telah mengumpulkan Al-Quran dan menyampaikan Sunnah Rasul. Maka memusuhi sahabat berarti memusuhi Al-Quran dan Sunnah. Memusuhi sahabat berarti memusuhi agama ini. Memusuhi sahabat berarti memusuhi Allah dan Rasul-Nya yang telah mempercayakan amanat kebenaran Islam kepada mereka setelah wahyu terputus dengan wafatnya Baginda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Selesai penjelasan tambahan ini.

Sekarang saatnya saya akan membahas bagaimana kedudukan riwayat hadits yang berbunyi:

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا  بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, yang mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh keduanya, yaitu : kitab Allah dan sunnahku, keduanya  tidak akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di haudh(telaga kautsar).”

Lafazh (text) riwayat di atas berasal dari riwayat Al-Hakim no. 291 dalam Al-Mustadraknya. Selain itu riwayat yang serupa dapat ditemukan pada Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Kubra Bayhaqi dan terdapat pula di dalam Al-Muwatha’ Imam Malik bin Annas secara Munqathi’ serta diriwayatkan pula dari Urwah bin Zubair secara Mursal di dalam Sunan Al-Bayhaqi dan sebagainya (etc.).

Para syetan Rafidhah berusaha untuk menolak riwayat tersebut dengan menyerang beberapa perawi hadits tersebut seperti Shalih bin Musa Ath-Thalhi, Isma’il bin Abdullah bin Abdullah bin Uwais (Ibnu Abi ‘Uwais) dan Ayahnya,  Katsir bin Abdullah, dan Saif bin UmarAt-Tamimi. Sekaligus mereka mempermasalahkan kemursalan riwayat ‘Urwah bin Zubair serta munqathi’nya riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwatha’nya.

Untuk memulai pembahasan, saya akan membahas kemursalan dari Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu’anhu. Urwah bin Zubair adalah pembesar Tabi’in (Kibarut-Tabi’in) yang banyak meriwayatkan hadits dari bibinya (khaalah/خالة) yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha, dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Ummul Mukminin Ummu Habibah radhiyallahu’anha, dari Ibunya Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu’anha, Abu Hurayrah, Ibnu Abbas –radhyallahu’anhum- dan lainnya.

Dari sini kita bisa mengetahui kebodohan dari para pendeta syiah rafidhah yang langsung begitu saja melemahkan riwayat yang berasal dari Urwah bin Az-Zubair ini semata-mata karena ketidaktahuan dari siapakah Urwah bin Az-Zubair mendapatkan riwayat hadits ini.

Suatu kebodohan untuk mendhaifkan atau melemahkan setiap riwayat yang mursal tanpa  memperhatikan pengecualian pada beberapa keadaan.

Seperti mursalnya riwayat Sa’id bin Al-Musayyib tidaklah menjadikan riwayat darinya berlaku hukum ‘inqatha’ (terputus)  sebagaimana kebanyakan para perawi lainnya.

Berkata Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi :

وَمَرَاسِيْلُ سَعِيْدٍ مُحْتَجٌّ بِهَا............. قالَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ: مُرْسَلاَتُ سَعِيْدِ بنِ المُسَيِّبِ صِحَاحٌ.

 “Dan kemursalan Sa’id (bin Al-Musayyib) adalah hujjah..........berkata Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya :”Kemursalan Sa’id bin Al-Musayyib adalah shahih”.(Siiru A‘laam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 4/221-222)

Maka itulah Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :

ومنقطع السند بجميع أقسامه مردود؛ للجهل بحال المحذوف, سوى ما يأتي :
1.      مرسل الصحابي.
2.      مرسل كبار التابعين عند كثير من أهل العلم, إذا عضده مرسل آخر, أو عمل صحابي أو قياس.
3.      المعلّق إذا كان بصيغة الجزم في كتاب التزمت صحته ((كصحيح البخاري)).
4.      ما جاء متصلا من طريق آخر, وتمت فيه شروط القبول.
“Dan munqathi’(keterputusan) sanad pada setiap bagiannya adalah tertolak, karena ketidaktahuan terhadap kondisi rawi yang terhapus namanya, kecuali dalam kondisi berikut:
1.      Kemursalan para sahabat.
2.      Kemursalan para pembesar Tabi’in sebagaimana pendapat sebagian besar ulama, tatkala dikuatkan oleh riwayat mursal lainnya, atau amalan sahabat atau sesuai dengan Qiyas(analogi yang shahih).
3.      Mu’allaq dengan bentuk lafazh yang pasti berasal dari kitab yang dinyatakan kuat keshahihannya (seperti shahih Bukhari).
4.      Riwayat yang terdapat padanya pula riwayat lain yang mutashil (tersambung sanadnya) dari jalan rawi yang lain, dan telah terpenuhi syarat-syarat penerimaannya.
(Mushthalahul Hadiits, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, hal.23)

Maka bila kita memperhatikan kedudukan Urwah bin Az-Zubair al-‘Awwam sebagai seorang Pembesar Tabi’in yang disejajarkan dengan kedudukan Sa’id Al-Musayyib, dan ‘Alqamah bin Qais. Maka tidak diragukan bahwa kemursalan riwayat Urwah bin Az-Zubair ini adalah hujjah. Dimana diduga kuat ia mendengarnya dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau dari Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu’anhum- yang mana mereka semua adalah pelaku sejarah dalam haji wada’. Maka itulah suatu kebodohan bila terburu-buru menolak riwayat Urwah ini.

