Menyongsong Khilafah Kasyidah di atas Minhaj Nubuwah

15 Februari 2011

Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah dalam Aqidah


Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad
Sebagai Hujjah dalam Aqidah
Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli
Pendahuluan
Makalah ini kami buat khususnya untuk menjelaskan kepada para sahabat kami yang masih jatuh kepada kekeliruan penolakan penetapan aqidah menggunakan hadits ahad. Dan kepada kaum mukminin umumnya agar mereka tidak terjatuh sebagaimana orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan yang semodelnya jatuh dalam kesesatan.
Intinya pembahasan ini mengenai apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah di dalam aqidah? Padahal menurut sebagian ulama, hadits ahad bersifat zhannni tsubut (dugaan pada penetapan) dari Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam. Dan masih mungkin ada kedustaan dan kekeliruan dalam periwayatannya. Untuk lebih jelasnya, silakan mengikuti pembahasan ini.
Definisi Hadits Mutawatir dan Ahad
Hadits dibagi dalam dua jenis dilihat dari segi jumlah periwayatnya :
1. Hadits Mutawatir.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang dengan jumlah itu dianggap mustahil dapat melakukan kebohongan secara bersama. Dengan definisi ini keabsahannya bersifat mutlak. Jika, hadits itu hanya mengandung satu makna, maka ke-absahannya hanya berlaku pada makna tunggal tersebut. Dan bila kedua syarat ini terdapat dalam satu hadits, maka ia dikategorikan memberi khabar (muatan) yang bersifat ilmul yaqin (kebenarannya mutlak). Karena itu ia dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. (Pengantar Studi Aqidah Islam, hal : 23)
2. Hadits Ahaad.
Yaitu bila jumlah perawinya tidak sebanyak perawi hadits mutawatir. Hadits ini terbagi dalam empat bagian :
a. Masyhur.
 Yaitu bila perawinya ada 3 orang.
b. Mustafidh.
Yaitu bila perawinya lebih dari 3 orang. Tapi mayoritas ulama menganggap kedua jenis tersebut sama saja. Dan bahwa keduanya menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu dan yakin (mutlak). Jika ia hanya memuat satu makna, maka keabsahan itu berlaku untuk makna tunggal tersebut. Maka, kedua jenis ini dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid.
c. `Aziz.
Yaitu bila ia diriwayatkan oleh 2 orang, walaupun itu hanya pada peringkat pertama dari seluruh rangkaian peringkat sanadnya. Jenis ini juga menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu dan yakin (mutlak) bagi sebagian besar ulama. Dengan begitu, jenis inipun dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid.
d. Khabarul Wahid.
Yaitu bila perawinya hanya satu orang. Bila perawi tunggal berada pada seluruh rangkaian sanadnya, maka ia disebut Al-Fardul Muthlaq (tunggal mutlak). Tapi bila perawi tunggal itu berada pada peringkat pertama atau kedua dari seluruh rangkaian sanadnya, kemudian ia tersebar dan diriwayatkan oleh lebih dari satu orang pada peringkat selanjutnya, baik sama dengan jumlah perawi mutawatir, masyhur atau mustafidh, maka ia disebut Al-Fardun Nisby (tunggal relatif). (Pengantar Studi Aqidah Islam, hal : 24) (Kami nukil dengan sedikit perubahan dari makalah ”Menepis Syubhaat Hadits Ahad, karya Al-Ustadz Abu Ahmad Al-Fauzi, Lc. Halaqoh Studi Mengenal Islam (HASMI) Bogor)
Sejarah Pembagian Hadits Menjadi Mutawatir dan Ahad
Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata : ”Adapun pembagian hadits menjadi ahad dan mutawatir adalah pembagian yang bid’ah, dan orang yang pertama kali melakukan kebid’ahan ini adalah Abdurrahman bin Kaisaan Al-’Asham, sebagian orang mengatakan: ’Ia Asham(tuli) dari kebenaran.’ Dan muridnya yang bernama Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim yang populer dengan nama Ibnu ’Ulayyah mengikuti pula pendapatnya, sedangkan ayahnya (ayah dari Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu ’Ulayyah –Ismail bin Ibrahim- adalah salah satu dari para syaikh Imam Ahmad dan termasuk rijal-rijalnya Syaikhain (Bukhari dan Muslim). Adapun Ibrahim bin Ismail adalah jahmiyun dari kulitnya (pengikut Jahm bin Shafyan orang zindiq yang sesat-pen). Adapun istilah mutawatir yang digunakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana di dalam kitabnya ”Al-Risalah” berasal dari ahli kalam/filsafat”(Al-Muqtarah, hal. 64)
Apa yang dinyatakan oleh Syaikh Muqbil  rahimahullah bahwa Imam Syafií di dalam kitab”Al-Risalah” menggunkan istilah mutawatir adalah tidak benar, yang ada hanya istilah khabar wahid (dan bukan pula kabar ahad).
Pembagian hadits menjadi mutawir dan ahad tidak dikenal oleh ulama hadits sebelumnya kecuali  generasi sesudahnya, dan istilah ini diadopsi dari ahli ushul. Istilah ini tidak ditemukan dalam kitab ahli hadits semacam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al-Risalah Imam Syafi’i dan sebagainnya. Yang adanya hanya istilah khabar wahid yaitu kabar yang dinukil satu orang dari satu orang sampai keakhir sanad, bukan khabar ahad seperti yang didefinisikan oleh ushuliyyin, yaitu kabar yang tidak terdapat padanya syarat-syarat mutawatir. Bahkan khabar wahid yang dimaksud oleh ahli ushul berbeda dengan definisi khabar wahid yang dimaksud ahli hadits sebelumnya. Berkata Al-Juwaini (beliau adalah salah satu ahli ushul) :”Yang dimaksud dengan khabar wahid (ahad) bukanlah kabar yang dinukil dari satu orang. Akan tetapi setiap kabar dari sesuatu yang jaaiz dan mungkin, serta tidak dapat dipastikaan kebenarannya dan kebohongannya secara dharuri ataupun istidlali, maka kabar tersebut khabar ahad, baik dinukil oleh satu orang ataupun banyak orang.”(Al-Burhan, 489-492)
Bahkan sebagian ulama ahli hadits seperti Al-Khathib Al-Baghdadi yang menggunakan istilah tersebut terkesan mengikuti selain ahli hadits sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Shalah. Andaikan didapatkan istilah ini pada perkataan Al-Hakim, Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hazm memakai istilah mutawatir maka yang dimaksud disini adalah perkataan ”Telah mutawatir dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam begini.........hadits ini mutawatir” sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Iraaqi (Lihat Tadribur Rawi,2/176).
Pembagian tersebut lebih dikenal di dalam ilmu ushul fiqih yang sumbernya berasal dari ilmu kalam. Ulama ushul yang terkenal dengan pembagian tersebut adalah Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa. Kemudian mayoritas ahli ushul mengikutinya. Begitu juga ulama ahli hadits mutaakhirun pun mengikutinya seperti Ibnu Atsir Al-Jazri dalam Mukaddimah kitab Jami’ Al-Ushul, Al-Khathib dalam kitabnya Al-Kifayah.
Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abill Izz dalam Syarah Aqidah Thahaawiyah, ketika mensyarah perkataan Imam Al-Thahawi ”Seluruh hadits yang shahih dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam berupa syariat dan bayan adalah hak.” Imam Ibnu Abil Izz berkata :”Syaikh(Al-Thahawi) mengisyaratkan kepada bantahan terhadap kelompok Jahmiyah, Muaththilah, Mu’tazilah dan Rafidhah yang mengatakan bahwa kabar terbagi dua ; mutawatir dan ahad.”
Tujuan Pembagian Hadits Mutawatir dan Ahad di Sisi Sebagian Ulama Ahlus Sunnah
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad ini, diistilahkan oleh para fuqaha dan ahli hadits belakangan. Sebelumnya, pada masa sahabat dan tabi’in belum pernah dikenal. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk memilah-milah hadits setelah tersebarnya fitnah dan banyaknya pemalsuan hadits, dan untuk menentukan tingkatan-tingkatan hadits.
Pembagian ini sangat bermanfaat. Diantara kegunaannya, yaitu bila ada ta’arudh (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain dan tidak mungkin dikompromikan, maka memungkinkan untuk men-tarjih(menguatkan) salah satunya. Namun hal itu bukan berarti bahwa yang mutawatir tidak dapat di-nasakh(hapus) atau di-takhshish (dikecualikan) dan di-muqayad (dibatasi) dengan hadits ahad. Contohnya adalah pemindahan arah kiblat dimana kabar seorang utusan Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam menjadi hujjah bagi kebanyakan sahabat untuk merubah arah kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis berubah menghadap ke-Ka’bah. Disamping itu, untuk dapat menentukan sikap yang tepat kepada orang yang menolak satu hadits ahad. Orang yang menerima istilah mutawatir dan ahad –yaitu jumhur- tidak mengkafirkan orang yang menolak satu hadits ahad atau hadits tertentu dari hadits ahad, sebab sebagian pendapat menyatakan pada asalnya ia adalah zhannni at tsubut, akan tetapi perbuatannya ini adalah maksiat dan sesat.
Kekuatan Hadits Ahad
Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi kemungkinan dusta atau salah dari para perawi. Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan yang banyak dan polemik yang panjang. Akan tetapi dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat.
Pertama : Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim ataupun oleh yang lain. Ini adalah madzhab Daud Al-Zhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (245 H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik (menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al-Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya perkataan satu orang yang adil dari orang yang sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal sekaligus”. Alasan mereka adalah :
1.       Ilmu yaqini ini, bersifat ilmu nazhari burhani. Artinya keyakinan yang didasarkan kepada penelitian dan pembuktian. Karena itu, kemampuan melakukan penelitian serta pembuktian tidak dimiliki, kecuali oleh orang alim (berilmu) yang ahli dalam bidang hadits, yang mengetahui ihwal para perawi dan macam-macam illat. Adapun orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat ini, tidak mungkin akan menghasilkan ilmu yaqini ini.
2.       Ilmu pasti yang didapatkan oleh orang alim yang ahli ini, tidaklah terbatas pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja, sebab keduanya tidak menghimpun keseluruhan hadits shahih.
3.       Ijma’ ulama telah tegak, bahwa hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan, dan tidak dapat diterima secara akal, bila ada sesuatu yang wajib diamalkan tanpa meyakini kebenarannya. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Ijma’ yang disebutkan berkaitan dengan hadits (riwayat) satu orang yang adil dalam hal i’tiqad, mendukung ucapan orang yang mengatakan bahwa hadits ahad mewajibkan ilmu (keyakinan)”.
4.       Sesungguhnya kabar Nabi tidak boleh dusta dan salah, maka seluruh ucapan Nabi dalam agama adalah wahyu. Tidak ada khilaf, bahwa wahyu itu dari Allah dan setiap wahyu terpelihara dengan penjagaan Allah. Setiap yang dijamin oleh Allah untuk dilindungi pasti tidak akan hilang.
Catatan: Inilah pendapat kami (Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli) penulis makalah ini, kami menyakini hadits ahad yang shahih apalagi tidak ditemukan penyelisihan ulama mengenai keshahihanya(ulama sepakat keshahihanya) maka hal ini membawa faedah ilmu yakini, andaikata terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai keshahihanya maka yang kami ambil adalah yang paling kuat hujjah mereka dalam penshahihan dan pedhaifannya. Dan sebagaimana ucapan Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –rahimahullah- : ”Dan tidaklah membahayakan bagi kami entahkah (hadits ahad yang shahih itu) membawa faedah ilmu ataukah zhann”(Al-Muqtarah, hal. 65)
Kedua: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim atau oleh salah satunya, maka ia adalah qath’i tentang keshahihannya dan menghasilkan ilmu yang yakin.
Demikian ini madzhab Ibnu Al-Shalah (577-643 H), dan dia mengecualikan beberapa hadits yang telah dikritik oleh para kritikus hadits seperti Daruquthni (306-380 H).
Bahkan Al-Bulqini (724-805 H) mengatakan, bahwa madzhab ini juga diikuti oleh sejumlah huffazh mutaakhkhirin (para ahli hadits pada masa belakangan), seperti Abu Ishaq Al-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfiraini (344-406 H), Qadhi Abu Al-Thib (w. 308 H) dari kelompok Syafi’iyyah, Al-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah, Qadhi Abdul Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah, Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Al-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah, Ibn Furak Al-Syafi’i (w. 406 H), dan mayoritas Ahli Kalam dari Asy’ariyyah, serta seluruh ahli hadits dan madzhab Salaf secara keseluruhan. Bahkan Ibn Thahir Al-Maqdisi menambahkan : “Semua hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qaht’i, meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (726 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H), dan Ibnu Hajar (773-852 H) dan Ali Ibn Al Izz Al-Hanafi (731-792 H).
Syaikh Abdur Rahman Dimisyqiyah dalam kitabnya, Mausu’ah Ahlis Sunnah menjelaskan, madzhab ini juga dianut oleh Abu Al-Muzhaffar As Sam’ani, Abu Abdillah Muhammad Al-Humaidi, Al-Sakhawi, Al-Suyuthi (849-911 H), Al-Allamah Muhammad Al-Sindi Al-Hanafi, Syaikh Waliyullah Al-Dahlawi Al-Hanafi, Muhammad Anwar Al-Kasymiri Al-Dubandi dan Abu Bakar Al-Jashshash Al-Hanafi (305-370 H). Alasan mereka adalah:
1.       Hadits ahad yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya memberikan ilmu yaqini karena keagungan dua imam dalam disiplin ilmu hadits ini melebihi ulama lain.
