Menyongsong Khilafah Kasyidah di atas Minhaj Nubuwah

FIQIH


باب المياه
Bab Air
Oleh Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli
Pembagian hukum kesucian air :
1.      Air Thahur (suci lagi mensucikan)/air mutlak
      Yaitu air yang masih murni sebagaimana awal penciptaanya selama belum berubah penyebutannya/namanya sebagai  air mutlak  walaupun tercampur dengan suatu zat lainnya. Dapat digunakan untuk mengangkat hadats  (seperti berwudhu dan mandi wajib) dan melenyapkan najis.
Contohnya :
·        Air hujan
·        Salju
·        Air sungai
·        Air laut
·        Air sumur
·        Embun, dan lainnya.
Dalilnya Firman Allah Ta’ala :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan telah Kami turunkan dari langit air yang suci lagi mensucikan.“
(QS. Al-Furqan : 48)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الْأَرْض
“Apakah kamu tidak memperhatikan bahwasannya Allahlah yang telah menurunkan air dari langit maka Dia atur hingga menjadi sumber-sumber air di bumi.”
(QS. Al-Zumar : 21)
Bersabda Rasulullah shalaullahu ‘alaihiwasallam mengenai laut :
"هو الطهور ماؤه، الحل ميتته"
“Laut, suci lagi mensucikan airnya dan halal bangkainnya.”
(Shahih HR. Ibnu Majah no.386)
Begitu juga sabda Rasulullah shalaullahu ‘alaihiwasallam :
اللَّهُمَّ اغسلْنِي مِن خطاياي بالماءِ والثَّلجِ والبَرَد
“Ya Allah, basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.”
( Shahih HR. Bukhari no. 711)

2.      Air Thahir (suci)
      Yaitu air yang telah berubah sebutannya/namanya dari kemutlakannya karena  tercampur oleh zat yang suci. Tidak dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan hanya dapat digunakan untuk melenyapkan najis.
 Contohnya :
·        Susu
·        Teh
·        Kopi
·        Kuah
·        Sirup
·        Air sabun/busa, dan lainnya.
Perhatian :
Bila air mutlak tercampur oleh zat yang suci selama tidak berubah sebutannya/namanya dari kemutlakannya maka tetap dihukumi sebagai air thahur (suci lagi mensucikan) yang dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan melenyapkan najis. Dalilnya adalah :
Firman Allah ta’ala :
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
“Maka jika kalian tidak menemukan air.”(QS. Al-Maidah : 6)
Kata  (مَاءً)  dalam bentuk nakirah fii siyaaq al-nafi menunjukkan bentuk umum yang arti seluruh air yang masih disebut sebagai air mutlak walaupun telah bercampur dengan benda yang suci.
Rasulullah shalaullahu ‘alaihiwasallam memerintahkan kepada para wanita yang mengurus jenazah puteri beliau :
اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُور
“Hendaklah kalian basuh ia sebanyak tiga kali atau lima kali atau lebih dari itu bila menurut kalian perlu dibasuh lagi dengan air yang dicampur dengan daun bidara, dan jadikanlah siraman yang terakhir mengunakan air yang dicampur dengan kapur barus atau sejenisnya.” (Shahih HR. Bukhari no.1175)

Dari Ummu Hani :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُونَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِين
Bahwasannya Nabi shalaullahu’alaihiwasallam mandi bersama Maimunah (isteri beliau) dari satu bejana berupa mangkuk yang di dalamnya terdapat sisa adonan tepung. ( Shahih HR. Ahmad no. 25660)
      Sebagaimana berita dari kedua hadits tersebut diketahui bahwa air yang dipakai untuk bersuci telah bercampur dengan benda-benda yang ada di dalamnya.  Namun hal itu tidak meniadakan kemutlakan air tersebut yang dapat merubah penyebutan/nama air tersebut.