Hal ini dari satu sisi, ditambah lagi bahwasannya kemursalan riwayat Urwah diperkuat oleh adanya riwayat-riwayat muttashil yang berasal dari Abu Hurairah, ‘Amru bin ‘Auwf dan Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhum-.

Ya benar, pada riwayat Abu Hurairah terdapat perawi yang lemah (dhaif) yaitu Shalih bin Musa Ath-Thalhi. Namun bagaimanakah posisi kelemahan kedhaifannya? Apakah kelemahannya pada ke-Dhabitannya(kekuatan hafalannya) atau juga pada ke-adilannya (kejujuran)?

Memang benar Imam Bukhari mengatakan :

منكر الحديث عن سهيل بن أبى صالح .
“Munkarul Hadits dari riwayat Suhail bin Abi Shalih”(Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

 Begitu juga Abi Hatim menyatakan :

ضعيف الحديث ، منكر الحديث جدا ، كثير المناكير عن الثقات
“Dhaiful Hadits(lemah), sangat munkarul hadits, dan banyak sekali riwayat-riwayat munkar dari para tsiqat.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Pernyataan Imam Bukhari tersebut merupakan jarh(celaan) terhadap ke-adilan Shalih bin Musa Ath-Thalhi. Dimana Imam Bukhari bila menyebutkan bahwa perawi adalah munkarul hadits maka maksudnya siperawi dicurigai adalah pendusta. Sebagaimana Imam Bukhari mengatakan :

كل من قلت فيه : منكر الحديث؛ فلا تحل الرواية عنه
“Setiap orang yang kami katakan dia adalah : Munkarul Hadits, maka tidak boleh mengambil riwayat darinya.”(Al-Miizan lidz-Dzahabi, 1/5)

Namun pernyataan Imam Bukhari ini tidak serta merta dibenarkan. Yang benar adalah Shalih bin Musa Ath-Thalhi merupakan perawi lemah sebagaimana yang dikatakan Abu Ahmad bin ‘Adi :

عامة ما يرويه لا يتابعه عليه أحد . و هو عندى ممن لا يتعمد الكذب ، و لكن يشبه عليه و يخطىء.
“Pada umumnya apa yang ia riwayatkan tidak ada satu pun orang yang mengikutinya. Menurut saya dia bukanlah orang yang dengan sengaja berdusta, akan tetapi terdapat kesamaran atasnya dan kekeliruan.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Begitu juga Al-Juzajani mengatakan :

ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ عَلَى حُسْنِهِ.
“Dia adalah dhaiful hadits(lemah) di atas persangkaan baik terhadapnya.”(Siru A’laamun Nubala, 8/181)

Begitu pula Ibnu Hibban berkata :
و قال ابن حبان : كان يروى عن الثقات ما لا يشبه حديث الأثبات حتى يشهد المستمع لها أنها معمولة أو مقلوبة ، لا يجوز الاحتجاج به .
Dia biasa meriwayatkan dari para perawi tsiqat sesuatu yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah atau maqlubah (terbalik),  tidak diperbolehkan berhujjah dengannya.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Maka kelemahan Shalih bin Musa Ath-Thalhi berasal dari segi hafalan bukan dari segi keadilan. Maka itulah riwayat yang kita bahas dapat menjadi kuat tatkala terdapat riwayat muttasil lainnya atau mursal yang mana para perawinya tidak tertuduh pendusta.

Adapun Ismail bin Abdullah bin abdullah bin ‘Uwais dan ayahnya berstatus dhaif. Namun mereka adalah shaduq. Mengenai riwayat dari Daruqutni berupa pernyataan bahwa Ismail bin Ibnu Abi ‘Uwais berkata :

رُبَّمَا كُنْتُ أَضَعُ الحَدِيْثَ لأَهْلِ المَدِيْنَةِ إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ فِيْمَا بَيْنَهُم.
“Kadangkala aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu yang terjadi di antara mereka”.

Mengenai riwayat ini, Abu Bakar Al-Barqani pernah bertanya kepada Imam Daruqutni :

مَنْ حَكَى لَكَ هَذَا عَنِ ابْنِ مُوْسَى؟ قَالَ: الوَزِيْرُ -يَعْنِي: ابْنَ حِنْزَابَه- وَكَتَبتُهَا مِنْ كِتَابِهِ.
“Siapakah orang yang telah menceritakan riwayat ini yang berasal dari Ibnu Musa kepada anda? Maka Imam Daruquthni menjawab :”Al-Wazir(menteri)- yaitu Ibnu Hinzabah- dan aku menyalin dari bukunya.”( Siiru A’laamun Nubala, 10/391)

Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqalani menerangkan riwayat tersebut :

وهذا هو الذى بان للنسائى منه حتى تجنب حديثه و اطلق القول فيه بأنه ليس بثقة ، و لعل هذا كان من إسماعيل فى شبيبته ثم انصلح .
“Inilah riwayat yang menyebabkan An-Nasaai menjauhi haditsnya, dan memutlakan pernyataan tersebut padanya bahwasannya dia bukanlah perawi yang tsiqah. Dan barangkali hal ini adalah keadaan Ismail di masa remajanya lalu dia berubah memperbaiki dirinya.”(Tahdzib At-Tahdzib,1/311)

Bersambung ( To be continued) Insya Allah














Tidak ada komentar:

Posting Komentar