2.       Para ulama telah menerima keduanya dengan bulat. Penerimaan ini menunjukkan qarinah (indikasi) terkuat dalam memberikan ilmu yaqini, daripada sekedar banyaknya jalur yang masih di bawah mutawatir. Akan tetapi, ini khusus untuk hadits yang tidak dikritik oleh para ulama huffazh (ahli hadits) dan nuqqad (kritikus hadits) yang jumlahnya mencapai 220 hadits, 78 khusus riwayat Imam Bukhari, dan 100 khusus riwayat Imam Muslim.
Ketiga : Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i, akan tetapi zhannni tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah). Di antaranya adalah Al-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (478 H) dan Ibnu Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang ditarjih oleh Imam Nawawi (631-670 H). Alasan mereka adalah :
1.       Hadits ahad memberikan ilmu zhannni nazhari, bukan yaqini dharuri. Karena, bersambungnya dengan Nabi memiliki satu syubhat (kesamaran), baik dalam bentuknya maupun maknanya. Adapun syubhat dalam bentuknya, yaitu karena hubungan dengan Rasul Allah tidak secara langsung. Adapun dari segi maknanya, karena umat ini menerimanya setelah generasi tabi’in. Ustadz Abu Zahrah berkata,”Karena syubhat ini, maka mereka mengatakan ‘ia wajib diamalkan, selama tidak ada yang menentangnya’.”
2.       Seandainya ia memberikan keyakinan, tentu tidak ada gunanya membedakan antara mutawatir dan ahad, tentu boleh menasakh Al-Qur’an dan hadits mutawatir dengannya, karena ia satu kedudukan dalam memberikan keyakinan.
3.       Imam Haramain (370-478 H) berkata : “Sesungguhnya perawi itu bisa salah –seandainya salah, dan itu tidak mungkin, tentu tidak ada rawi yang ruju’ dari riwayatnya-. Apabila kemungkinan salah telah menjadi jelas, maka memastikan kebenarannya adalah mustahil”.
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahli Sunnah dan Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar ahad, dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya –kecuali Khawarij dan Mu’tazilah- bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani (1173-1250 H): “Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberi informasi zhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan apabila khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang bergabung dengannya dan menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pandapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (Ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia adalah memberikan ilmu (keyakinan), karena Ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, ada yang mengamalkannya dan ada yang men-ta’wi-lnya”. (Irsyad Al Fuhul, 49).
Ibnu Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al-Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al-Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al-Ihkam Fi Ushul-Al Ahkam, 2/ 50).
Kesimpulannya, secara umum (menurut sebagian ulama-pen) hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhannn, akan tetapi ucapan zhannniyah al-hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhannn. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis. (Disadur dengan sedikit perubahan dari makalah HADITS AHAD MEMBERIKAN KEYAKINAN YANG BERSIFAT NAZHARI karya Al-Ustadz Agus Hasan Bashori hafizhahullah)
Alasan menolak hadist ahad dalam perkara Aqidah
Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah taála- menyatakan bahwa hadist ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan Aqidah. Beliau beralasan bahwa hadist ahad hanya mendatangkan zhann(dugaan/perkiraan) belaka, berbeda dengan hadist mutawatir yang mendatangkan keyakinaan secara qath’i (pasti).
Beliau berkata:“Karena itu khabar (hadist) Ahad tidak dapat dijadikan dalil(hujjah) dalam penetapan aqidah disebabkan ia bersifat zhann, sedangkan aqidah harus dalam bentuk keyakinan. Di dalam Al-Quran Allah Ta’ala telah mencela mengikuti zhannn. Allah Ta’ala berfirman :
“Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan) tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann”.
“Tidaklah kebanyakan mereka kecuali hanya mengikuti zhann, sesunggahnya zhann itu tidaklah memberikan faidah sedikitpun kepada kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
“Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann.” (QS. Al-An’aam : 116)
“Tidaklah mereka mengikuti kecuali hanya zhann dan apa yang diingini ole hawa nafsu mereka.”(QS. Al-Najm : 23)
“Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan) tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann, sesunggahnya zhann itu tidaklah memberikan faidah sedikitpun kepada kebenaran.” (QS. Al-Najm :28)
Ayat-ayat tersebut dan selainnya menunjukkan secara jelas tercelanya orang-orang mengikuti zhannn di dalam penetapan aqidah. Tercelanya mereka menunjukkan larangan mengikuti zhann. Sedangkan khabar ahad bersifat zhann, menggunakan hadist ahad didalam penetapan aqidah artinya sama dengan mengikuti zhann, padahal telah terdapat celaan mengikuti zhann secara jelas di dalam Al-Quran………(hingga perkataan beliau-pen)…………Maka karena itulah khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan aqidah.
Hanya saja ayat-ayat ini membatasi (larangan mengikuti zhann) khusus pada penetapan aqidah dan tidak untuk penetapan hukum-hukum syari’at. (kemudian beliau menjelaskan tema sebagian ayat di atas mengenai pencelaan mengikuti zhann dalam aqidah hingga perkataan beliau-pen)… maka hal itu menunjukkan tema pembahasan dalam ayat tersebut mengenai penetapan aqidah. Ini satu segi (dalam persoalan aqidah-pen), segi yang lainnya (dalam persoalan hukum-pen) bahwa Rasulullah-shalaullahu’alaihi wassalam- menetapkan hukum dengan khabar ahad, dan kaum muslimin pun mengambil dan menetapkan hukum syari’at dari khabar ahad…….”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 191-192)  
 Sanggahan :
Pendapat yang dilontarkan Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah ta’ala- perlu dikaji ulang. Sebelumnya, terdapat suatu ungkapan yang cukup terkenal yang diucapkan oleh Imam Malik bin Anas-rahimahullah ta’ala -, yaitu:"Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
Maka apa yang telah dilontarkan oleh Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah ta’ala- tidak boleh diterima atau ditolak kecuali setelah ditimbang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah Al-Shahihah.
      Perkataan beliau-rahimahullahu- :“Hanya saja ayat-ayat ini membatasi (larangan mengikuti zhann) khusus pada penetapan aqidah dan tidak untuk penetapan hukum-hukum syari’at.” (Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 190)
Perkataan beliau tersebut tidak dapat diterima. Berdasarkan dua kaidah :
Pertama, yang menjadi patokan adalah makna umum sebuah  lafazh bukan sebab khususnya. Artinya pencelaan mengikuti zhann di dalam ayat-ayat yang di bicarakan tidak hanya pada masalah aqidah saja namun juga masalah hukum.
Kedua, Allah ta’ala menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa zhann yang Dia ingkari atas kaum musyrikin mencangkup pendapat mereka dalam masalah penetapan hukum. Sebagaimana firman-Nya ta’ala :
”Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan :”Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya – ini dalam masalah aqidah-pen- dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun –ini dalam masalah penetapan hukum syar’i-pen-.”Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksa Kami”.Kalian tidak mengikuti kecuali zhann, dan kalian tidak lain hanya berdusta.”(QS. Al-An’am : 148)
Perkataan orang-orang musyrik :”Jika Allah menghendaki, ”  menunjukkan mereka berhujjah dengan takdir kauniyyah Allah Subhana wa ta’ala. Mereka beralasan bahwa apa yang mereka perbuat (baik kesyirikan maupun pengharaman) bukan berasal dari diri mereka akan tetapi berasal dari kehendak dan keridhoan Allah. Sebagaimana ucapan mereka :” dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”.(Merupakan tafsir terpilih dalam Jami’ul Bayan fii Tafsiril Quran, VIII/57-58) Pendapat ini mirip dengan pendapat kaum jabariyyah yang mengelak atas perbuatan jahatnya dan menyatakan dirinya tidak berhak dihukum atas kejahatannya karena hal itu adalah takdir Allah.
Suatu kekeliruan bila menafsirkan ayat di atas dengan anggapan bahwa mereka orang-orang musyrik mengangkat diri mereka sebagai musyari’(yang berhak menetapkan halal dan haram) tandingan Allah ta’ala, yang artinya hal tersebut berkaitan dengan aqidah karena tasyri’(penetapan hukum halal dan haram) hanya hak khusus bagi Allah ta’ala.
Maka pendapat Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- (mengenai pembahasan ayat-ayat di atas) yang membatasi zhann yang tercela hanya zhann dalam masalah penetapan aqidah  dan tidak untuk penetapan masalah hukum merupakan pendapat yang keliru.  Lalu yang menjadi pertanyaan, zhann yang bagaimanakah yang Allah cela dalam ayat-ayat tersebut ? Pembahasan mengenai bentuk zhann yang tercela –insya Allah- akan dibahas pada makalah ini. Segala puji bagi Allah.
Anggapan Bahwa Rasulullah, Para Sahabat dan Kaum Muslimin Menolak Khabar Ahad dalam Perkara Aqidah
Kemudian Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- berkata :“Ini satu segi (dalam persoalan aqidah-pen), segi yang lainnya (dalam persoalan hukum-pen) bahwa Rasulullah-shalaullahu álaihi wassalam- menetapkan hukum dengan khabar ahad, dan kaum muslimin pun mengambil dan menetapkan hukum syari’at dari khabar ahad…….”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 190)  
Perkataan Syaikh-rahimahullah- di atas menunjukkan kekeliruan beliau-semoga Allah mengampuni kami dan beliau- dan seolah-olah ingin memberikan isyarat bahwa khabar ahad hanya diterima oleh Rasulullah dan kaum muslimin (termasuk para sahabat) dalam persoalan hukum bukan dalam penetapan aqidah. Senada dengan Syaikh Taqiyuddin, salah seorang sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik Nusa Tanjung-semoga Allah ta’ala menjaganya- juga berpendapat sama, beliau berkata :”Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama(Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.)  
Sanggahan :
Mungkin Syaikh Taqiyyuddin-rahimahullah- lupa bila beliau pernah membuka kitab Shahih Muslim (hadist no. 5235 Bab Kisah Al-Jassaasah) akan di dapatkan riwayat berasal dari Fathimah binti Qais-radhiallahu ’anha- mengenai cerita Al-Jassaash dan Dajjal  yang disampaikan oleh sahabat Tamim Al-Dari- radhiallahu ’anhu- kepada  Rasulullahshalaullahu’alaihi wasallam.
Mengenai hadist ini Imam Al-Nawawi-rahimahullah ta’ala- berkata: ”Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang”.(Syarah Shahih Muslim:333/9)   
Syaikh Salim bin ’Id Al-Hilaali-hafizhahullah- berkata dalam kitab beliau Al-Jama’at Al-Islamiyyah Fi Dhauil Kitab Was Sunnahy Bi Fahmi Salafil Ummah:”Yakni dalam masalah aqidah. Karena hadist ini (Kisah Al-Jassaasah) tidak lain berisi tentang aqidah. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui kelirunya ucapan mereka tentang Al-Nawawi, bahwa beliau tidak memerima khabar ahad dalam masalah aqidah.”(disadur dari Polemik Hadist Ahad (Bantahan Terhadap surat Terbuka) oleh Al-Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani hal. 77, dimuat pada majalah As-Sunnah Edisi khusus/Tahun VIII/1425H/2004M)
Sahabat Rasulullah sekaligus sepupunya yang merupakan ahli tafsir Al-Quran yaitu Ibnu Abbas radhiallahuanhuma- menerima hadist ahad dari sahabat Ubai bin Kaáb radhianllahuanhu.
Sebagaimana dari Sa’id bin Jubair beliau mengatakan bahwa, dia berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahunhu sesungguhnya Naufan Bakkali beranggapan bahwasannya Musa teman Al-Khidhir bukanlah Musa yang diutus kepada Bani Israil, ”Berkata Ibnu Abbas,’Sungguh telah dusta musuh Allah, telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka’ab, dia berkata, ’Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam telah berkhutbah dihadapan kami, kemudian beliau menyebutkan kisah Musa bersama Khidhir secara panjang lebar yang menunjukkan bahwa Nabi Musa yang diutus kepada bani Israil adalah yang mengikuti Al-Khidhir’.”(Mutafaqun’alaihi)
Berkata Imam Syafi’i –rahimahullahta’ala- :”Ibnu Abbas dengan segala pemahaman dan kewaraan beliau tetap saja menetapkan kebenaran dari hadits Ubay bin Kaáb hingga dia mengatakan kepada seorang muslim yang mengingkari khabar itu sebagai pendusta, di mana Ubai bin Ka’ab telah mengabarkan berita tersebut dari Rasulullah shalaullahu álaihi wassalam dan di dalamnya terdapat petunjuk yang menerangkan bahwasanya Musa yang diutus kepada bani Israil adalah yang mengikuti Al-Khidhir.”(Al-Risalah hal. 442-443)
Begitu pula Abdullah bin Umar bin Al-Khatahab radhiallahu’anhuma menerima hadist ahad mengenai datangnya Jibril kepada Rasululllah shalaullahu’alaihi wasallam untuk mengajarkan rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan yang berasal dari ayahnya Amirul mukminin Umar bin Al-Khathab radhiallah’ anhu.