3.      Air Najis
                  Yaitu air yang telah berubah salah satu atau kesemua sifatnya baik warna, bau  dan rasanya karena tercampur oleh zat yang najis. Air ini tidak dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan meleyapkan najis. Namun bila tidak berubah dari salah satu atau lebih sifatnya(entahkah warna, bau atau rasanya) karena tercampur dengan zat yang najis maka ia tetap dihukumi sebagai air thahur atau air mutlak.
Dalilnya Sabda Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam :
إِنَّ المَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيءٌ
“Sesungguhnya air itu suci lagi mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.”(Shahih HR. Abu Dawud no.67)

Maksud dari hadits di atas adalah selama tidak berubah salah satu atau lebih dari sifat air tersebut karena masuknya/tercampur zat yang najis ke dalamnya. Sebagaimana hadits berikut ini :
إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ ، إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu yang menajiskannya kecuali telah berubah bau, rasa dan warnanya (HR. Ibnu Majah, dinyatakan dhaif (lemah) oleh Abu Hatim)
الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ ، أَوْ طَعْمُهُ ، أَوْ لَوْنُهُ ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
“Air itu suci lagi mensucikan kecuali telah berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya karena najis yang masuk kedalamnya.”(HR. Al-Bayhaqi)

Perbedaan Pendapat :
1)      Air Musta’mal:
Air yang telah dipakai untuk bersuci. Sebagian pendapat menyatakan bahwa air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci berdasarkan sabda Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam :
لا يَغْتَسِل أَحَدُكُمْ فِي المَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di dalam air yang tidak mengalir sedangkan ia dalam keadaan junub.”(Shahih HR. Muslim no. 283)

Pendapat yang rajih (kuat) :
Air musta’mal tetap suci lagi mensucikan karena tidak ada dalil yang mengeluarkan hukum kesuciannya. Adapaun dalil dari hadits riwayat Muslim no. 283 di atas tidak membicarakan larangan bersuci menggunkan air musta’mal. Namun hanya berbicara mengenai larangan mandi di dalam kolam yang airnya tenang tidak mengalir. Larangan ini bersifat mencegah kekeruhan dari air tersebut. Sedangkan dalil yang memperbolehkan bersuci menggunakan air musta’mal sebagai berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
“Bahwasannya Nabi shalaullahu’alaihiwasallam mandi menggunakan air sisa mandinya Maimunah radhiyallahu’anha.”(Shahih HR. Muslim no.323)

اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ ، فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا ، فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا ، فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ
“Salah seorang isteri Nabi shalaullahu’alaihiwasallam mandi pada sebuah bejana, datanglah Nabi dan beliau mandi menggunakan air dari bejana tersebut. Berkata isteri beliau :”Aku dalam keadaan junub.” Maka beliau bersabda :”Sesungguhnya air tidak mengalami junub.“(Shahih HR. Tirmidzi no.65)
Adapun hadits berikut :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ
 “Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam melarang laki-laki berwudhu dengan air sisa bersuci wanita.” (HR. Ahmad no.20674, hadits ini walaupun perawinya tsiqah terkecuali  Abu Hajib namun terdapat ‘ílah  akan waqf )

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ ، أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ ، وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا
“Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam melarang wanita mandi dengan air sisa laki-laki begitupula laki-laki mandi dengan air sisa perempuan dan hendaknya mereka menciduk bersamaan.”(Shahih HR. Abu Dawud no. 81)
Berdasarkan jama’(kompromi) antar beberapa hadits sebelumnya maka pelarangan di sini hanya sebatas makruh tanzih (dibenci demi kebersihan) bukan makruh tahrim (dibenci karena haram). Wallahu ta’la a’lam.