Sebagaimana yang dikahabarkan Yahya bin Ya’mar dia berkata : ”Orang yang pertama kali mengucapkan permasalahan takdir di Basrah adalah Ma’bad Al-Juhaini..................(hingga perkataannya-pen) maka kami bertemu Abdullah bin Umar bin Al-Khathab di dalam masjid.......(lalu  Abdullah bin Umar bin Al-Khathab berkata panjang lebar hingga beliau berkata) telah menceritakan kepadaku Ayahku Umar bin Al-Khathab, dia berkata :”Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam ) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam): “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“(HR. Muslim no. 9 )
Begitupula Ummu Darda meriwayatkan dari Abu Darda, bahwa ia berkata aku pernah mendengarkan Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam bersabda : ”Allah telah menetapkan bagi setiap hamba lima perkara : ajalnya, rizkinya, kematiannya, sengsara dan kebahagiannya.”(Shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/197)
Begitupula riwayat dari Amar bin Maimun bahwasannya ia pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu bercerita; dari Saad bin Muadz bahwasannya dia pernah berkata: bahwa ia adalah sahabat Umayah bin Khalaf........................(hingga perkataan)........maka demi Allah aku (Saad bin Muadz) pernah mendengar Rasulullah shalaullahu ’alaihi wassalam bersabda :”Sesungguhnya mereka(kaum muslimin) akan membunuhmu (Umayah bin Khalaf)............(hingga perkataan)......maka tatkala Umayah keluar (ke perang Badar) tidaklah ia meninggalkan di rumahnya kecuali seutas tali untanya maka ia terus menerus seperti itu hingga Allah Azza wa Jalla  membunuhnya di perang Badar.”(HR. Bukhari 5/282)
Begitupula riwayat dari Urwah bin Zubair bahwasanya binti Abi Salamah telah menceritakan kepadanya bahwasanya Ummu Habibah binti Abi Sufyan telah menceritakan kepadanya dari Zainab binti Jahsy bahwa Rasulullah shalaullahu álaihi wassallam datang kepadanya dalam keadaan takut sambil bersabda : ”Tiada ilah (yang hak) kecuali Allah celaka bagi bangsa arab dari keburukan yang  telah dekat waktunya : hari ini telah tembok raksasa Yajuj dan Majuj telah terbuka (terlubangi) seperti ini. Beliau melinggkarkan jari-jemarinya yang satu dengan yang lainnya. Maka berkata Zainab : ’Aku bertanya: Wahai Rasulullah apakah kita akan dibinasakan padahal disekitar kita masih terdapat orang-orang shalih?’ Beliau menjawab:” Ya, jika kejahatan telah merajalela.”(HR. Bukhari 6/211)
Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Ada seorang sahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam." (HR. Bukhari 13/232)
Berkata Ustadz Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA –hafizhahullah- :Maka inilah peristiwa yang dilakukan sahabat, yang memperlihatkan bahwa satu orang dari kalangan sahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan (aqidah-pen) maupun perbuatan (hukum-pen) (Kehujahan Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah,Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA).
Masih banyak lagi hadist shahih berstatus ahad dari Rasulullah yang bertema aqidah yang diriwayatkan sahabat dari sahabat yang lain. Cukuplah hal ini menunjukkan kekeliruan pendapat yang menyatakan para sahabat Rasulullah hanya menerima hadist ahad pada permasalahan hukum bukan aqidah. Bahkan tradisi menerima riwayat hadist ahad yang bertema aqidah terus-menerus dilakukan oleh sahabat, tabi ’in, tabi ’ut- tabi ’in hingga kaum muslimin pada zaman sekarang tanpa membeda-bedakannya kecuali sekelompok kecil kaum yang keliru menolak hadist ahad dalam penetapan aqidah.
Apa yang diperbuat sahabat menerima hadist ahad pada perkara hukum dan Aqidah menunjukkan mereka tidak bersusah-susahan untuk mencari kemutawatiran dari suatu berita yang mereka dapat, bahkan Rasulallah shalaullahu álaihi wassallam telah mencontohkan diterimanya hadist ahad dalam perkara aqidah sebagaimana beliau menerima berita Al-Jassaasah dan Dajjal dari Tamim Al-Dari radhiallahu’anhu padahal pada saat itu wahyu masih turun, artinya Allah meridhoi sikap beliau dan para sahabat menerima hadist ahad dalam masalah hukum dan aqidah. Dan mereka semua tidak pernah sama sekali membahas apakah hadist ahad itu memberikan faedah zhann ataukah ilmu? Yang ada ketika mereka mengetahui bahwasannya orang yang menyampaikan hadist adalah orang yang jujur bukan orang yang fasik, atau tidak terbukti kekeliruannya dalam menyampaikan hadist maka mereka akan menerimanya, tanpa menghitung-hitung jumlah yang menyampaikannya.
Bahkan orang-orang setelah mereka (kaum salaf) tidak di dapatkan berita tentang ’ijmanya penolakan mereka terhadap kehujjahan hadist ahad dalam penetapan aqidah. Artinya barangsiapa yang menyatakan adanya ijma terhadap penolakan hadist ahad dalam perkara aqidah adalah keliru tanpa bukti yang jelas apalagi samar-samar. Inilah amalan Rasulallah shalaullahu’alaihi wasallam, para sahabat dan orang-orang sesudah mereka menerima hadist ahad dalam perkara aqidah.  Rasul bersabda ”Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.”(HR. Muslim)
Maka sebab itulah pendapat yang menolak menetapkan aqidah dengan hadits ahad adalah bid’ah (baru diada-adakan) yang tidak dikenal di zaman salaf. Rasul shalaullahu’alaihi wasallam bersabda ”Barangsiapa yang mengada-ada (bid’ah) dalam perkara kami ini maka tertolak.” (Mutafaqun ’alaihi)
Adapun pengkiasan (penyamaan) penolakan riwayat hadist ahad dalam pengumpulan Mushaf Al-Quran yang dilakukan para sahabat dengan penolakan hadist ahad dalam masalah aqidah -insya Allah- akan dibahas dalam makalah ini. Segala puji bagi Allah.
Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- berkata :”Rasulullah –shallaullahu álaihi wassalam- mengutus para sahabat secara perorangan ke beberapa negeri untuk mendakwahkan Islam, mengajarkan hukum Islam, meriwayatkan hadist, sebagaimana beliau –shalaullahu’alaihi wassalam- mengutus Muadz ke Yaman. ”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz III hal. 84)  
Dari ucapan beliau, nampak beliau enggan untuk menyatakan bahwa sahabat diutus oleh Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam kebeberapa negeri dengan misi salah satunya adalah menyampaikan aqidah.  
Tidakkah beliau memperhatikan perintah Rasul shalaullahu ’alaihi wasallam kepada Muadz bin Jabal radhiallahu ’anhu ketika diutus ke Yaman ? Rasul shalaullahu’alaihi wasallam bersabda :”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan ahli kitab. Maka jadikanlah seruan pertamamu kepada mereka , yaitu agar mereka mengesakan Allah semata......(Mutafaqun ’alaihi)
Apakah seruan Muadz kepada penduduk Yaman hanya sebatas ucapan ”esakanlah Allah”, ataukah juga termasuk perkara aqidah yang lain semisal surga dan neraka, hari kiamat yang mana beliau radhiallahu ’anhu tidak hanya berkata ”Telah berfirman AllahTa’ala!” akan tetapi pula akan berkata”Telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam” ?
Padahal sudah menjadi tradisi sahabat apabila berbicara mengenai agama maka mereka akan mengatakan telah berfirman Allah Ta’ala dan telah bersabda Rasulallah shalaullahu’alaihi wasallam. Maka pengutusan sahabat pun tidak lepas dari penyampaian aqidah dimana sahabat tentu akan mengatakan telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam, atau aku telah mendengar Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda atau bahwa Rasululluh shalaullahu’alaihi wasallam pernah melakukan ini dan ini yang semuanya tidak terbatas hanya hukum saja bahkan terutama aqidah. Ketahuilah pemisahan antara aqidah dan hukum dari hadist Rasul shalaullahu álaihi wassalam tidaklah dikenal di zaman Rasul dan sahabat! Maka pembahasan mencari-cari dalil bahwa sahabat menolak penetapan aqidah dengan kabar ahad adalah perbuatan takaluf (membebani diri sendiri) dimana Allah Ta’ala, Rasul-Nya shalaullahu’alaihi wasallam serta sahabat radhiallahu’anhum tidak pernah membicarakannya.  Segala puji bagi Allah.
Imam Nawawi antara perkataannya: ”Wajib mengamalkan khabar ahad” dan kenyataan sikap beliau dalam menjadikan kabar ahad sebagai hujjah aqidah.
Sebagian kelompok yang menolak dijadikannya hadist ahad yang shahih sebagai hujjah dalam aqidah menyandarkan pendapatnya pada perkataan Imam  Nawawi: ”Wajib mengamalkan hadist ahad”.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqah adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”( Syarah Shahih Muslim,1/64)
”Hanya saja  (hadist ahad di dalam Shahih Bukhari dan Muslim -pen) memberikan faedah wajib mengamalkan apa yang di dalam keduanya tanpa tawaquf( berdiam diri tidak mengamalkan) untuk melakukan penelitian terdahulu  padanya. ”(Tadrib Al-Rawi Li al-Suyuthi, 1/133)
”Para khalifah yang rasyid dan sahabat-sahabat lainnya, orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan); (mereka) masih tetap mengamalkan hadist ahad” (Syarah Shahih Muslim, 1/130)
Silakan diperhatikan ucapan Imam Nawawi ketika mensyarah hadist Ubadah bin Shamit yang berbunyi : ”Telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam : ”Barangsiapa yang mengucapkan ;’Aku bersaksi bahwasannya tiada ilah (yang hak) selain Allah yang maha esa Dia dan tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan putra dari ibunya (Maryam binti Imran-pen) dan kalimat-Nya yan dihembuskan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, surga itu benar adnya, neraka itu benar adanya, Allah akan memasukkannya dari delapan pintu surga yang dikehendaki.”  
(Berkata Imam Nawawi) :”Dan hadist ini , posisinya sangat agung, termasuk hadist yang paling lengkap, atau termasuk salah satu hadist yang paling lengkap memuat masalah aqidah. Karena di dalamnya Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasalam mengumpulkan segala sesuatu, yang keluar dari seluruh agama kafir dari keragaman aqidah mereka.(Syarah Shahih Muslim, 1/103)
Begitu pula perkataan beliau terhadap hadist qudsi yang shahih dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ’anhu yang berbunyi: ”Hai hamba-Ku, sesungguhnya aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku...”. Imam Nawawi berkata : ”Hadist ini merangkum beberapa faidah...(kemudian beliau menyebutkan beberapa diantaranya), kemudian berkata: ”Diantaranya adalah perkara yang menyangkut penjelasan kaidah yang sangat agung dalam masalah ushuluddin, ...(Al-Adzkar, 1/413)
Maka pengertian dari ucapan Imam Nawawi”Wajib mengamalkan hadist ahad” terdapat dua kemungkinan:
1.       Bisa jadi mengamalkan saja dengan anggota badan tanpa meyakininya. Namun hal ini tidaklah mungkin.
2.       Atau bisa jadi mengamalkan kabar ahad adalah wajib menyakini bila dalam bentuk berita dan melaksanakan bila dalam bentuk perintah. Karena definisi amal tidak selalu bermakna pelaksanaan amalan dengan anggota tubuh bahkan termasuk pembenaran, yakin, ikhlas, tunduk, iman dapat disebut sebagai amal. Sebagaimana hadist berikut :
      Rasulullah shalaullahuálaihiwassalam pernah ditanya:”Apakah amalan yang paling utama ?” maka beliau menjawab ;” Beriman kepada Allah dan rasul-Nya”(HR. Al-Bukhari no. 25)
      Di dalam Iman terdapat pembenaran, yakin, tunduk, ihklas, ridho dan cinta.
Perkataan Imam Nawawi : ” Para khalifah yang rasyid, para sahabat, kalangan salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan)  masih tetap mengamalkan hadist ahad, mereka melaksanakan kabar ahad jika mengkabarkan kepada mereka tentang suatu sunnah, mereka memutuskan dengannya, mengembalikan urusan pengadilan dan fatwa kepadanya, mendahulukan memutuskan dengannya bila terdapat keputusan mereka yang menyelisihnya, mereka mencari kabar ahad sebagai hujjah dari orang yang pernah mendapatkannya dan mereka berhujjah dengannya atas orang yang menyelisihi mereka ,ini semua perkara yang telah diketahui tanpa ada keraguan. Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut   ” ( Syarah Shahih Muslim, 1/64),
Andaikan beliau maksud para khalifah yang rasyid, para sahabat, kalangan salaf dan khalaf mengamalkan kabar ahad hanya sebatas amal anggota tubuh bukan aqidah, maka sungguh hadits-hadits dan atsar-atsar membuktikan mereka ternyata juga menjadikan kabar ahad sebagai hujjah dalam aqidah. Kalau ragu, lihatlah dalil hadits-hadits yang telah kami tunjukkan pada pembahasan sebelumnya.
Begitu pula perkataan Imam Nawawi :”mereka mencari kabar ahad sebagai hujjah dari orang yang pernah mendapatkannya dan mereka berhujjah dengannya atas orang yang menyelisihi mereka”, contohnya adalah sikap Ibnu Abbas mencari berita dari Ubay bin Kaab yang pernah mendengar hadits Nabi mengenai jati diri Khidir sebagai sahabat Nabi Musa yang diutus kepada Bani Israil dan menyatakan pengingkaran beliau terhadap orang yang menyelisihinya.
Begitu pula perkataan beliau :”Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut.” Apakah yang dimaksud syariat disini? Jelas maksudnya Al-Quran, sunnah, ijma para sahabat. Al-Quran tidak menetapkan jumlah orang yang menyampaikan berita entah itu masalah dunia apalagi agama kecuali sebatas masalah persaksian di pengadilan dan saksi  pernikahan  serta yang semacamnya yang terdapat nash mengenai ketentuan jumlahnya. Namun diingat hal itu tidak bisa jadikan qiyas karena adanya dalil yang menyelisihinya dimana Rasul dan para sahabat menerima kabar ahad dari satu orang yang dapat dipercaya agamanya. Dan inilah ijmanya para sahabat dan kami tidak menemukan khilaf padanya. Apabila ada, tolong tunjukkan dalilnya !
Sikap Imam Nawawi persis dengan sikap Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata : “Menurut pendapat kami, hadits ahad membuahkan amal, bukan membuahkan ilmu. (misalnya), seperti kesaksian dua orang dan kesaksian empat orang adalah sama. Kebanyakan ahli ilmu dan ahli hadits, juga berpendapat seperti itu. Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu orang yang adil dalam aqidah, membela dan mempertahankannya, menjadikannya syariat dan agama. Seperti itu pula pendapat jama’ah ahli sunnah.”(Al-Tamhid, 1/8)   
Maka pendapat Imam Nawawi bahwa hadist ahad mutlak hanya membawa zhann berbeda dengan pemahaman sekelompok orang (termasuk Syaikh taqiyuddin Al-Nabhani) yang memahami pula hadist ahad hanya memberi faedah zhann. Allahu akbar walillahilhamd.
Begitu pula mengklaim bahwasannya perkatan Al-Karmani adalah pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani, sebagaiamana berkata Ibnu Hajar Al-Atsqalani :Telah berkata Al Karmani: agar diketahui, sesungguhnya dia (diterimanya khabar ahad sebagai hujjah) HANYALAH DALAM HAL ‘AMALIYYAH BUKAN DALAM HAL I’TIQADIYYAH (Fathul Baariy 20/292)
Sebenarnya itu hanya nukilan saja bukan kesetujuan pendapat. Cobalah perhatikan pendapat Ibnu Hajar :”Hadits yang didukung dengan qarinah (penguat), bisa saja sampai tingkat memberikan ilmu (keyakinan). Hadits yang seperti ini ada beberapa macam. Diantaranya, yaitu hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya. Walaupun hadits-hadits itu tidak sampai derajat mutawatir, namun dia didukung dengan beberapa hal yang menguatkannya. Diantaranya:
·         Kepakaran Bukhari dan Muslim dalam bidang periwayatan hadits.
·         Kejelian mereka memilah hadits yang shahih dari yang lainnya.
·         Sikap para ulama yang menerima secara utuh kitab shahih mereka.
Sikap ini, sebenarnya merupakan bukti yang lebih kuat untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits itu bisa menyakinkan, dibandingkan dengan hanya sekedar banyaknya sanad periwayatan yang terdapat pada riwayat mutawatir..... Ijma itu telah terjadi atas dasar diakuinya keshahihan riwayat-riwayat tersebut.(Tadrib Al-Rawi 1/133-134). Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa para sahabat dan tabiin mengamalkan khabar ahad, serta tidak ada yang menentangnya. Kesepakatan mereka ini menunjukkan diterimanya khabar ahad.(Fathul Bari(13/234)    
Lebih jelasnya lihatlah Fatawa Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani fi Al-Aqidah yang dikomentari oleh Muhammad Tamir, beliau Ibnu Hajar mengunakan hadits ahad tidak hanya dikeluarkankan oleh Bukhari dan Muslim tapi juga yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi dan lainnya dalam menjawab beberapa pertanyaan salah satunya mengenai pertanyaan munkar dan nakir di dalam kubur halaman 15-18. Ini menunjukkan bahwa beliau mengamalkan kabar ahad tidak dalam bentuk praktek  anggota badan saja namun juga menerima dengan keyakinan sebagai aqidah.
Klaim yang batil bahwa para imam empat madzhab menolak hadist ahad dalam perkara aqidah.
 Berkata  Syaikh Mahmud Syaltut :”Berpendapat pula seperti ini (hadist ahad hanya membawa faedah zhann-pen) ahli ilmu di antaranya empat imam madzhab yaitu, Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat dimana terdapat riwayat yang lainnya yang berbeda dari beliau (Al-Islam Aqidah Wa Syariah, hal. 59)
Maksud dari Syaikh Mahmud Syaltut bukan sekedar membahas bahwasannya empat imam madzhab berpendapat bahwa hadits ahad hanya membawa faedah zhann akan tetapi lebih dari itu beliau mengira empat imam madzhab menolak hadist ahad dalam penetapan aqidah.
 Sebagaimana ucapan beliau :”Bahwa sebagaimana yang telah kami tetapkan bahwa hadist ahad tidak dapat berfaedah bagi penetapan aqidah dan tidak sah untuk berhujjah dengannya dalam perkara-perkara ghaib. Hal ini adalah pendapat yang disepakati lagi kuat berdasarkan akal secara sederhana, sehingga tidak ada lagi perselisihan bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Islam Aqidah Wa Syariah, hal. 61)
Sanggahan :
Klaim bahwa empat imam madzhab sepakat menolak hadist ahad dalam perkara aqidah adalah klaim yang batil tanpa bukti.
Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah :”Hadist tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah.”(Al-Fiqhul Akbar, hal. 92)
Hadist Mi’raj adalah hadist ahad yang berisi permasalahan aqidah. Andaikan beliau melarang menetapkan aqidah dengan kabar ahad tentulah beliau tidak menganggap sesat orang yang mengingkarinya.
Adapun Imam Syafi’i telah kita ketahui tentang sikap beliau mengambil hadist ahad sebagai hujjah dalam permasalahan aqidah. Mengenai hal ini dapat dilihat dari pembahasan sebelumnya terhadap sikap beliau ketika mencontohkan salah seorang sahabat yaitu  Ibnu Abbas berhujjah dengan hadist ahad menetapkan bahwa Musa yang bersama Khidir adalah Musa yang diutus kepada Bani Israil berdasarkan riwayat hadist dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wassalam.
Dalam Kitab Al-Radd ’Ala Al-Zinadiqah wa Al-Jahmiyah pada tema ”Bantahan terhadap orang yang mengkirari bahwasannya kaum mukminin akan melihat Allah Jalla Sya nihi pada hari Kiamat.”Berkata Imam Ahmad : ”Apakah kita harus mengikuti Nabi shalaullahu’alaihi wasallam, ketika beliau shalaullahu ’alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
 ataukah (kita mengikuti) perkataan Al-Jahmi ketika ia berkata kalian tidak akan melihat Tuhan kalian, sedangkan hadist-hadist yang ada disisi ahli ilmu yang berasal dari Nabi shalaullahu’alaihi wasallam menyatakan bahwa penduduk surga akan melihat Tuhan mereka, dan hal ini adalah sesuatu yang tidak terdapat perselisihan dari ahli ilmu. (Al-Radd ’Ala Al-Zinadiqah wa Al-Jahmiyah, hal. 34 ).
Potongan hadist tentang melihatnya kaum mukminin akan Rabbnya (hadits ru’yah) di surga yang disebutkan oleh Imam Ahmad di atas adalah hadist ahad secara lafazh namun mutawatir secara maknawi. Disebut mutawatir maknawi karena banyaknya hadist-hadist yang berbeda lafazh mengabarkan tentang kaum muslimin yang akan dapat melihat Allah di hari kiamat. Lafazh hadits tersebut yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya hanya berasal dari jalur sahabar Jarir bin Abdullah radhiallahu’anhu dengan nomor hadits 18394 dan 18409.  Dapat dilihat pada Shahih Bukhari no. 521 dan 539, Shahih Muslim no. 1002 dan Sunan Abi Dawud no. 4104. Dan terdapat juga lafazh yang mirip dikeluarkan oleh Imam Tirmidz no. 2477 dari jalur Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dikeluarkan pula Al-Bayhaqi no. 106 dari jalur Abi Bakrah bin Amarah bin Ruwaibah namun pada jalur Abi Bakrah ini kami belum mengetahui keshahihan hadits tersebut. Wallahu a’allam
Imam ahmad berkata mengenai hadits-hadits ru’yah tersebut : ”Kami mengimaninya dan kami mengetahuinya bahwa hadits-hadits itu hak, kami menetapkan ilmu dengannya.”(Al- Musawaddah Lil Aali Taimiyah, hal. 242, dinukil dari Aslul ’Itiqad, Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqar hal.16). Jelaslah Imam Ahmad menjadikan hadist ahad sebagai hujjah dalam aqidah. Walillahilhamd.
Adapun pendapat beliau mengenai hadist ahad apakah membawa faedah zhann ataukah ilmu, hal ini belum dapat  dipastikan karena adanya riwayat yang berbeda mengenai sikap beliau terhadap faedah yang dihasilkan dari hadits ahad. Namun andaikata beliau berpendapat bahwa hadits ahad hanya membawa faedah zhann saja, maka sudah jelas beliau tetap menjadikan hadist ahad sebagai hujjah dalam aqidah sebagaimana Imam Nawawi.
Adapun pendapat Imam malik kami belum menemukannya secara jelas, kecuali berdasarkan kabar-kabar dari sebagian ulama.
Berkata : Abu Muhammad : telah berkata Abu Sulaiman dan Al-Hasan, dari Abu Ali Al-Karabisi, dan Al-Harits bin Asad Al-Mahasibi dan selain mereka, bahwa khabar wahid (dari satu orang) yang adil dan berturut seperti itu keadaannya hingga berakhir kepada Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam, mewajibkan ilmu dan amalan secara bersamaan, kami katakan seperti pendapat ini pulalah: telah menyebutkan pendapat seperti ini Ahmad bin Ishak yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Khuwaiz Mindad, yang berasal dari (pendapat) Malik bin Anas.(Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Ibnu Hazm hal. 107)
Qiyas batil menolak hadist ahad dalam aqidah dengan pengumpulan tulisan Al-Quran.
Salah seorang sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik Nusa Tanjung-semoga Allah ta’ala menjaganya- berkata :”Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama, sebagaimana juga ditulis oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya 1/389, Maktabah Syamilah:
“Adapun jika diriwayatkan bahwasanya ia adalah al Qur’an, maka sesungguhnya (jika)  ia tidak mutawatir maka tidak ditetapkan bahwasanya ia al Qur’an dengan khabar wahid (ahad) seperti ini, oleh karena itu amiirul mukminin ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak menetapkannya dalam mushaf dan tidak membaca (al qur’an) dengannya seorangpun dari para qari’ yang tsabit hujjah atas qira’ahnya, tidak dari qira’ah sab’ah dan tidak dari selain mereka”
Tidak bisa kita katakan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan karena yang kita bahas adalah hadits, bukan Al Qur’an. Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?, sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama. (Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.) 
Sanggahan :
Qiyas terhadap sesuatu perkara yang terdapat dalil dari nash Al-Quran atau  Sunnah yang shahih lagi jelas yang menyelisihi qiyas tersebut adalah qiyas yang batil. Hal ini telah kami sebutkan sebelumnya hadist-hadits  yang menunjukkan Rasulullah dan sahabat menerima hadist ahad dalam penetapan aqidah.
Bila yang dimaksud pengumpulan Al-Quran adalah mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah dari Al-Quran yang tercerai berai pada setiap hafalan para sahabat kemudian dituliskan pada satu mushaf maka hal ini keliru. Karena para sahabat telah banyak yang menghapal Al-Quran secara keseluruhan sesuai dengan tertib ayat dan surat yang berasal dari petunjuk Rasulullah. Adapun peristiwa pengumpulan Al-Quran menjadi satu mushaf di zaman Abu Bakar adalah peristiwa pengumpulan tulisan-tulisan (rasm) Al-Quran yang terdapat pada tulang, batu, kayu, pelepah kurma, dan kulit binatang  menjadi satu mushaf.
Abu Bakr mengatakan pada 'Umar dan Zaid, "Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang yang membawa kepadamu sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah"(Ibnu Abi Dawud, Al-Mashafi, hlm. 6. Lihat juga Ibnu Hajar, Fathul Bari, ix: 14).
Berkata Umar bin Al-Khathab : “Barangsiapa yang pernah mengambil bacaan Al-Quran dari Rasulullah hendaknya ia mendatangkannya, dan mereka menulisnya di dalam lauh dan pelepah kurma, dan tidak akan diterima dari seorangpun kecuali dengan adanya persaksian dari dua orang” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud).
Ibnu hajar Al-Asqalani berkata :”Sepertinya apa yang dimaksud dengan dua saksi berkaitan erat dengan hafalan yang diperkuat dengan bukti tertulis. Atau, dua orang memberi kesaksian bahwa ayat Qur'an telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad. Atau, berarti agar mereka memberi kesaksian bahwa ini merupakan salah satu bentuk yang mana Qur'an diwahyukan. Tujuannya adalah agar menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad bukan semata-mata berlandaskan pada hafalan seseorang saja. (Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 14-15)
Ibnu Hajar memberi perhatian secara khusus terhadap keterangan yang diberikan Zaid, "Saya dapati dua ayat terakhir dalam Surah al-Bara'ah ada pada Abu Khuzaima Al-Anshari," membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zaid serta hafalannya dianggap tidak mencukupi. Segala sesuatunya memerlukan pengesahan.
Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan : “Abu Bakr tidak memberi wewenang padanya menulis kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas kulit. Itu adalah sebab utama Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir dari Surat Al-­Bara’ah sebelum ia sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan), kendati ia mempunyai banyak sahabat yang dengan mudah untuk dapat mengingat kembali secara tepat dari hafalan mereka.( Ibnu Hajar, Fathul Bari, iv: 13.)
Dari metoda pengumpulan mushaf Al-Quran tampak ijtihad dari sahabat untuk menerima suatu rasm ayat-ayat  Al-Quran harus memnuhi beberapa syarat, yaitu; adanya tulisan ayt-ayat Al-Quran yang pernah ditulis dihadapan Rasul dan diperkuat dengan hafalan dari penulis dan saksi sekurang-kurangnya dua orang. Dan tulisan (rasm)  bersifat tidak mutawatir  karena tidak semua sahabat yang menulis ayat-ayat Al-Quran disisi Rasulullah, sedangkan yang dimaksud mutawatir adalah hafalan Al-Quran yang berasal dari hafalan para sahabat.
Adapun perbuatan Khalifah Utsman bin ’Affan hanya menerima riwayat bacaan ayat Al-Qurán yang mutawatir karena telah diketahui bahwa banyak sahabat sebelum wafatnya Rasul telah menerima dan menghafal bacaan al-Quran dengan tertib ayat dan surat sesuai petunjuk beliau.  Sehingga barangsiapa yang membawa suatu bacaan atau tulisan dan menyatakan bahwa itu adalah Al-Quran yang ternyata menyelisihi bacaan yang telah disepakati para sahabat maka dapat diketahui bahwa bacaan tersebut keliru atau telah di hapuskan.