2)      Air yang tercampur najis dengan volume kurang dari dua qullah
Volume satu qullah sekitar 100-110 liter sehingga dua qullah sekitar 200-220 liter. Menurut sebagian pendapat air tersebut tidak dapat digunkana untuk bersuci berdalil dengan hadits Nabi shalaullahu’alaihiwasallam:
إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَث"َ وَفِي لَفْظٍ " لَمْ يَنْجُسْ "
Jika air lebih dari dua qullah maka tidak bisa menjadi kotor” dalam riwayat lain”tidak menjadi najis”.(HR.  Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Nasaa-i, Ibnu Majah)

Pendapat yang rajih :
Hadits di atas statusnya dhaif (lemah) di karenakan syadz(ganjil) dan Mudhtharib (goncang) pada sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi hadits).
Dinyatakan syadz karena hadits ini tidak masyhur (populer) padahal perkara ini merupakan perkara yang sangat penting dibandingkan pentingnya pengetahuan terhadap nishab (batas kadar jumlah harta) yang harus di keluarkan untuk zakat. Sehingga merupakan kewajiban yang penting sekali sebagaimana pentingnya kewajiban mengetahui najisnya air kecing dan jumlah raka’at shalat fardhu. Tidak ada sahabat yang meriwayatkannya kecuali hanya Ibnu Umar seorang diri. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits itu dari Ibnu Umar kecuali hanya ‘Ubaydillah dan Abdullah. Sedangkan para perawi besar dari perawi Ibnu Umar dan penduduk kota Madinah tidak meriwayatkannya padahal mereka adalah orang yang paling membutuhkan mengenai hal ini karena sedikitnya air yang terdapat di kota mereka.
Adapaun segi syadz lainnya sebagai berikut :
1.      Hadits ini tawaquf (berhenti periwayatan) pada Ibnu Umar saja sebagaimana yang dikuatkan oleh pernyataan Al-Mizi, Ibnu Taymiyyah dan Bayhaqi.
2.      Idhthirab (kegoncangan) pada sanadnya.
3.      Idhthirab pada matan-nya. Terdapat ketidakpastian volume pada beberapa matan hadits yang serupa seperti terdapat riwayat [ إذَا بَلَغَ ثَلَاثَ قِلَالٍ ]  jika lebih dari tiga qullah dan dalam riwayat lainnya [ قُلَّةً ]  jika lebih dari satu qullah.
Pendalilan dari segi Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) matan hadits tersebut (dimana volume air yang kurang dari dua qullah tentunya menjadi air najis bila kemasukan benda najis walaupun tidak berubah salah satu atau lebih dari sifatnya seperti warna atau bau atau rasanya) berlawanan dengan segi manthuq (ucapan) matan hadits :
إِنَّ المَاء طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيءٌ
“Sesungguhnya air itu suci lagi mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.”(Shahih HR. Abu Dawud no.67)

Sehingga disini berlaku kaidah :
الْمَنْطُوْقُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْمَفْهُوْمِ
“Al-Manthuq (ucapan) didahulukan atas Al-Mafhum(pemahaman)”

Maka dengan ini air yang kurang dari dua qullah tetap dalam keadaan thahur (suci lagi mensucikan) dapat digunakan untuk mengangkat hadats maupun melenyapkan najis selama tidak berubah sebutannya dari kemutlakannya  atau telah berubah salah satu atau lebih dari sifatnya karena najis yang masuk kedalamnya.

Kekeliruan :
Sebagian masyarakat ada yang membuat dua bak air. Satu bak air berisi air untuk digunakan ber-istinja (cebok) dari buang air besar maupun buang air kecil, dan bak yang lainnya berisi air yang digunakan untuk mandi dan berwudhu atau bahkan mereka memisahkan air yang digunakan khusus hanya untuk berwudhu. Anggapan mereka bahwa air yang berada pada bak air untuk instinja tidak dapat digunakan untuk berwudhu. Anggapan keliru ini tidak mempunyai dasar kecuali rasa was-was bahwa air pada bak air untuk instinja telah menjadi air najis atau telah hilang sifat thahur (suci lagi mensucikan)-nya. Andaikata seperti itu tentunya air tersebut tidak boleh pula digunakan untuk ber-istinja karena ber-instinja tidak boleh menggunakan air atau benda yang najis. Padahal air tersebut masih bersifat sebagai air mutlak lagi thahur.