Hal ini berbeda dengan periwayatan hadits dimana tidak semua sahabat meriwayatkan hadits dalam jumlah yang banyak sekali, sebagaimana Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya manusia berkata; “Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits.” Kalau bukan karena dua ayat di dalam Kitab Allah tetulah aku tidak akan menyampaikan satu hadits pun. Kemudia ia membaca ayat : {Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan dari berbagaimacam penjelasan dan petunjuk ...hingga firman Allah....yang Maha Penyayang }. Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kaum Muhajirin mereka sibuk dengan perdagangan di pasar mereka dan saudara-saudara kami dari kaum Anshar mereka sibuk dengan perkebunan mereka sedangkan Abu Hurairah selalu bersama Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam dengan perut lapar, dan ia hadir ketika mereka (Muhajirin dan Anshar) tidak hadir (di sisi Rasulullah), dan menghafal (hadits) apa yang tidak mereka hafal. (HR.Bukhari no.115)
Tidak pernah kita temukan sahabat menolak periwayatan hadits walaupun berbeda lafazh, kecuali bila mereka ragu akan ketelitian si penyampai berita atau terbukti keliru atau lupa. Seperti tawaquf(diam)nya Abu Bakar terhadap berita dari Al-Mughirah mengenai hak waris bagi seorang nenek hingga diperkuat oleh kesaksian Muhammad bin Maslamah, begitu pula sikap tawaquf Umar terhadap khabar yang berasal dari Abu Musa Al-‘Asyari hingga menyapaikan pula Abu Said dengan kabar yang sama.
Hal ini terjadi karena sikap kehati-hatian Abu Bakar dan Umar yang murni ijtihad mereka. Umar berkata kepada Abu Musa Al-‘Asyari setelah ia akhirnya menerima kabar dari Abu Musa Al-Asyari tersebut : Sesungguhnya aku tidak menuduhmu(berdusta) akan tetapi aku takut manusia akan seenaknya berkata-kata tentang (hadits) Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam“( Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa 1/145)
Begitu pula penolakan Umar terhadap kabar dari Fatimah binti Qais mengenai pemberian hak nafkah bagi wanita yang ditalak ba’in dalam masa idahnya. Fatimah binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam telah menetapkan bahwasannya baginya tidak ada hak nafkah  karena di talak ba’in oleh mantan suaminya kecuali ia hamil (HR. Abu Dawud no. 1947). Pada saat itu Umar berkata mengenai apa yang disampaikan Fatimah binti Qais :”Tidaklah kami meninggalkan Kitab Tuhan kami  dan sunnah Nabi kami karena perkataan dari seorang wanita yang kami tidak tahu apakah ia benar ataukah lupa.” (HR. Abu Dawud no. 19348).
Lafazh(kata) “dan Sunnah nabi kami” menurut Daraquthni tidak kuat sebagai bagian dari perkataan Umar. Begitu pula Imam Ahmad ketika ditanya oleh Abu Dawud didalam kitab Masaail li Abi Dawud, berkata Abu Dawud “Apakah perkataan ini shahih dari Umar ? dia (Imam Ahmad) menjawab : “Tidak !” (Aunul Ma’bud, 5/159). Hal tersebut dikarenakan  lafazh “dan Sunnah nabi kami” berasal dari jalur Abu Ahmad yang menyelisihi  jalur riwayat dari  Yahya bin Adam  yang lebih kuat hafalannya dimana ia tidak mencantumkan lafazh tersebut pada riwayat haditsnya. Walaupun Imam Muslim mencantumkan lafazh tersebut dalam shahihnya namun para Imam ahlu hadits termasuk Imam Ahmad mengeritik lafazh tersebut.
Ketika disebutkan perkataan Umar kepada Imam Ahmad :“Tidaklah mungkin kami meninggalkan Kitab Tuhan kami karena perkataan dari seorang wanita?” Imam Ahmad tersenyum sambil berkata : “Apakah ada sesuatu yang menyelisihi Al-Quran dari perkataan ini ( riwayat Fatimah binti Qais-pen) ?”(Aunul Ma’bud, 5/159). Menurut Imam Ahmad hadits Fatimah binti Qais tersebut adalah takhshish(pengkhususan) dari firman Allah : “Dan hendaklah kalian memberikan tempat tinggal kepada mereka di manapun kamu tinggal semampu kalian“ (QS. Al-Thalaq : 6).  Dimana ayat tersebut dikecualikan bagi wanita yang telah ditalak ba’in kubra selama tidak hamil dalam masa idahnya. Sehingga tidak terdapat pertentangan. Segala puji bagi Allah.
Adapun Umar bin Al-Khathab tidak menerima hadits dari Fatimah binti Qais karena keraguannya akan ketelitian dan ingatan Fatimah binti Qais sebagaimana ucapan Umar :“Ia (Fatimah) benar ataukah lupa?”. Sehingga bukanlah  karena Fatimah semata-mata seorang wanita, atau hanya sendiri saja dalam meriwayatkan hadits tersebut, atau riwayatnya mengkhususkan/takhshish atas ayat Al-Quran tersebut. Karena andaikata alasannya seperti itu tentu akan tertolaklah semua riwayat hadits yang berasal dari Ummul mukminin isteri-isteri Rasulullah dan wanita sahabat lainnya radhiallahu’anhunna. Sedangkan riwayat yang disampaikan Fatimah tersebut berkesusaian dengan pendapat sebagian salaf yaitu Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Jabir, ‘Atha, Thawus, Al-Hasan, Ikrimah, Maimun bin Mihran, Ishaq bin Rahawaih dan Dawud bin Ali (Aunul Ma’bud, 5/159). Jadi Fatimah binti Qais tidak lupa hanya Umar yang mengira lupa dan belum sampai kepada Umar hadits tersebut sebelumnya.
Begitu pula penolakan Aisyah terhadap kabar dari Umar dan putranya Ibnu Umar mengenai disiksanya mayat karena tangisan keluarganya (HR. Muslim no. 1541, 1543,1544,1546, 1547,1548). Alasan Aisyah menolak kabar dari Umar dan putranya Ibnu Umar bukan karena semata-mata hadits ahad namun Aisyah menduga Umar dan Putranya lupa atau keliru dari maksud hadits tersebut, dimana menurut Aisyah siksaan yang diberikan kepada mayit karena tangisan keluarganya hanya pada kaum yahudi. Maka itu Aisyah berkata :”Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman (Abdullah bin Umar Al-Khathab), ia mendengar sesuatu (hadits) namun ia tidak menghafalnya(dengan baik-pen), hanyasanya Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam, melewati jenazah yahudi yang ditangisi mereka (keluarganya-pen) maka beliau bersabda : “Kalian menangisinya sedangkan ia diazab (HR. Muslim no.1546). Dalam riwayat lain Aisyah berkata : “Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahman (Abdullah bin Umar Al-Khathab), adapaun ia tidak berdusta akan tetapi ia bisa jadi terlupa atau keliru, hanyasanya Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam melewati (jenazah) yahudi yang ditangisi (keluarganya-pen) maka beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka menangisinya dan sesungguhnya  ia diazab di dalam kuburnya. (HR. Muslim no.1548)
Mengenai hal ini sebagian ulama mengkompromikannya (jama’), yang dimaksud Aisyah benar bahwa mayat kaum kuffar akan merasakan siksa dengan tangisan keluarganya sebagai bentuk siksa yang lainnya atas kekufurannya bukan semata-mata karena tangisan keluarganya, sedangkan kaum muslimin akan merasa sakit mendengar suara tangisan keluarganya, sebagaimana jumhur berhujjah dengan hadits larangan Rasulullah kepada seorang wanita ketika menangisi jenazah bapaknya, dimana Rasulullah bersabda :”Sesunggunya salah seorang diantara kalian jika ia menangis akan merasa sedihlah Suwaihibahu (jenazah dari keluarganya tersebut-pen ) kepadanya, wahai hamba Allah janganlah kalian siksa saudara kalian”(Lihat Syarah Al-Nawawi ‘ala Muslim, 3/339). Maka tidak ada pertentangan. Segala puji bagi Allah.
Perkataan sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik N.T. :”Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?,” beliau ingin menggiring pembicaraan secara halus bahwa zhann identik dengan hadits ahad, lalu ia melanjutkan : “sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama.” Perkataan beliau “ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir”, pertanyaannya, siapakah yang tidak bisa menerima kecuali dengan jalan mutawatir ? Jelas mereka adalah para sahabat menurut Ustadz Muhammad Taufik. Artinya beliau ingin memberikan isyarat bahwa inilah perbuatan para sahabat menetapkan Aqidah dengan hanya menerima riwayat mutawatir, bukan dengan riwayat ahad contohnya penetapan bacaan Al-Quran. Sehingga beliau berkata:” jadi temanya adalah sama.”
Demi Allah, jauh api dari panggang ! -Semoga Allah mengampuni kesalahan kami dan kesalahan Ustadz Muhammad Taufik- Sudah jelas terdapat bukti-bukti yang kuat para sahabat menerima kabar ahad dalam penetapan aqidah sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab hadits. Dan hal ini jelas berbeda ceritanya dalam hal pengumpulan Al-Quran dimana Al-Quran telah banyak para sahabat yang menghafal seluruhnya maupun sebagiannya sehingga barangsiapa yang menyelisihi bacaan yang mereka sepakati tentulah bacaannya itu 100% keliru karena lupa atau ayatnya yang telah dihapus. Allahu Akbar Wa lillahil hamd.
Wajib Taslim (menyerahkan diri ) dan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dalam penerimaan Hadits Ahad dalam perkara hukum dan aqidah
Inilah salah satu prinsip terpenting dari Manhaj Ahli sunnah wal Jama’ah ’Tunduk kepada keputusan Allah melalui Kitabullah maupun melalui lisan Rasul-Nya (Al-Hadits), medahulukannya atas akal-akal manusia dan pendapat-pendapat makhluk di muka bumi ini ketika terlihat menyelisihinya.’ Dan inilah sebagian dari Iman, Allah Ta’ala berfirman :
 “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada rasul dan  para pemimpin di antara kalian, maka jika terdapat perbedaan pendapat tentang sesuatu  di antara kalian maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS. Al-Nisaa : 59)
Allah Ta’ala berfirman  :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". ( QS. An-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan : “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.“ (QS. An Nur : 51)
Bila begitu, marilah kita tunduk kepada aturan dan keputusan Allah  di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Sami’na wa Atho’naa.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan(thaifah) di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. Al-Taubah : 122)
Firman Allah ”beberapa orang(thaifah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” yakni Allah memerintahkan para sahabat dan umat Islam untuk tafaqquh fiddin (belajar agama). Dan  yang dimaksud dengan tafaqquh fiddin (belajar agama) adalah mendengarkan Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah). Dan begitu juga firman Allah ”dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya" adalah mengajarkan agama dengan perkataan Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah (Al-Quran) dan telah Bersabda Rasulullah (Sunnah)). Karena yang dimaksud dengan ilmu agama pada hakikatnya adalah Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah). Allah Ta’ala berfirman :
”Dialah (Allah) yang telah mengutus kepada kaum umiyyun(buta huruf) seorang rasul yang berasal dari kaum mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab(Al-Quran) dan Hikmah (Sunnah) padahal mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Al-Jumuah : 2)
Dan kata "golongan" (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang. Imam Bukhari berkata : "Satu orang manusia dapat dikatakan golongan." Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya." (QS. Al Hujurat : 9)
Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas (Fathul Bari 13/231).
Jika perkataan satu orang yang berkaitan dengan masalah agama dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa Allah Ta’ala membolehkan berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum. Dan di dalam belajar agama tidak hanya akan dikatakan telah berfiman Allah akan tetapi juga akan dikatakan telah bersabda Rasulullah. Dan barangsiapa yang menyatakan ayat ini membolehkan pengajaran agama mengenai aqidah hanya sebatas tabligh bukan termasuk pula periwayatan hadits mengenai penetapan aqidah maka kami berlepas diri dari hujjah mereka yang ganjil itu.
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (QS. Al Hujurat : 6)
Dalam sebagian qira'ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))(Tafsir Al-Syaukhani 5/60).
Mafhum mukhalafah(pemahaman kebalikan)-nya ”Jika datang kepada kalian orang yang adil maka terimalah berita yang ia bawa.” Ini menunjukkan Allah membolehkan menerima hadits dari seseorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat kepastian 100% terkecuali terbukti dengan jelas kekeliruannya (Hal ini senada dengan pendapat Syaikh Al-Albani pada karya beliau Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya)." (QS. An Nisa' : 59)
Ibnul Qayyim berkata :
"Umat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu." (Mukhtashar Ash Shawwa'iq 2/352.)
Dan kami tambahkan, itu pun tidak perlu menghitung jumlah yang menyampaikan berita (hadits) mengenai keputusan Rasul-Nya terhadap suatu perkara yang dipersilisihkan entahkah masalah hukum apalagi aqidah.
Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :
1.       Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para raja satu-persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun aqidah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah radhiallahu'anhu ke negara Najran (Shahih Bukhari 13/232.), Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman (Shahih Bukhari 3/261). Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah (Shahih Bukhari 13/241), dan lain-lain.
2.       Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Ketika manusia ada di Quba' menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Al Qur'an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka'bah, maka mereka menghadap Ka'bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka'bah."(Shahih Bukhari 13/232) Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
3.       Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam." (Shahih Bukhari 13/232)
Inilah Umar bin Al-Khathab radhiallahu anhu beliau tetap mengambil riwayat hadits (entahkah masalah hukum atau aqidah) dari seorang sahabat Anshar dan beliau tidak menentukan jumlah yang menyampaikannya padahal wahyu pada saat itu masih turun. Hal ini sekaligus membuktikan bahwasannya beliaupun menerima kabar ahad dari satu orang padahal beliau pernah enggan menerima kabar Fatimah binti Qais bukan karena sifatnya yang ahad tapi karena Umar mengira Fatimah binti Qais telah lupa, begitu juga kabar dari Abu Musa Al-Asyari bukan karena sifat ahadnya tapi karena takut manusia bermudah-mudahan menyatakan suatu kalimat adalah perkataan Rasul padahal masih berstatus Qila wa Qala (Katanya sih katanya).  Inilah sunnahnya Umar salah satu sunnah dari kulafur rasyidin. Ia menerima hadits ahad tidak hanya dalam perkara hukum namun juga aqidah,  Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda  : “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin al-mahdiyin, pegang teguh dan gigitlah erat-erat…”(HR. Abu Dawud 5/13-15 No. 4067 dan Shahih Ibnu Majah 1/13-14 No. 40-41.)
4.       Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : "Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memahami daripada orang yang mendengar."(Musnad Ahmad, 6/96). Begitu juga dalam riwayat lainnya, Rasulullah bersabda :
“Allah membaguskan seseorang yang mendengar sesuatu dariku selanjutnya dia menyampaikan (kepada orang lain) seperti halnya dia mendengarnya pertama kali, sebab banyak sekali orang yang menyampaikan lebih hafal dan lebih mengantongi dari pada mendengar”. (H.R Turmudzi)
Dalam hadits tersebut Rasulullah menyatakan imraan (seseorang) dalam bentuk mufrad (satu orang), Rasulullah berkata maqalati (haditsku), ini mengisyaratkan beliau mengakui dan menetapkan sesuatu yang disampaikan satu orang ke orang lain dan terus menerus seperti itu yang berasal dari ucapan beliau tetap sebagai hadits dari beliau. Apalagi disini Rasulullah menyampaikan balasan keutamaan yang akan diterima orang tersebut. Maka konsekuensinya orang mendengar di zaman kita ini suatu hadits ahad yang shahih wajib baginya sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat) baik masalah hukum maupun aqidah karena hadits itu tetap dinyatakan sebagai hadits Rasulullah.
Allah Ta’ala berfirman :
“….., maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS. An-Nuur (24): 63)
Apakah ancaman ini hanya bagi para sahabat sedangkan kita tidak? Ataukah hanya dalam bentuk hadits mutawatir saja  bila berbentuk Aqidah ataukah termasuk hadits ahad juga? Dan di dalamnya tidak ditemukan pembatasan seperti itu entahkah, di zaman sahabat maupun di zaman kita, entahkah dalam bentuk hadits mutawatir maupun hadits ahad tanpa membeda-bedakannya dalam permasalahan hukum dan aqidah. Inilah jalan para sahabat menerima hadits ahad dalam hukum dan aqidah, jalan mereka adalah jalannya kaum yang beriman (mukminin).  Allah  berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ (4): 115)
5.       Abu Hurairah berkata:“Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia mendapatkan  syafa’atmu pada hari kiamat?” Kemudian beliau bersabda:
       “Aku mengira bahwa tidak akan ada seorangpun yang menanyakan tentang hadits tersebut, selain engkau. Ini dikarenakan semangatmu dalam (mencari dan menghafal) hadits. Orang yang paling berbahagia dengan sayafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan La illaha illa Allah (tiada ilah (yang hak) kecuali Allah) secara ikhlas didalam hatinya atau dirinya. ”(HR. Bukhari 1/184 No. 97)
      Apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Abu Hurairah, Ini artinya Rasulullah menyatakan tidak semua sahabat yang mendapat berita hadits mengenai aqidah secara terperinci. Dan bahkan hadits ini sampai kepada kita tidak lain karena Abu Hurairah telah menyampaikannya walaupun ia seorang diri (kabar ahad), sebagaimana ia pernah berkata :”Kalau bukan karena dua ayat di dalam Kitab Allah tetulah aku tidak akan menyampaikan satu hadits pun. Kemudian ia membaca ayat: {Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan dari berbagaimacam penjelasan dan petunjuk ...hingga firman Allah....yang Maha Penyayang}(HR.Bukhari no.115). Abu hurairah paham akan ayat itu bahwa walaupun ia hanya seorang diri saja yang mendengar hadits namun ia wajib menyampaikan hadits tersebut kepada kaum muslimin sebagai hujjah dalam hukum dan aqidah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian menyembunyikannya, maka Allah akan membelenggunya dengan belenggu dari api neraka pada hari kiamat nanti”(HR. Abu Dawud 4/67-68 No. 3658 dan Shahih Ibnu Majah 1/49 No. 210) apa yang dimaksud ilmu? Jelas ilmu itu adalah Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah), barangsiapa yang menyembuyikannya dan tak mau menyampaikannya karena kabar ahad maka halal baginya neraka. Bila begitu tidak mungkin ada ancaman menyembuyikan ilmu walaupun hanya ia yang tahu sendiri akan ilmu lebih-lebih masalah aqidah lalu diancam dengan neraka kecuali ilmu yang sifatnya kabar ahad itu adalah hujjah dalam hukum dan aqidah. Karena salah satu tujuan disampaikannya ilmu adalah untuk menegakkan hujjah.
Makna Zhann di dalam Al-Quran dan Hadits
Lafazh Zhann yang terdapat didalam Al-Quran dan Hadits sifatnya  ”Mustarakah”.  Artinya dalam satu lafazh atau kata mempunyai lebih dari satu makna, sehingga lafazh zhann tidak dapat ditentukan maknanya kecuali dengan adanya qarinah(indikasi).  Sebagaimana lafazh quru kadang berarti ”suci dari haidh” dan kadang berarti ”sedang mengalami haidh” tergantung dari qarinah yang menentukan pembicaraanya.
Maka lafazh ”Zhann”tidak boleh hanya semata-mata diartikan dugaan antara keraguan dan keyakinan, dimana kemungkinan benarnya lebih kuat daripada kekeliruannya.
1.       Di dalam Kitab Allah, Zhann kadang berarti ”Yakin” atau ”Ilmu”.
      Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
”Sekali-kali jangan. Apabila nafas (se-seorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya):”Siapakah yang dapat yang menyembuhkan?”. Dan dia Zhannn (yakin) bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis(kiri) dengan betis (kanan).”(QS. Al-Qiyamah : 26-29)
Berkata Imam Al-Qurthubi:”( dan dia Zhannn ) yakni ia manusia yakin,(sesungguhnya itulah waktu perpisahan),yakni akan waktu perpisahannya dengan dunia, keluarga, harta dan anaknya.”( Tafsir Al-Qurthubi)
      Begitu juga firman Allah Ta'ala:
         ”Sesungguhnya aku zhann(yakin), bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku” (QS. Al-Haaqqah :20)
        Dan Daud zhann  (mengetahui) bahwa Kami mengujinya (QS. Shaad :24)
2.       Kadangkala zhannn berarti ”Syak”(keraguan).
Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
Dan aku zhannn (ragu) hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu .”(QS. Al-Kahfi : 36)
Berkata Imam Al-Qurthubi :’Pendapat dalam tafsir firman-Nya ta’ala : Dan ia memasuki kebunya sedangkan ia zalim terhadap dirinya, ia berkata : ”Aku zhann (kira) kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.” Allah Ta’ala mengingatkan :”Inilah orang yang telah Kami buatkan baginya dua kebun anggur dan ia memasukinya sedangkan dialah yang memilikinya lagi ia zalim terhadap dirinya sendiri, dan (makna) zalim terhadap diri sendiri : kekufurannya terhadap hari kebangkitan dan keraguannya terhadap hari kiamat, dan kelupaanya terhadap hari kembali kepada Allah Ta’ala”(Tafsir Al-Qurthubi)
3.       Kadangkala berarti ”Kadzib”(dusta).
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :
“Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” [Al-An’aam : 116]
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsir terhadap ayat ini : ”Allah Ta’ala mengkabarkan tentang keadaan penduduk bumi yang berasal dari Bani adam bahwasannya mereka sesat, sebagaimana firman  Allah Ta’ala: ”dan sungguh telah sesat orang-orang sebelum mereka yaitu kebanyakan orang-orang yang terdahulu  dan Firman Allah Ta’ala : ”dan kebanyakan mereka (tidak beriman) walaupun engkau sangat menginginkan mereka menjadi orang-orang yang beriman.” dan mereka didalam kesesatannya, mereka bukanlah termasuk orang yang yakin terhadap perkara mereka hanyasanya mereka di dalam zhann yang dusta  dan perkiraan yang batil.(Tafsir Ibnu Katsir)
Dan hal ini sesuai dengan hadits yang berasal dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : :”Jauhilah oleh kalian  Zhann maka sesungguhnya zhann itu sedusta-dusta perkataan (Mutafaqun ’alaihi)
4.       Dapat juga bermakna Tuhammah (Berprasangka).
(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (QS. Al-Ahzab:10)
5.       Kadangkala juga zhann berarti ghalibatuzh-zhann (Dugaan yang kuat).
Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
”Maka jika sisuami telah mentalaknya(sesudah talaknya yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lainnya. Maka jika ia(suami yang berikutnya) telah mentalaknya maka tidak ada dosa atas keduanya (bekas suami sebelumnya dengan isteri) untuk rujuk(menikah) kembali jika mereka berdua zhann (menduga dengan kuat) dapat menegakkan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah yang Dia telah menjelaskannya bagi kaum yang (mau) mengetahui ”QS. Al-Baqarah : 230)
Berkata Imam Thabari :”Adapun firman-Nya ” jika mereka berdua zhannn(menduga dengan kuat) dapat menegakkan hukum-hukum Allah,...”, maka  maknanya : jika mereka berdua betul-betul dapat diharapkan menegakkan hukum-hukum Allah ..... (hingga ia berkata ): dan berpendapat sebagian ahli ta’wil : jika mereka berdua zhann, maknanya adalah yakin. Namun makna tersebut kurang tepat, karena sesorang tidak akan tahu secara pasti apa yang akan terjadi kecuali hanya Allah Taála yang mengetahuinya.(Tafsir Thabari 4/598)
Maka ayat ini menunjukkan secara jelas zhann yang dimaksud pada ayat ini bukan artinya yakin ataupun pula ragu, akan tetapi artinya ghalibatuzh-Zhann (dugaan terkuat).
Berkata Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari:
”Kata zhann, adalah kata yang memiliki makna berlawanan. Menurut Abul Abbas (salah seorang ulama bahasa arab): hanyasannya zhann (dugaan) dan yakin dapat terjadi karena keduannya tergolong kata hati. Maka jika telah nyata dalil-dalil kebenarannya serta telas jelas tanda-tandanya, maka disebut yakin. Dan jika terdapat tanda-tanda keraguan dan terhapus tanda-tanda kebenaran, maka disebut kebohongan. Dan jika sama kuat antara tanda-tanda kebenaran dengan tanda-tanda keraguan, maka disebut syak, bukan yakin dan bukan pula kebohongan. (Al-Adhdaad karya Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari)
Kadangkala zhann bermakna ilmu(pengetahuan) sebagaimana dalam hadits riwayat Usaid bin Hudhair ”dan kami zhann bahwa ia tidak mendapatkan atas keduanya” (kami zhann) yaitu  Alimnaa (kami mengetahuinya).(Lisanul Arab 13/273).
Makna zhann tidak dapat ditentukan kecuali dengan adanya qarinah.
Adapun zhann yang Allah cela didalam Al-Quran berdasarkan qarinahnya adalah zhann yang berupa waham(taksiran), takharush, takhmin, kebohongan dan berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
“Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” [Al-An’aam : 116]
Dan juga firman-Nya Ta'ala:
”Kalian tidak mengikuti kecuali zhann, dan kalian tidak lain hanya berdusta.”(QS. Al-An’am : 148)
Makna zhann disini adalah  (perkiran yang) dusta karena qarinahnya pada kalimat ”dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” Huruf waw (dan) disini berfungsi menggabungkan kata secara mutlak, dan menunjukkan adanya musyarakah (persekutuan) dalam hukum antara kalimat sebelumnya ”Kalian tidak mengikuti kecuali zhann” dengan kalimat sesudahnya” dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.”  Maka itu Allah berfirman :
”Dan mereka berkata :”Jikalau Al-Rahman (Allah) menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka(malaikat)”. Tidaklah mereka mempunyai ilmu sedikitpun tentang hal itu kecuali mereka hanya berdusta”(QS. Al-Zukhruf : 20)
Hal ini sesuai dengan hadits :”Jauhilah oleh kalian zhann maka sesungguhnya zhannn itu sedusta-dusta perkataan (Mutafaqun ’alaihi).
Berkata Imam Al-Qurthubi zhann disini adalah tuhmah (perkiraan) yang tidak ada sebab(bukti) padanya sebagaimana orang yang menyangka orang lain melakukan kekejian tanpa ada sesuatu yang tampak (bukti) atas apa yang ia tetapkan (sangkaannya itu) (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathulbari,17/231)
Berkata Ibnu Hajar : ”Menunjukkan bahwa zhann yang dilarang adalah zhann yang tidak ada sandarannya yang bisa ia bersandar padanya (seperti persangkaan belaka tanpa bukti yang kuat atau masih pada tingkat keraguan apalagi di bawahnya-pen), akan tetapi (bila) ia malah bersandar padanya dan menjadikannya sebagai dasar dan memastikan dengannya, maka memastikan padanya adalah suatu kedustaan, dan hanyasanya menjadi dusta yang paling dusta. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathulbari,17/231)
Zhann pada ayat-ayat dan hadits tersebut bukan berarti ghalibatuzh-zhann (dugaan yang kuat) karena kalau yang dimaksud adalah ghalibatuzh-Zhann maka berdustalah para ahli ijtihad karena mereka ketika mentarjih beberapa pendapat kadang-kadang masih pada tataran ghalibatuzh-zhann.