3)      Air Musyamas
Yaitu air yang terkena terik panas matahari. Sebagian pendapat menyatakan makruh menggunakannya untuk bersuci. Mereka berdalil dengan hadits :
لاَ تفعلي ياحميراء فإنه يورث البرص
“Janganlah kau lakukan wahai Humaira sesungguhnya air tersebut dapat mendatangkan penyakit kusta.”
Merupakan hadits maudhu’(palsu) (Syaikh Walid bin Rasyid Al-Sa’idan, Ithaf Al-Nubha’ bi Dhawabit Al-Fuqaha, hal. 11) Adapun pendapat mereka bahwa air musyamas dapat mendatangkan bahaya maka hal itu tidak dapat menjadi alasan mengeluarkan hukum kesuciannya.
4)      Air yang sedikit tersentuh oleh tangan orang yang bangun tidur.
Sebagian pendapat yang menyatakan kesucian air tersebut telah berubah berdalil dengan sabda Rasulullah :
إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثا فإنه لا يدري أين باتت يد
“Jika salah seorang  diantara kalian bangun tidur janganlah ia mencelupkan tangannya kedalam bejana hingga ia mencucinya terlebih dahulu sebanyak tiga kali cucian, karena sesungguhnya ia tidak mengetahui di manakah tangannya bermalam.”(Shahih HR. Muslim no. 278)
Namun pendapat yang rajih, air tersebut selama tidak berubah dari kemutlakannya atau berubah dari salah satu atau lebih sifat karena terkena najis, tetap dalam kesuciannya dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan melenyapkan najis. Adapun dalil hadits di atas berupa pelarangan mencelupkan tangan ke air secara langsung bagi orang yang bangun tidur bukan mengenai hukum kesucian air tersebut.
5)      Air sumur di pekuburan
Hukumnya tetap sebagai air thahur (suci lagi mensucikan) karena masuk dalam ke-umuman hadits :
إِنَّ المَاء طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيءٌ
“Sesungguhnya air itu suci lagi mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.”(Shahih HR. Abu Dawud no.67)
Adapun pendapat yang meragukan kesuciannya tidak mempunyai dasar dari dalil-dalil Al-Quran maupun Al-Sunnah yang shahih.
6)      Air Zam-zam
Pendapat yang menyatakan air zam-zam tidak dapat digunakan untuk bersuci tidak mempunyai dasar yang kuat bahkan menyelisihi hadits Nabi shalaullahu’alaihiwasallam :
ثُمَّ أَفَاضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِسَجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
“Lalu Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam menuangkannya maka beliau meminta diberikan satu timba air zam-zam lalu beliau meminumnya dan berwudhu dengannya.”(Hasan, Musnad Imam Ahmad no.564)
Maka tidak terdapat dalil shahih lagi sharih (jelas) yang menyatakan air zam-zam tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Kesimpulan pembahasan hukum kesucian air
Dapat kita simpulkan hukum kesucian air dengan dhabith(patokan hukum) fiqih :
الأصل في المياه الطهورية إِلا بدليل
Hukum asal air adalah suci lagi mensucikan
kecuali ada dalil yang menyatakan ketidak suciannya

Perincian :
Yang dimaksud air disini adalah air mutlak bukan air yang telah hilang/berubah namanya atau sebutan  kemutlakannya. Maka tetap hukumnya suci lagi mensucikan sampai adanya dalil yang mengeluarkan sifat thahur-nya (suci lagi mensucikannya). Dalil yang dimaksud berasal dari Al-Quran dan sunnah yang shahih.
Shalawat dan salam bagi Rasulullah, keluarga dan sahabat beliau. Segala puji bagi Allah.
Poso, Jumat pagi 6 Rabiuts Tsani 1432/ 11 Maret 2011

Silahkan anda melayangkan pertanyaan mengenai tema yang di bahas di atas melalui kolom komentar !!