Begitu pula firman Allah Ta'ala :
 “Tidaklah mereka mengikuti kecuali hanya zhann dan apa yang diingini ole hawa nafsu mereka.”(QS. Al-Najm : 23)
Zhann dalam ayat ini berdasarkan qarinahnya adalah persangkaan yang didasarkan hawa nafsu.
Al-Alusi mengatakan :”Zhann disini adalah tawahum(keraguan).”(Tafsir Ruhul Ma’ani).
Karena tawahum itu adalah zhann marjuh (zhann lemah) yang didasarkan pada keinginan hawa nafsu.
Juga firman Allah Ta'ala :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya zhann (persangkaan) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”(QS. Yunus :36)
Berkata Abu Ja’far:”Sesungguhnya syak itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(Tafsir Thabari)
Berkata Ibnu Katsir:Hanyasanya Zhann mereka, yaitu tawahum(keraguan) dan takhayul, yang demikian itu tidak berguna bagi mereka.”(Tafsir Ibnu Katsir)
Berkata Abul Laits Al-Samarqandi :”Sesungguhnya Zhann, yakni apa yang dilemparkan/dihembuskan syaithan pada wahm(sangkaan keraguan) mereka.(Tafsir Samarqandi)
Allah berfirman Ta'ala:
”Dan jika dikatakan sesungguhnya janji Allah adalah benar dan hari kiamat tiada keraguan padanya, kalian malah berkata:”kami tidak mengetahui apa itu hari kiamat, tidaklah kami kecuali kami hanya zhann dan kami bukanlah orang yang menyakininya (Al-Jatsiyah : 32)
Berkata Ibnu Katsir (tidaklah kami kecuali kami hanya zhann), yakni tidaklah kami terhadap terjadinya kecuali sebatas tawahum(keraguan).(Tafsir Ibnu Katsir)
Allah berfirman Ta'ala :
”Dan sebagian mereka adalah orang-orang yang buta huruf mereka tidak mengetahui Al-Kitab kecuali hanya cerita-cerita dongeng belaka dan tidaklah mereka kecuali hanya zhann (QS. Al-Baqarah:78)
Berkata Mujahid :”Dan tidaklah mereka kecuali hanya zhann”, yaitu mereka berdusta.(Tafsir Ibnu Katsir)
Allah berfirman Ta'ala :
”Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali hanya zhann , mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa. (QS. An Nisa : 157)
Berkata Ibrahim bin Umar Al-Baqai :”(kecuali mengikuti zhannn) yaitu mereka memaksakan diri untuk naik dari derajat syak(ragu) ke derajat zhann(dugaan), dan ungkapan pengecualian (lakin-akan tetapi) kedudukannya memutuskan sebagai petunjuk bahwa keadaan mereka sebagaimana yang mereka klaim telah membunuhnya (Isa bin Maryam) pada hakikatnya hanya keraguan yang mereka paksakan untuk naik kederajat zhann, kemudian mereka pastikan, lalu jadilah hal itu mutawatir diantara mereka (bahwa mereka telah membunuh Isa), maka tiada kaum yang lebih bodoh dari mereka.”(Nazham Al-Durar)
Maka zhann disini adalah syak bukan zhann dengan sifat kuatnya salah satu dari dua kondisi, karena hakikatnya mereka ragu, dan mereka hanya memaksakan diri untuk zhann tanpa ada-ada bukti yang menguatkan zhann mereka. Zhann yang hanya sebatas paksaan diri mereka bukan karena terdapat tanda-tanda yang bisa menaikan keraguan mereka ketingkat zhann yang sebenarnya.
Berkata Imam Syaukani : “Tidaklah dikatakan mereka mengikuti zhann yang meniadakan keraguan, sebagaiamana yang dikabarkan Allah bahwa mereka dalam kondisi tersebut, karena yang dimaksud (zhann) disini adalah keraguan : yaitu keadaan ragu-ragu sebagaimana yang telah kami sampaikan, dan zhann adalah bagian darinya(keraguan), dan bukanlah maksud disini (zhann) adalah penguatan dari salah satu kondisi (antara ragu dan yakin).” (Tafsir fatul qadir)
Tidaklah mereka memiliki pengetahuan kecuali zhann sebagai pengecualian, yakni : akan tetapi mereka hanya mengikuti zhann yang merupakan takhayul (sangkaan)mereka terhadapnya. (Tafsir Jalalain)
Berkata Ibnu Katsir:Orang yahudi yang mengklaim bahwa mereka telah membunuhnya (Isa) dan juga orang yang menyerahkannya (yang disangka Isa), mereka semuanya dalam keraguan, bingung, sesat, dan gila. Karena itulah (dan tidaklah mereka yakin membunuhnya) yakni : "Mereka tidak yakin telah membunuh Isa akan tetapi mereka syak (ragu) lagi bimbang. (Tafsir ibnu katsir hal 103)
Ustadz Muhammad Taufik mengartikan zhann kaum yahudi tersebut dengan zhannurrajih atau ghalibatuzh-zhann(dugaan terkuat ) sebagimana ucapan beliau :”Yang menimbulkan keraguan (syak) pada mereka adalah mereka kehilangan satu orang yang mereka kepung dan tangkap, sehingga ada kemungkinan yang tidak tertangkap itu adalah Isa. Kemudian mereka punya bukti/alasan kuat bahwa orang yang mereka salib adalah Isa karena wajahnya persis wajah Isa, dan karena wajah seseorang hampir bisa dipastikan tidak akan berubah jauh, maka mereka menduga kuat/hampir memastikan bahwa yang mereka salib adalah Isa. (Al Qur’an menyebut ini dengan (dzan). Namun mereka masih tidak bisa memastikannya karena walaupun wajahnya wajah Isa tetapi tubuhnya bukan tubuh Isa, ditambah lagi ada satu orang yang tidak bisa mereka tangkap.” (Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.)
Pendapat beliau , “Kemudian mereka punya bukti/alasan kuat…….. maka mereka menduga kuat/hampir memastikan”,  persis sama dengan pendapat Zamkhsyari.
Berkata Zamakhsyari (jika engkau bertanya): ”Mengapa mereka disifati dalam keadaan syak(ragu ) dan syak artinya tidak dapat menguatkan antara dua kondisi (benar ataukah salah)? Lalu mereka disifati dengan zhann sedangkan zhann adalah kuatnya salah satu dari dua kondisi, maka bagaimana mungkin mereka dari orang yang ragu menjadi orang yang zhann? Aku (Zamakhsyari) menjawab: aku maksudkan mereka syak yang mana tiada ilmu sedikitpun, akan tetapi ketika tampak tanda-tandanya bagi mereka, maka mereka zhann. (Tafsir al-Kasyaf)
Namun pendapat tersebut tidak bisa dibenarkan karena tidak ada dalil dari Al-Quran ataupun hadits sebagai qarinah yang menentukan makna zhann seperti ungkapan Ustadz Taufik maupun Zamakhsyari. Sehingga kembali ke keadaan semula yaitu zhann disini adalah syak bukan zhannurrajih berdasarkan qarinah dari kalimat “mereka benar-benar dalam syak( keragu-raguan) tentang yang dibunuh itu..” (QS. An Nisa : 157)
Kesimpulannya zhann yang Allah cela adalah zhann yang marjuh (lemah) dalam bentuk syak, wahm, takhmin, tuhmah, takhayul, dan sebagainnya berdasarkan qarinah-qarinahnya.

Apakah aqidah dapat dibangun diatas zhannurrajih?
Para ulama yang menyatakan bolehnya aqidah dibangun diatas  zhannurrajih berhujjah dengan pendapat bahwa zhann yang Allah cela dan haram di-ikuti adalah zhann marjuh(zhan yang lemah).
Al-‘Alaamah ahli hadits negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rahimahullah berkata : “Al-Shan’ani ketika menta’liq Kitab “Al-Muhalla” (karya Ibnu Hazm) pada ucapan Ibnu Hazm sebelumnya (sesungguhnya (hadits ahad) berfaedah ilmu-pen), ia berkata : “Sesungguhnya (hadits ahad-pen) memberikan faidah zhann”, lalu ia berdalil dengan hadits (Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berbaik sangka (husnuzhzhann) kepada Allah ta’ala),” ia berkata “Tidak semua zhann itu dibenci”, karena Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah ta’ala : :“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya zhann(persangkaan) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”(QS. Yunus :36). Berkatalah Al-Shan’ani : “makna zhann disini(ayat ini) adalah syak”(Al-Muqtarah, hal. 65)
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika ditanya apakah cukup di dalam permasalahan  ushuluddin berpegang dengan ghalibatuzhzhann?  Beliau rahimahullah menjawab: “Yang benar adalah dengan perincian……..dan menjadi ketetapan syariat bahwasannya kewajiban tergantung dengan kemampuan hamba, sebagaimana firman-Nya :
” Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”(QS. Al-Taghabun: 16)
Dan juga sabda Rasul ’Alaihissalam
“Jika aku perintahkan kalian pada suatu perkara maka laksanakan semampu kalian”(Dikeluarkan di dalam Shahihain).
Di kalangan umat banyak sekali terjadi perselisihan pendapat pada permasalahan-permasalahan yang mendalam, kadang bagi sebagian manusia perkara tersebut samar, ia tidak mampu dalam perkara tersebut berdalil dengan dalil yang mendatangkan keyakinan, entahkah dalam perkara syari maupun yang lainnya, maka tidak wajib baginya (memaksakan diri mencari dalil yang yakin) dalam perkara seperti ini selama ia tidak mampu, dan bukan berarti ia harus meninggalkanya (perkara yang dibangun di atas dalil zhann), orang yang beritiqad berdasarkan pendapat ghalibatuzh-zhann (dugaan yang kuat) karena ia lemah untuk mencapai derajat yakin, bahkan sebenarnya ia mampu (sebatas ghalibatuzh-zhann) apalagi bila hal itu sesuai dengan keyataan. Itiqad yang sesuai dengan kenyataan mendatangkan manfaat kepada pemiliknya, ia mendapat pahala, dan gugur kewajiban baginya, walaupun ia tidak bisa lebih dari itu (berdalil dengan dalil yang membawa ilmu atau yakin). (Majmu al-fatawa, 3/ 312-314)
Pada kesempatan lain beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :”Maka jika dikatakan :’Kabar-kabar ini diriwayatkan secara perorangan (ahad) bukan masyhur dan tidak pula merupakan hadits yang populer (syuhrah) maka tentunya tidak dapat mendatangkan ilmu sedangkan permasalahan yang dibahas adalah perkara ilmiyyah. Kami jawab;”Yang pertama, orang yang mengatakan bagaimana mungkin padahal dalam penetapan perkara ini harus mutlak yakin yang tidak mungkin ada pembatalnya? (Beliau menjawab) bahkan cukup dengan zhannulghalib(dugaan terkuat) dan hal itu telah menghasilkan (penetapan perkara). Lalu apakah yang dimaksud dengan perkatannya : ilmiyyah ? Apakah yang yang dimaksud adalah tidak adanya ilmu ? Maka ini sesuatu yang tak perlu dibantah. Akan tetapi setiap akal yang rajih (kuat) bersandar pada dalil maka sesungguhnya itulah ilmu walaupun sebagian orang tidak menyebutnya sebagai ilmu kecuali bila dalam keadaan yakin dan tidak diterima pembatalnya, dan Allah telah berfirman :”Maka jika kalian mengetahui mereka (wanita-wanita yang hijrah dari mekkah) telah beriman..”(QS. Al-Mumtahanah ; 10)
Dan  telah terpenuhilah pendapat (penetapan dengan dalil ghalibatuzh-zhann) mengenai hal itu  pada perkara selainnya(dalam pembicaraan ayat itu), maka jika yang diinginkan ilmiyah hendaknya sesuatu yang ditetapkan dalam keadaan yakin, maka ini perndapat yang laghwu (keliru) tidak ada dalilnya. Andaikata pendapat seperti itu benar tentulah (diharuskan) imsak (menahan diri) dari membicarakan setiap perkara yang tidak berdasarkan dalil yang mendatangkan ilmu( hanyan zhann semata-pen) kecuali dengan keadaan kepastian yakin,(akan tetapi) hal itu merupakan pendapat yang keliru secara jelas ”(Mamjmu Al-Fatawa, 1/375)
Ayat yang dimaksud beliau rahimahullah:
”Hai orang-orang yang  beriman jika datang kepada kalian wanita-wanita yang beriman yang berhijrah, hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allahlah yang lebih mengetahui keimanan mereka.  Maka jika kalian mengetahui mereka telah beriman janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir..”(QS. Al-Mumtahanah ; 10)
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan diuji adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.(Tafsir Thabari)
Maka itu Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda :
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat tiada sembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat, membayar zakat, jika mereka melakukan itu semua terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak islam sedangkan hisab (benar atau tidaknya keislaman dan keimanan-pen) mereka dikembalikan kepada Allah (yang lebih mengetahuinya).(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka firman-Nya: ”Maka jika kalian mengetahui mereka telah beriman” kata mengetahui maksudnya dengan ghalibatuzhzhann(dugaan yang kuat) secara zhahir atas ucapan dan tingkah laku akan keimanan mereka dan tidak harus secara pasti mengetahui kebenaran iman mereka. Maka itu firman-Nya ” Allah lebih mengetahui keimanan mereka” yaitu mengetahui hakikat benar ataukah dustanya keimanan mereka sebagai bentuk kepastian. Sehingga sesuai dengan sabda rasul ”sedangkan hisab(benar atau tidaknya keislaman dan keimanan-pen) mereka dikembalikan kepada Allah (yang lebih mengetahuinya)”. Jadi perkara yang besandar pada dalil ghalibatuzh-zhann bagian dari ilmu berdasarkan ayat tersebut. Allahu A’alam walhamdulillah.
Menghapus kebimbangan dalam penerimaan hadits ahad yang shahih di dalam aqidah
Alasan mereka yang menolak untuk menetapkan perkara aqidah dengan hadits ahad karena kebimbangan mereka terhadap syah atau tidaknya hadits ahad dijadikan hujjah di dalam aqidah. Menurut mereka hadits ahad tidak dapat diterima dalam perkara aqidah karena sifatnya yang masih zhannni artinya masih adanya kemungkinan terdapatnya kedustaan atau kekeliruan dari si perawi hadits, padahal aqidah menurut mereka harus dibangun diatas dalil yaqini.
Jawaban :
Yang pertama harus diketahui adalah apakah Allah dan Rasul-Nya menolak hadits ahad untuk diterima di dalam penetapan perkara aqidah ?
Bila dijawab ”ya menolak ” karena hadits ahad bersifat zhannni sedangkan Allah berfirman :
”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai ilmu padanya.”(QS. Al-Israa: 36)
Jawaban :
Bila seperti itu, bagaimanakah dengan sahabat yang pada saat ayat ini diturunkan sedangkan mereka tetap menerima hadits ahad  dalam perkara aqidah yang mereka dapatkan dari sahabat lainnya sedangkan Rasulullah masih bersama mereka? Artinya perbuatan sahabat menerima dan saling menyampaikan hadits ahad dari Rasul adalah bagian dari pada  mengikuti ilmu karena para sahabatlah yang mengetahui tafsir dari ayat itu dan perbuatan mereka adalah perbuatan yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Dan menyampaikan hadits ahad serta menerimanya baik dalam perkara hukum maupun aqidah yang dilakukan oleh generasi berikutnya adalah perbuatan  mengikuti ilmu. Dan para sahabat tidak pernah sama sekali membahas apakah hadist ahad itu memberikan faedah zhann ataukah ilmu?
Jika dikatakan ”Sesungguhnya hadits yang disampaikan oleh sahabat kepada sahabat lain masih segar, dan jarak masa kehidupan mereka masih dekat dengan kehidupan Rasul sehingga bisa diterima hadits ahad yang mereka sampaikan karena dapat dijamin ke-ontetikannya (keasliannya).”
Jawab :
Apakah ini berarti para sahabat bisa dijamin mereka 100 % tidak lupa ataukah mereka juga bisa lupa seperti kita di mana kabar ahad yang mereka sampaikan kepada sahabat lainnya (sebagaimana pendapat kalian) dihukumi dengan membawa faedah zhann tidak membawa faedah ilmu karena jumlah penyampainya tidak setingkat mutawatir? Padahal kita telah mengetahi lupa dan keliru menyampaikan hadits juga dapat terjadi pada mereka contohnya Umar enggan menerima hadits mengenai tidak adanya hak nafkah dan tempat tinggal pada masa idah bagi wanita yang ditalak bain kubra  dari Fatimah binti Qais. Karena menurut Umar, Fatimah lupa. Begitu pula Aisyah ketika menyatakan bahwa apa yang disampaikan Ibnu Umar adalah keliru mengenai azab bagi mayit yang ditangisi keluarganya dan Aisyah menyatakan kemungkinan Ibnu Umar lupa atau keliru. Namun, apakah hal ini menghalangi para sahabat untuk menerima hadits ahad dari sahabat yang lain ketika mereka tidak menemukan cacat di dalam agamanya, atau tidak terbukti kekeliruanya, tidak terbukti kelupaanya atau kata lainnya  mereka tidak meragukan ketelitiannya  dalam menyampaikan hadits? Jelas tidak.  Ini artinya apa yang berlaku menurut syariat bagi sahabat maka berlaku pula bagi generasi selanjutnya, padahal generasi sahabat adalah generasai percontohan (teladan). Maka barangsiapa yang menyatakan hal itu hanya berlaku bagi generasi sahabat saja tolong datangkan dalil dari Kitabullah dan Sunnah yang membatasi hal itu.
Ketahuilah, metoda penetapan suatu hadits shahih atau bukan, diterima atau ditolak yang dilakukan oleh ahli hadits di setiap zaman di dasarkan pada Al-Quran, Al-Sunnah, perbuatan para sahabat dan Ijma. Syarat hadits itu shahih sebagaimana yang disepakati ahli hadits yaitu:
1.       Perawi hadits (penyampai berita) adalah orang yang adil (bukan orang fasik) agama maupun kehormatannya.
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (QS. Al Hujurat : 6)
Mafhum mukhalafah(pemahaman kebalikan)-nya ”Jika datang kepada kalian seorang yang adil maka terimalah berita yang ia bawa.” Dan hal ini berlaku baik penyampaian berita masalah dunia maupun agama termasuk penyampaian hadits Rasul. Dan tidak ada pembatasannya jumlah yang menyampaikannya kecuali dengan dalil. Silakan dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai firman Allah pada surah Al-Taubah ayat 122.
2.       Perawi dhabith( daya hafal kuat).
Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Umar terhadap hadits yang disampaikan Fatimah binti Qais yang meragukannya karena menurut Umar, Fatimah lupa. Adapun perawi yang sering lupa jelas hal ini menyebabkan apa yang disampaikannya membawa keraguan maka patut untuk tidak diterima kecuali ada syawahid(penguat) dari jalur perawi yang lainnya dengan kriteria yang telah ditentukan dalam ilmu hadits.
3.       Bersambungnya sanad dari perawi tsiqah (yang adil lagi dhabith), dari perawi yang semisalnya sampai keakhir sanad yaitu Rasulullah.
Sehingga hal ini dijamin seorang perawi tidak menyampaikan perkataan yang tiada dasarnya atau qiila wa qaala(katanya sih katanya) atau kabar burung. Hal ini sebagaimana perbuatan Umar dimana ia berkata :Sesungguhnya aku tidak menuduhmu(berdusta) akan tetapi aku takut manusia akan seenaknya berkata-kata tentang (hadits) Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam.“( Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa 1/145).
Mujahid berkata:”Busyair Al-’Adawy mendatangi  Ibnu  Abbas, ia menyampaikan hadits dan ia berkata : ”Telah bersabda  Rasulullah shalaullahu ’alihi wasallam, dan telah bersabda  Rasulullah shalaullahu ’alihi wasallam”, maka Ibnu Abbas tidak mendengarkan dan memperhatikan terhadap haditsnya yang ia sampaikan. Maka ia lalu berkata kepada Ibnu Abbas: ”Wahai Ibnu Abbas apa yang terjadi padamu, aku tidak melihatmu mendengarkan haditsku, aku mengabarkan hadits dari Rasulullah shalaullahu alaihi wasallam ? Maka Ibnu Abbas menjawab :”Pada suatu kali, bila kami mendengar seseorang berkata telah bersabda Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam, maka bersegeralah mata-mata kami dan telinga-telinga kami memperhatikannya, namun tatkala manusia mengikuti shu’ba(kesukaran/hawa nafsu) dan kehinaan maka kami tidak akan menerima hadits dari manusia kecuali orang yang kami kenal.” (Diriwayatkan  Imam Muslim dalam muqadimah shahihnya) Ini menunjukkan pertanyaan tentang isnad telah dilakukan pada pertengan abad pertama hijiriyah ketika merebaknya kebohongan di zaman Ibnu Abbas(beliau wafat 64 H). Begitu pula yang dinyatakan  Ibnu Sirin (wafat 110 H) : ”Mereka tidak menanyakan isnad, namun tatkala terjadi fitnah (salah satunya kebohongan-pen), maka mereka berkata :’Sebutkan nama rijal-rijal(perawi-perawi)kalian, maka ditelitilah bila ia berasal dari ahli sunnah maka diterimalah haditsnya dan bila ia dari ahli bid’ah maka tidak diterima haditsnya.” (Diriwayatkan  Imam Muslim dalam muqadimah shahihnya)
Berdasarkan atsar tersebut para sahabat tidak berpatokan pada jumlah perawi namun berpatokan pada kredibilitas perawi walaupun seorang diri dalam meriwayatkan hadits.
4.       Tidak ada syadz.
Yaitu tidak menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya, atau tidak menyelisihi sejumlah tsiqah yang lainnya dalam beritanya. Ini menunjukkan ke-otentikkannya(ke-aslinya) berita di mana dari cara ini dapat diketahui bila terdapat kekeliruan periwayatan. Ini juga telah ditunjukkan oleh ’Aisyah terhadap kabar Umar dan putranya Ibnu Umar terhadap hadits disiksanya mayit karena tangisan keluarganya. Karena menurut ’Aisyah hadits yang ia dengar lebih kuat dan langsung dari suaminya Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam.
5.       Tidak ada Illat(cacat yang samar) yang merusak keshahihannya walaupun nampak secara zhahir hadits itu selamat dari kerusakan.
Dari kelima keriteria tersebut kami tidak menemukan khilaf dikalangan ahli hadits kecuali hal ini menurut kami ijma(kesepakatan) ahli hadits, bukan kesepakatan ahli kalam/filsafat. Sedangkan ijmanya ahli hadits adalah ijmanya ummat dalam menukil riwayat dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam, karena Allah berfirman :
Maka bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS.Al-Anbiya:7 )
Maka siapakah ahli ilmu dalam masalah hadits diterima atau ditolak? Tentu mereka adalah ahli hadits. Maka ummat wajib mengikuti mereka dalam menukil hadits.
Kebimbangan didasarkan pada prasangka mereka dalam bentuk ucapan ”Bisa jadi hadits itu tidak benar” atau ”Masih ada kemungkinan hadits itu keliru” atau bahkan dikalangan mereka dengan suara percaya diri mengatakan siapa yang bisa menjamin hadits ahad itu 100% pasti kebenarannya. Maka kebimbangan seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama.
Rasulullah bersabda :”Seandainya setiap pengaduan manusia diterima, niscaya setiap orang akan mengadukan harta suatu kaum dan darah mereka, karena itu (agar tidak terjadi hal tersebut) maka bagi pendakwa agar mendatangkan bukti dan sumpah bagi yang mengingkarinya“. (HR. Baihaqi)
Wajib bagi orang yang menolak hadits ahad dalam perkara aqidah mendatangkan bukti bahwasanya hadits ahad yang shahih itu tidak benar dari Rasulullah. Bila tidak ada maka wajib bagi mereka diam dan menerima keputusan Allah dan Rasul-Nya untuk menerima hadits ahad dalam perkara aqidah. Bukan dengan perkataan bisa jadi atau kemungkinan.Apalagi telah jelas nyata-nyata tidak sedikitpun didapatkan larangan akan haramnya menetapkan perkara aqidah dengan hadits ahad bahkan yang ada malah ancaman bagi orang yang menyembunyikan ilmu walaupun dalam bentuk hadits ahad. Artinya tidaklah si penyembunyi ilmu diancam kecuali ilmu itu merupakan hujjah bagi orang yang mendengarnya baik dalam bentuk hadits mutawatir maupun hadits ahad baik dalam perkara aqidah maupun hukum.
Andaikata masih ragu akan hal itu camkanlah perkataan Imam Nawawi : ”Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut.” ( Syarah Shahih Muslim, 1/64)
Ya, andaikata benar hadits ahad itu mutlak membawa zhannn sebagaimana pendapat Imam Nawawi, namun tetap wajib mengamalkannya dalam bentuk perkara aqidah maupun hukum walaupun akal-akal kita meragukannya. Karena nash dari Kitabullah maupun Sunnah didahulukan dari pada akal-akal kita yang lemah. Allah Ta’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah engkau mendahului Allah dan Rasul-Nya”(QS.Al-Hujurat : 1)
Mendahulukan akal atas nash adalah sebab kesesatan.  Allah Ta’ala berfirman :
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ [Al Ahzab :36].
Dan berhati-hatilah dengan kata-kata ”kemungkinan” tanpa ada bukti terhadap para perawi hadits ahad, Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam bersabda :”Jauhilah oleh kalian zhann(persangkaan buruk) maka sesungguhnya zhann itu sedusta-dusta perkataan.” (Mutafaqun ’alaihi). Segala puji bagi Allah.
Barangsiapa yang menolak hadits ahad dalam perkara aqidah maka berhati-hatilah akan jatuh dalam kesesatan. Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam bersabda : “Wahai ummat sekalian, sesungguhnya telah kutinggalkan kepada kalian suatu hal yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, maka niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitabullah dan sunnahku” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/93 dan dishahihkan serta disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Yang dimaksud Sunnahku oleh Rasulullah adalah seluruh hadits yang shahih baik dalam bentuk mutawatir maupun dalam bentuk ahad. Baik dalam bentuk perkara hukum maupun dalam perkara aqidah. Barangsiapa yang mengecualikan sunnah yang dimaksud Rasulullah itu hanya sebatas hadits mutawatir saja dalam perkara aqidah tidak masuk di dalamnya hadits ahad tolong datangkan dalil dari ucapan Rasulullah sebagai pengecualiannya.
Allah Ta’ala berfirman :
“….., maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS. An-Nuur (24): 63)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali(QS. An-Nisaa’ (4): 115)
Demikianlah pembahasan ini. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin. Amiin.
Berkata Imam Nawawi :”Allah enggan untuk menyempurnakan suatu kitab kecuali kitab-Nya saja.” Kami akui tidak ada gading yang tak retak. Apabila ada kekeliruan dalam tulisan ini kami sebagai hamba yang faqir akan ampunan-Nya dan pertolongan-Nya akan rujuk kepada Al-Haq. Allahlah tempat meminta pertolongan.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad berserta keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah.

Poso, sabtu pagi 12 Muharam 1432H bertepatan 19 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar