Syubuhat Makam dan kubah Nabi
shallallahu’alaihiwasallam
Abu Haura Ahmad Junayd bin Ahmad Dzulkifli
Sebagian para penyembah kuburan dari kalangan
syiah rawafidh mereka berusaha membuat keragu-raguan mengenai hadits – hadits
shahih Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang menentang secara
terang-terangan perbuatan bidah dan munkar mereka dalam memuja-muja kuburan.
Salah satunya adalah masalah kubah kuburan. Tanpa dasar dari Kitabullah dan
Sunnah mereka berusaha membela kebatilan mereka dalam hal pembangunan kubah
kuburan. Salah satu mereka adalah Ja’far As-Subhanai rafidhi yang digelari
Al-Faqih(orang yang Faqih) Al-Muhaqiq (sang peneliti) di dalam bukunya yang
berjudul Buhuts fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 184, Ia berusaha untuk
mendhaifkan hadits shahih riwayat Imam muslim ini. Mari kita perhatikan hadits
tersebut:
Berkata
Imam Muslim :
1609 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ
قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
و حَدَّثَنِيهِ أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي حَبِيبٌ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ وَلَا صُورَةً إِلَّا طَمَسْتَهَا
“telah
menceritakan kepada kami yahya bin yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan
Zuhair bin Harb, berkata Yahya telah mengabarkan kepada kami dan telah berkata
yang lain telah menceritakan kepada kami waki’ dari Sufyan (Ats-Tsauri), dari
Habib bin Abi Tsabit, dari Abi Wail dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi berkata :”Telah
berkata Ali bin Abi Thalib kepadaku :
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا
مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
”Ketahuilah
aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku
karenanya yaitu janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau telah
menghapusnya dan tidaklah kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.”(HR.
Muslim no. 1609)
Ja’far
As-Subhani mencacati kepribadian para perawi hadits ini seperti Waki’
Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Habib bin Abi Tsabit dan Abu Wail. (Lihat Buhuts
fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 184)
Pertama
ia menyerang kepribadian Waki’ Al-Jarrah. Ia mengutip perkataan Ibnu Hajar :”Berkata Abdullah bin Ahmad dari Ayahnya
(Ahmad bin Hambal) yang berkata:”Aku mendengar Ayahku berkata : Waki lebih
hafal dibandingkan Abdurrahman bin Mahdi sangat-sangat banyak.(Tahdzibut-Tahdzib,4/185)
Namun pada perkataan Imam Ahmad yang lain :”Ibnu Mahdi sangat banyak tulisannya
dari pada waki’, sedangkan waki’ lebih banyak salahnya dari pada Ibnu
Mahdi.”Imam Ahmad juga berkata :” Waki’ melakukan kesalahan sekitar 500 hadits.”
Ia
juga mengutip perkataan Ali bin Al-Madini: Waki’ biasa lahn(keliru ucapan),
jika ia berbicara dengan lafazh ucapannya akan terdengar asing.”berkata pula
Muhammad Nashr Al-Maruzi: Waki’ biasa menyampaikan hadits pada akhir(umur)nya
berdasarkan hafalannya, maka ia merubah lafazh-lafazh hadits seolah-olah ia
menyampaikannya secara makna, dan ia bukan orang ahli bahasa.”
Bantahan
kami:
Sungguh
gampang menjawab syubuhat tersebut. Imam Ahmad telah mengetahui kredebilitas
hafalan Waki Al-Jarrah, Berkata Al-Mizi: telah berkata Abdullah bin Ahmad bin
Hambal, dari Ayahnya :”Tidaklah aku pernah melihat orang lebih pandai mengenai
ilmu dibandingkan waki’, dan lebih sangat hafal dibandingkan waki’, dan aku
belum pernah melihat waki’ ragu dalam menyampaikan suatu hadits kecuali hanya
pada satu hari. Saya tidak melihat waki’ membawa kitab dan pena sedikitpun.”(
Tahdzib Al-Kamal)
Jadi
apakah terdapat pertentangan antara ucapan Imam Ahmad? Tidak wahai pembaca.
Waki’
tidaklah tercampur hafalannya namun hanya menyampaikan hadits secara makna. Dan
ia termasuk orang yang lahn(tidak dapat berucap dengan baik) yang ini adalah
kekurangan yang melekat pada beliau bukan karena kesengajaan. Sehingga akan terkesan
ia merubah lafazh hadits. Bukan karena keliru hafalan atau tercampur
hafalannya. Sebagaimana pernyataan Ali Al-Madini:” Waki’ biasa lahn(keliru
ucapan), jika ia berbicara dengan lafazh ucapannya akan terdengar asing. ia
biasa berkata telah menceritakan kepada kami Mas’ar dari Uyainah.” Yang benar
Ma’mar bukan Mas’ar. Itulah yang dimaksud Imam Ahmad bahwa waki’ keliru sekitar
500 hadits. Artinya menyampaikan 500 hadits secara makna dan kadang lahn.
Dan
hal ini bukan jarh yang dapat merendahkan kredebilitas waki Al-Jarrah. Makanya
Imam Ahmad tetap mengambil riwayat Waki’(lihat nanti hadits riwayat Imam Ahmad
no. 703 dan 1012)
Ibnu
Hajar Al-Asqalani menyatakan kedudukan waki bin Al-jarrah : Tsiqah(kuat) Hafizh
Abid(ahli ibadah). Sedangkan Adz-Dzahabi menyifatinya : Ahad Al-A’laam (Salah
satu orang yang banyak ilmunya). (ruwat At-Tahdzibin)
Jadi
syubhat Ja’far As-Subhani itu hanya sebuah kebodohan dalam memahami perkataan para
Imam ahli jarh dan ta’dil
Andaikata
kita mengalah sehingga kita tolak riwayat Waki Al-Jarrrah. Namun terdapat
perawi tsiqah lainnya yang meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri seperti
Abdurrahman bin Mahdi(Tirmidzi no .970 dan Imam Ahmad no. 1012), Muhammad bin
Katsir (Abu Dawud no. 2801), Muhammad bin Yusuf (Al-Bayhaqi dalam As- Sunan
Al-Kubra, no. 2327) dan Yahya Al-Qathan (An-Nasaai no. 2004).
Silahkan
periksa saja pada riwayat-riwayat berikut ini :
Imam
Abu Dawud meriwayatkan hadits tersebut, beliau berkata :
2801 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ
بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir, telah mengabarkan kepada kami
Sufyan, telah menceritakan kepada kami Habib bin Abi Tsabit dari Abi Wail dari
Abi Hayyaj Al-Asadi, berkata :”Ali telah mengutusku. Beliau (Ali)berkata kepadaku
: ” aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau
ratakan dan tidak juga gambar kecuali engkau telah menghapusnya.”(Abu Dawud no.
2801)
Imam
Tirmdzi meriwayatkan pula, ia berkata :
970 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ
أَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِأَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ
”telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yassar, telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib bin Abi
Tsabit dari Abi Wail :”Bahwa Ali telah berkata kepada Abi Al-hayyaj Al-Asadi :”
aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku
yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan
tidak juga gambar kecuali engkau telah menghapusnya.”(Tirmidzi no .970)
Imam
Nasaai berkata :
2004 - أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدَعَنَّ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا طَمَسْتَهَا
“
Telah mengabarkan kepada kami Amru bin Ali, dia berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib
dari Abi Wail dari Abi Al-hayyaj yang berkata :”Telah berkata kepadaku Ali
radhiyallahu’anhu, :” Ketahuilah, aku
mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu
janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak
juga gambar di rumah kecuali engkau telah menghapusnya.”(An-Nasaai no. 2004)
Imam Ahmad juga berkata :
703 -
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ
قَالَ لِي عَلِيٌّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Telah
menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib
dari Abi Wail dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi, dia berkata :”Telah berkata kepadaku
Ali :” aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau telah
menghapusnya dan tidaklah kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.”( Imam
Ahmad no. 703)
Dan
ia juga berkata :
1012 - حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ قَالَ قَالَ لِي عَلِيٌّ وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ إِنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِأَبِي الْهَيَّاجِ
أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ
“Telah
menceritakan kepada kami Waki’ dan Abdurrahman dari Sufyan dari Habib dari Abi
Wail dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi, dia berkata :”Telah berkata kepadaku Ali.”
Dan berkata Abdurrahman :”Sesungguhnya Ali radhiyallahu’anhu berkata kepada Abi
Al-Hayyaj :” aku mengutusmu atas apa
yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau
biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar
kecuali engkau telah menghapusnya .” (Imam Ahmad no. 1012)
Serta
Imam Al-Bayhaqi juga berkata :
(حدثنا) أبو طاهر الفقيه انبأ أبو بكر محمد بن الحسين القظان ثنا احمد بن يوسف السلمى ثنا محمد بن بوسف ثنا سفيان عن حبيب ابن ابى ثابت عن ابى وائل عن ابى هياج الاسدي قال قال لى على بن ابى طالب رضى الله عنه ابعثك على ما بعثنى عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم ان لا تترك قبرا مشرفا الاسويته ولا تمثالا في بيت الاطمسته
Telah
menceritakan kepada kami Abu Thahir Al-Faqih, telah meberitakan kepada kami Abu
bakr Muhammad bin Al-husaain Al-Qathan, telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Yusuf As-Silmi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib Ibnu Abi Tsabit dari Abi Wail dari
Abi Hayyaj Al-Asadi berkata:”Telah berkata kepadaku Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu :” aku mengutusmu atas
apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah
engkau tinggalkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga
gambar di rumah kecuali engkau telah menghapusnya .” (As-Sunan Al-Kubra
lilbayhaqi, no. 2327)
Lalu
Ja’far As-subhani mencacati kepribadian Sufyan Ats-Tsauri. Intinya ia mencacati
riwayat Sufyan karena Sufyan adalah seorang mudallis. Mudallis adalah orang
yang meriwayatkan hadits dari seseorang yang sebenarnya ia belum pernah bertemu
dengannya, dan antaranya terdapat perawi yang tidak ia sebutkan. Hal tersebut
dilakukan seorang mudallais demi menaikkan status riwayatnya sekaligus menutupi
kelemahan perawi yang tidak ia sebutkan. Tidak lah riwayat para mudallis
diterima kecuali ia datang dengan bentuk lafazh tahdits seperti telah
menceritakan kepadaku atau mengabarkan kepada kami atau kami telah mendengar
sdifulan berkata. Dan ternyata pada riwayat
Abu Dawud no. 2801, Sufyan menyatakan “telah menceritakan kepada kami
Habib bin Abi Tsabit.”
Maka
sekali lagi Ja’far As-Subhani bodoh sekali dalam hal ini karena ia bukan ahli
hadits. Lihatlah Ja’far As-Subhani telah melakukan kesalahan yang kedua kali.
Lalu
Ja’far As-Subhani mencacati Habib bin Abi Tsabit karena ia mudallis. Begitu
pula ia mencacati Abi Wail karena menurutnya ia seorang Nashibi penentang Ali
yang lebih mencintai Utsman dibandingkan Ali. Jadi menurutnya Abu Wail adalah
pengikut kaum bid’ah yang harus ditolak haditsnya. Padahal ia Ja’far As-Subhani
telah mengutip bahwa abu wail telah bertaubat dari memerangi Ali. Ja’far
As-Subhani dalam kitabnya Buhuts fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 187 berkata
: dan penguat dari hal itu adalah apa yang disebutkaan oleh Ibnu Abi Al-hadid
disaat berkata :”dan sebagian mereka Abu
Wail Syaqiq bin Salamah. Ia adalah pendukung ( pembalasan atas darah)Utsman
yang terjadi perselisihan dengan Ali. Shallallahu’alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, dan dinyatakan ia memiliki pemikiran khawarij. Dan tidak ada
perselisihan ia memberontak bersama khawarij. Dan ia akhirnya kemabli kepada
Ali. ‘alaihissalaam. Sebagai orang yang bertaubat.”andaikata kita mengalah
kembali kepada pendapat Ja’far As-Subhani bahwa Abu Wail seorang Nashibi
khawarij apakah lantas riwayatnya ditolak? Inilah kebodohan Ja’far As-Subhani
yang ketiga!! Ahli Hadits tidaklah menolak riwayat Ahli Bid’ah selama mereka
bukan Ahli bid’ah yang menghalalkan untuk memberikan kesaksian palsu seperti
Syiah Rafidhah atas nama taqiyyah. Inilah keadilan Ahlus sunnah tetap menerima
riwayat walaupun dari musuh-musuhnya selama mereka orang yang tsiqah, amanah
lagi jujur.( Lihat penjelasan dari tahqiq syaikh ahmad syakir di dalam kitabnya
al-ba’its al-hatsits syrh ikhtishar ‘uluum al-hadits hal. 83)
Lalu
mengenai mengenai Habib bin Abi Tsabit yang dikenal seorang mudallis, maka
tidak perlu dikhawatirkan karena terdapata mutaba’ah dari riwayat yang
dikeluarkan Imam Thabrani(Al-Mu’jam Ash-Shaghir lith-Thabrani no. 152).
Perhatikan riwayat yang dikeluarkan Imam thabrani yang berkata :
152 - حدثنا أحمد بن زهير التستري أبو حفص، حدثنا أحمد بن محمد بن عاصم الرازي، حدثنا إسحاق بن سليمان الرازي ، حدثنا المفضل بن صدقة أبو حماد الحنفي ، عن أبي إسحاق عن أبي الهياج الأسدي قال : بعثني علي بن أبي طالب فقال : أتدري على ما أبعثك ؟ أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : « لا تدع تمثالا إلا كسرته ولا قبرا مسنما إلا سويته »
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al-Tusturi Abu Hafsh, telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ashim Ar-Razi, telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Ar-Razi, telah menceritakan kepada
kami Mufadhdhal bin Shadaqah Abu hamad Al-Hanafi, dari Abu Ishaq dari Abi
Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata:”Ali bin Abi Thalib telah mengutusku yang mana
beliau berkata:”Tahukah engkau atas apa yang aku utus engkau kepadanya? Aku
mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa alihi wasallam telah
mengutusku kepadanya, beliau berkata :”Janganlah engkau biarkan gambar kecuali
engkau hapus dan jangan pula kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.” (HR.
Thabrani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir lith-Thabrani no. 152, juz 3, hal. 4)
Seluruh
perawi riwayat tersebut Tsiqah kecuali Al-Mufadhdhal bin Shadaqah Abu Hamad
Al-Hanafi yang dinyatakan Imam Daruquthni statusnya Laysya bil-qawi(tidak
kuat). Namun kelemahan pada Al-Mufadhdhal, hal ini tidaklah membahayakan karena
terdapat riwayat syahid(penguat) yang dikeluarkan oleh Ibnu Syaibah sebagai
berikut:
Ibnu
Syaibah berkata :
حدثنا محمد بن عن أشعث عن سعيد بن عمرو بن أشوع عن حنش بن المعتمر الكناني قال دخل علي على صاحب شرطة فقال انطلق فلا تدع زخرفا إلا ألقيته ولاقبرا إلا سويته ثم دعاء فقال هل تدري إلى أين بعثتك إلى ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari Asy’at, dari Sa’id bin Amru
bin Asywa’, dari hanasy bin Al-Mu’tamar Al-Kinani yang berkata : Ali menemui
seorang prajurit maka beliau berkata : berangkatlah kalian ! janganlah kalian
biarkan hiasan(gambar) kecuali engkau lemparkan(hapus) dan jangan kamu biarkan
kuburan kecuali engkau ratakan!”Lalu beliau menyeru sambil bertanya :”Apakah
kamu mengetahui kemanakah aku mengutusmu. Aku mengutusmu kepada apa yang Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam mengutusku karenanya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
3/222)
Sebagian
besar perawinya adalah orang-orang yang dapat diterima hafalnya sekaligus
berpandangan tasayyu’(mengutamakan Ali di atas Utsman dan tetap sepakat akan keutamaan
Abu Bakar dan Umar di atas seluruh sahabat radhiyallahu’anhum). Adapun komentar
Imam Bukhari “mutakallamun fiihi”(terdapat pembicaraan mengenainya) terhadap
status Hanasy bin Al-Mu’tamar tidaklah membahayakan riwayat ini karena saling
menguatkan dengan riwayat sebelumnya dan riwayat berikut ini dari Imam
Thiyalisi.
Imam
Thayalisi berkata :
96 - حدثنا شعبة ، عن الحكم ، عن رجل ، من أهل البصرة ، ويكنونه أهل البصرة أبا المورع ، وأهل الكوفة يكنونه ، بأبي محمد ، وكان من هذيل ، عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فقال : « أيكم
يأتي المدينة فلا يدع (1) فيها وثنا (2) إلا
كسره ولا صورة إلا لطخها ، ولا قبرا إلا سواه ؟ » فقام رجل من القوم فقال : يا رسول الله أنا فانطلق الرجل فكأنه هاب (3) أهل
المدينة فرجع فانطلق علي رضي الله عنه فرجع فقال : ما
أتيتك يا رسول الله حتى لم أدع فيها وثنا إلا كسرته ، ولا قبرا إلا سويته ، ولا صورة إلا لطختها فقال النبي صلى الله عليه وسلم : « من
عاد لصنعة شيء منها » ، فقال فيه قولا شديدا ، وقال لعلي : « لا
تكن فتانا ولا مختالا (4) ولا تاجرا إلا تاجر خير فإن أولئك المسبوقون في العمل »
“Telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al-Hakam dari sesorang ahli Basrah – yang
mempunyai julukan ahli basrah adalah Abu Al-Mawri’ dan Ahli Kufah adalah
julukan bagi Abu Muhammad dan ia adalah dari Hudzail- dari Ali bin Abi Thalib
yang berkata :”Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam biasa menghadiri jenazah.
Maka beliau bersabda:”Siapakah dari kalian yang datang ke madinah maka ia tidak
membiarkan berhala kecuali ia hancurkan, tidak juga gambar kecuali ia hapus dan
tidak juga kuburan kecuali ia ratakan?” Maka berdirilah seseorang sambil
berkata :”Wahai Rasulullah sayalah orangnya.” Lalu orang itu pergi seolah-olah
ia seorang yang takut kepada penduduk madinah maka ia kembali, sehingga Ali pun
yang pergi dan kemabali lagi sambil berkata:”Tidaklah aku datang kepada engkau
ya Rasulullah hingga aku tidak membiarkan berhala di dalam madinah kecuali aku
hancurkan, tidak juga kuburan kecuali aku ratakan, dan tidak juga gambar
kecuali aku hapuskan.” Maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam:”Siapa yang kembali
melakukakan tugas itu.” Maka beliau bersabda:”Di dalamnya terdapat perkataan
yang kuat.” Dan beliau bersabda kepada Ali:” janganlah engkau menjadi pencuri,
tidak juga sombong dan tidak juga pedagang kecuali menjadi pedagang yang baik.
Maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dikalahkan dalam beramal.”(Musnad
Ath-Thiyalisi no. 96)
Dalam sanadnya terdapat Al-hakam bin Utaybah Al-Kindi
dan ia seorang tsiqah tsabat lagih faqih namun kadang kala ia mudallis sebagaimana
yang dinyatakan Ibnu hajar Al-Asqalani. Namun ia mudallis pada tingkat kedua
yaitu orang yang bertadlis dari para Imam (yang tsiqah) dan para Imam ahli
hadits mengeluarkan haditsnya di dalam kitab shahih karena keimamannya, dan
sangat sedikit bertadlis seperti Sufyan Ats-Tsauri atau tidak bertadlis kecuali
riwayat dari orang-orang yang tsiqah seperti Ibnu Uyainah (Lihat Thabaqat
Al-Mudallisin, Ibnu hajar Al-Asqalani hal. 13)
Maka ‘an’anah dari Al-Hakam bin Utaybah tidaklah
membahayakkan riwayatnya untuk ditolak. Begitupula Majhul
atau mastur hal(tidak diketahui keadilan agama seorang perawi) dari Abi
Muhammad atau Abu Al-Mawri’ tidak membahayakan kondisinya karena telah
dikuatkan oleh jalur-jalur riwayat sebelumnya.(Lihat Syarah Al-Ushuul min Ilmi
Al-Ushuul, Syaikh muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 389)
Maka hadits yang kita bicarakan statusnya
shahih.(titik wahai pengingkar!!!)
Sekarang engkau wahai syiah rawafidh beserta para
pendeta kalian, mengikuti madzhabnya siapa? Apakah Madzhabnya Ahli Bait ?
jelas tidak ! Pemimpin ahli bait
sepeninggal Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yaitu Amirul mukminin Ali bin
abi Thalib radhiyallahu’anhu bersama kami dalam permasalahan ini.......mau
kemana lagi kalian berjalan wahai orang-orang sesat?
Dan ternyata pembesar mereka Abu ja’far Muhammad bin
Ya’kub Al-Kulaini Ar-Razi di dalam kitabnya Al-Ushuul min Al-Kafi meriwayatkan
riwayat yang serupa. Dia berkata :
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنِ ابْنِ الْقَدَّاحِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (
عليه السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ (
عليه السلام ) بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ (
صلى الله عليه وآله ) فِي هَدْمِ الْقُبُورِ وَ كَسْرِ الصُّوَرِ .
”dari para sahabat kami, dari Sahal bin Ziyad, dari
Ja’far bin Muhammad Al-Asy’ari dari Ibnu Al-Qaddah dari Abu
abdillah(alaihissallam) ia berkata :”telah berkata Amirul Mukminin
(‘alaihissalaam) :” Rasulullah shallallhu’alaihiwasallam telah mengutusku untuk
menghancurkan kuburan dan merusak gambar-gambar.(Al-Ushuul min Al-Kafi, 6/752)
Dan ia juga mengeluarkan riwayat :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّوْفَلِيِّ عَنِ السَّكُونِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (
عليه السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ (
عليه السلام ) بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ (
صلى الله عليه وآله ) إِلَى الْمَدِينَةِ فَقَالَ لَا تَدَعْ صُورَةً إِلَّا مَحَوْتَهَا وَ لَا قَبْراً إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَ لَا كَلْباً إِلَّا قَتَلْتَهُ .
Ali
bin Ibrahim dari ayahnya dari An-Nawfali dari As-Sakuni dari Abu Abdillah(‘Alaihissalaam)
berkata:”Berkata Amirul Mukminin(‘alaihissalaam):”Rasulullah (shallallahu
‘alaihi wa alihi) mengutusku ke madinah. Beliau bersabda :”Janganlah engkau
biarkan gambar kecuali engkau hapus, tidak juga kuburan kecuali engkau ratakan,
dan tidak juga anjing kecuali engkau bunuh.”
.(Al-Ushuul min Al-Kafi, 6/753)
Walaupun al-majlisi dan Bahbudi menyatakan riwayat –riwayat
ini dhaif dari sisi para perawinya dan
kami pun sepakat dengan pendapat mereka dalam jalur riwayat yang dikeluarkan Al-Kulaini
ini, namun hal itu tidaklah berpengaruh dengan riwayat-riwayat dari
Ahlus-Sunnah mengenai hadits tersebut. Setidaknya hal ini sebagai jeweran bagi
mereka bahwa hadits ini ada di dalam kitab kaum syiah rafidhah yang
keshahihannya mereka bisa dapatkan dalam kitab-kitab hadits ahlus sunnah.
Jadi
tetaplah kebodohan Ja’far As-Subhani tidak dapat melemahkan hadits ini.
Jelaslah
perintah Rasulullah kepada Ali tersebut menunjukkan haramnya membiarkan atau
meninggikan kuburan lebih dari yang ditentukan yaitu sejengkal apalagi sampai
membangun nissan atau kubah makam.
Dari
Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحد، ونصب اللبن نصبا، ورفع قبره من الارض نحوا من شبر
”Bahwa
Nabi shallallahu’alaihiwasallam dibuatkan lubang lahad baginya, dan ditegakkan
batu pada kuburannya, dan ditinggikan sejengkal kuburannya dari permukaan
tanah.”(HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2160, dan Bayhaqi (3/410) dan
sanadnya hasan.)
Dan
yang dimaksud larangan ini bukan saja tingginya gundukan tanah kuburan namun
juga peninggian sesuatu di atas kuburan entahkah dari tanah, batu, semen
ataupun kayu karena tidak adanya pembatasan jenis zat yang dilarang tersebut.
Termasuk juga nisan dan kubah.
Dari
Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر، وأن يقعد عليه، وأن يبى عليه، [ أو يزاد عليه ]، [ أو يكتب عليه ]
“Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, duduk
diatasnya, membangun di atasnya[ atau menambahnya],[atau ditulis padanya].”
(HR.
Muslim (3/62), Abu Dawud (2/71), Nasaai (1/284, 285, 286), Tirmidzi (2/155) dan
ia menshahihkannya, Hakim(1/370), Bayhaqi (4/4) dan Ahmad (3/295, 332, 339.399).
Imam Nawawi menyatakan sanad hadits ini shahih)
Dan
Pembesar ulama Syiah yaitu Al-Huli di dalam kitabnya An-Nihayah meriwayatkan :
إن النبي
صلى
الله
عليه
وآله
وسلم
نهى
أن
يجصص
القبر
أو
يبنى
عليه
أو
يكتب
عليه
لأنه
من
زينة
الدنيا
فلا
حاجة
بالميت
إليه
”Bahwa
Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, membangun
di atasnya, atau ditulis padanya karena hal itu merupakan hiasan dunia yang
tidak dibutuhkan bagi mayat.”
Begitu
pula dalam “Wasail Asy-Syi’ah” dalam bab
pengkuburan, dan Syaikh Ath-Thusyi di dalam “At-Tahdzib” dari Ali bin Ja’far
bahwasannya ia berkata :
سألت أبا الحسن
الموسوي
عليه
السلام
عن
البناء
على
القبر
والجلوس
عليه
هل
يصلح؟
قال
: لا
يصلح
البناء
عليه
ولا
الجلوس
ولا
جصيصه
ولا
تطيينه
“Aku
bertanya kepada Abul Hasan Al-Musawi ‘alaihiwassalaam mengenai membangun di
atas kuburan dan duduk di atasnya apakah merupakan hal baik? Maka beliau
menjawab :”Tidak pantas untuk di bangun diatasnya dan duduk di atasnya, serta
mengkapuri dan melumurinya.”
Andaikata
bukan lelahnya saya menulis tentu akan saya tampilkan riwayat-riwayat mereka
kaum syiah rawafidh yang cukup banyak yang menyepakati pendapat ahlus sunnah
mengenai larangan membangun di atas kuburan.(silahkan lihat selengkapnya di
kitab “Tadhadh Mafatih Al-Jinan Ma’a Ayy Al-Quran karangan Ayatullah Al-‘Uzhma
Sayyid Abul Fadhil bin Ridha Al-Barqai Al-Qumi, beliau seorang ulama syiah yang
telah kembali kepada ajaran Rasulullah dan ahli baitnya yang lurus di atas manhaj
ahlus sunnah. Silahkan di download kitab beliau : http://alburhan.com/upload/attach_files/tadad-mfateeh-aljenan-maa-aay-alquraan.rar )
Dari
Sufyan At-Tamar :
رأيت قبر النبي صلى الله عليه وسلم (وقبر أبي بكر وعمر) مسنما
“Aku
melihat kubur Nabi shallallahu’alaihi wasallam (dan kubur Abu Bakar dan Umar)
dalam bentuk gundukan(seperti punuk unta)”
(HR.
Bukhari no. 1302, dan Al-Bayhaqi, 4/3, dan terdapat lafazh tambahan dari
riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Nu’aim di Al-Mustakhraj)
Maksud
musannam(gundukan tanah seperti punuk unta) dari kuburan Nabi adalah
ditinggikan sebatas sejengkal saja, sebagaimana hadits sebelumnya.
Sehingga
Imam Ibnu Hazm menyimpulkan dengan menyatakan :
ولا يحل أن يبنى القبر، ولا أن يجصص، ولا أن يزاد على ترابه شئ ويهدم كل ذلك
“Dan
tidak dihalalkan untuk membangun kuburan, dan tidak juga mengkapurinya(mencat)
dan tidak juga menambah sesuatu di atas tanahnya dan harus dihancurkan
seluruhnya.”
(Al-Muhalla,
Ibnu Hazm, 5/33)
Syubhat :
Salah
seorang sahabat kami di Poso yang telah terkena syubuhat syiah rawafidh
membantah kami dengan pernyataan :
“Satu hal
lagi, telah disepakati oleh semua ahli sejarah bahwa Setelah Nabi saww wafat,
beliau dimakamkan di kamarnya. Kalau memang benar membuat bangunan kuburan itu
haram, maka sudah seharusnya para shahabat ketika itu menghancurkan dulu kamar
tersebut sebelum melakukan pemakaman. Sebab, sesuai dengan fatwa para ulama
Wahhabi, bangunan kuburan itu seperti berhala.
Karena itu,
bukankah tidak ada bedanya antara menguburkan mayat di dalam bangunan atau
membangun bangunannya setelah penguburan. Bangunan kuburan Nabi saww sudah
dibuat sejak awal pemakaman beliau dan sampai sekarang bangunan itu tetap ada.
Begitu pula kubah yang ada di atasnya.”
Bantahan :
Sungguh mudah menjawab syubuhat ini bagi orang-orang
yang mengikuti manhaj Nubuwwah Ahlis Sunnah.
Yang menjadi pertanyaan pertama mengapa Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam di kubur di kamar Aisyah bukan di pekuburan sahabat
beliau di Baqi’? padahal di kuburkannya jenazah seorang muslim di pekuburan
kaum muslimin adalah lebih utama dibandingkan dikuburkan ditempat tersendiri.
Hal ini karena Nabi
shallallahu’alaihiwasallam biasa menguburkan para sahabat beliau di Baqi’ yang
tentunya lebih utama untuk diikuti dibandingkan perbuatan orang lain dan akan
mendapatkan keutamaan doa para penziarah.
Ada dua alasan di
kuburkannya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di Kamar rumah Ibu kami Ibu
orang-orang yang beriman Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha :
Yang pertama, karena para sahabat
mengkhususkan beliau berdasarkan riwayat –riwayat hadits yang bertema :
يدفن الأنبياء حيث يموتون
“Dikuburkannya Para Nabi ditempat
mereka wafat”
Seperti riwayat dari Abu Bakar radhiyallahu’anhu yang Berkata
bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda :
إن
الأنبياء
يقبرون
حيث
يقبضون
“Sesunggunhnya Para Nabi
dikuburkan ditempat ia wafat.”(Sirah Ibnu Hisyam 4/1303)
Riwayat serupa banyak sekali jalan-jalanya. Silahkan dilihat di
dalam kitab Riyadhul Jannah karangan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 255-260
silahkan di download kitab tersebut di : http://www.ajurry.com/vb/attachment.php?attachmentid=18832&d=1330417443
Berdasarkan
riwayat tersebut beliau shallallahu’alaihiwasallam dikuburkan di tempat beliau
menghembuskan nafas terakhir di dada Aisyah radhiyallahu’anha di kamar Aisyah
itu sendiri tepat di bawah tempat tidur beliau dan Aisyah .
Yang
kedua, karena berdasarkan isyarat
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di dalam hadits riwayat Ibunda kami Aisyah radhiyallahu’anha berikut ini ia
berkata :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
قَالَتْ عَائِشَةُ لَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبرُهُ خَشِيَ أَنْ يتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam ketika beliau sakit sehingga tidak bisa bangun dari
tidurnya bersabda :
“Semoga laknat Allah jatuh kepada
orang-orang yahudi karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid-masjid.”
Berkata Aisyah : “jikalau bukan
karena hal itu tentulah akan ditampakkan kuburan beliau, akan tetapi beliau khawatir kuburannya akan di jadikan
masjid.”
(HR.
Bukhari (3/156, 198, dan 8/114), Ahmad (6/80, 121 dan 255) dan masih terdapat
jalur-jalur lainnya.)
Perkataan
ibunda kami Aisyah radhiyallahu’anha :
لَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قبرُهُ خَشِيَ أَنْ يتَّخَذَ مَسْجِدًا
“jikalau
bukan karena hal itu tentu akan ditampakkan kuburan beliau, akan tetapi beliau khawatir kuburannya akan di jadikan
masjid.”
Kata أُبْرِزَ berarti
ditampakan kuburan beliau shallallahu’alaihiwasallam dan tidak ada penghalang
berupa dinding padanya. Sehingga yang dimaksud darinya kuburan tersebut berada
diluar rumah beliau atau diluar kamar Aisyah sebagaimana yang diterangkan dalam
Fath Al-Bari karangan Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Jadi
keberadaan “dinding kamar Aisyah” tersebut merupakan alasan yang kuat untuk memenuhi
perintah Rasulullah menjaga kuburan beliau jangan sampaikan dijadikan masjid
maupun tempat perayaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sejelek-jelek
Makhluk dari kalangan Yahudi dan Nasrani sehingga mendatangkan laknat atas
pelakunya.
Yang
dimaksud masjid bukanlah sebatas bangunan namun bermakna segala tempat yang
dijadikan tempat sujud atau shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam :
الأرض كلّها مسجد إلا المقبرة والحمّام
“Bumi itu seluruhnya
masjid kecuali area kuburan dan area kamar mandi.”(Hadits shahi yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Kata المقبرة berarti area pekuburan
bukan sebatas kuburannya saja. Yang dimaksud membuat kuburan menjadi masjid
terdiri dari tiga bentuk segi:
Segi
pertama : Sujud di atas atau di area kuburan
yaitu menjadikan kuburan sebagai tempat sujud.
Segi
Kedua : Shalat menghadap kubur.
Segi
ketiga : membangun bangunan yang
tentunya walaupun tidak diperuntukan untuk masjid akan tetapi tetap akan
dijadikan para penziarah sebagai tempat shalat diarea bangunan pekuburan
tersebut dalam rangka mencari berkah sehingga hal itu tetap menjadi kategori
masjid.
Dan
telah kita lihat fenomena pembangunan Kubah kuburan menyebabkan kuburan tersebut
menjadi masjid atau penziarah shalat di dalamnya. Maka inilah hikmah Sabda
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر، وأن يقعد عليه، وأن يبنى عليه، [ أو يزاد عليه ]، [ أو يكتب عليه ]
“Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, duduk
diatasnya, membangun di atasnya[ atau menambahnya],[atau ditulis padanya].”
(HR.
Muslim (3/62), dan selain beliau. Imam Nawawi menyatakan sanad hadits ini
shahih)
Kuburan
Nabi shallallahu’alaihiwasallam berada di dalam kamar ‘Aisyah, menjadikan
Aisyah sebagai orang yang berhak memberi izin kepada siapa yang ia kehendaki
untuk melihat kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam karena dialah pemilik kamar
atau rumah tersebut. Sehingga didalam kamar atau rumah Aisyah tersebut terdapat
dua bagian yaitu bagian area kuburan nabi dan bagian area tempat tinggalnya.
Sedangkan
Ibunda Aisyah membuat dinding di kamarnya yang memisahkan antara tempat
tinggalnya dengan area kuburan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
sebagaimana yang dinyatakan di dalam At-Tahmid Syarah Kitab Tauhid oleh Syaikh
Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Syaikh :
وقد قبل الصحابة –رضوان الله عليهم- وصية رسول الله –صلى الله عليه وسلم- وعملوا بها، فدفنوه في مكانه الذي قُبض فيه، في حجرة عائشة، وكانت –رضي الله عنها- قد أقامت جداراً بينها وبين القبور، فكانت غرفة عائشة فيها قسمان: قسم القبر، وقسم هي فيه.
وكذلك لما توفي أبو بكر –رضي الله عنه- ودفن بعد رسول الله –صلى الله عليه وسلم – من جهة الشمال، كانت أيضاً في ذلك الجزء من الحجرة، ولما دفن عمر –رضي الله عنه- تركت الحجرة –رضي الله عنها- ثم أغلقت الحجرة، فلم يكن ثَمَّ باب فيها يدخل منه إليها، وإنما كانت فيها نافذة صغيرة، ولم تكن الغرفة –كما هو معلوم- مبنية من حجر، ولا من بناء مجصص، وإنما كانت من البناء الذي كان في عهده عليه الصلاة والسلام من خشب ونحو ذلك.
وكذلك لما توفي أبو بكر –رضي الله عنه- ودفن بعد رسول الله –صلى الله عليه وسلم – من جهة الشمال، كانت أيضاً في ذلك الجزء من الحجرة، ولما دفن عمر –رضي الله عنه- تركت الحجرة –رضي الله عنها- ثم أغلقت الحجرة، فلم يكن ثَمَّ باب فيها يدخل منه إليها، وإنما كانت فيها نافذة صغيرة، ولم تكن الغرفة –كما هو معلوم- مبنية من حجر، ولا من بناء مجصص، وإنما كانت من البناء الذي كان في عهده عليه الصلاة والسلام من خشب ونحو ذلك.
“Para
sahabat radhiyallahu’anhum telah menerima wasiat dari Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam dan mereka melaksanakannya, maka mereka menguburkan
Nabi shallallahu’alaihiwasallam di tempat beliau diwafatkan, yaitu di kamar
Aisyah radhiyallahu’anha. ‘Aisyah radhiyallahu’anha mendirikan sebuah dinding
antara dia dengan kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam maka pada kamar ‘Aisyah
radhiyallahu’anha terdapat dua bagian, satu bagian di dalamnya terdapat kubur
Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan satu bagian lagi untuk tempat tinggalnya.
Demikian
pula tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu wafat, beliau dikuburkan juga di dalam
kamar ‘Aisyah radhiyallahu’anha pada sisi bagian selatan. Maka tatkala Umar
radhiyallahu’anhu dikuburkan di kamar itu juga, ‘Aisyah radhiyallahu’anha
meninggalkan kamar tersebut, kemudian ditutuplah kamar itu. Dan tidak ada
padanya pintu yang dapat dimasuki melaluinya, hanya padanya terdapat jendela
kecil, dan tidak juga kamar tersebut dibangun dari batu sebagaimana yang telah
diketahui. Tidak juga diwarnai, hanya sanya dibangun kamar tersebut dizaman Nabi
shalaatu wassalaam mengunakan kayu dan semisalnya.”( At-Tahmid Syarah Kitab
Tauhid hal. 260)
Dari
pernyataan tersebut nampaklah bahwa ‘Aisyah menghukumi bagian kamar yang
terdapat padanya kubur Nabi adalah termasuk area pekuburan yang dilarang
dilakukan shalat padanya sedangkan bagian kamar yang ditembok memisahkan dari
kubur Nabi adalah rumah tinggalnya yang diperbolehkan shalat di dalamnya. Dan
‘Aisyah adalah orang yang paling mengerti hadits-hadits mengenai larangan
shalat di pekuburan atau laknat dan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid
karena dialah salah satu perawi dari hadits-hadits tersebut.
Sebagaimana
kaedah menyatakan ;
الراوي أعلم بما روى
“Periwayat Hadits lebih memahami
apa yang ia riwayatkan”
Lalu
saya tambahkan pernyataan Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi yang menyatakan :
“Kemudian
saya peringatkan antum terhadap beberapa perkara:
Sesungguhnya bangunan yang ada di atas
kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam bukanlah bangunan yang didirikan di
atas kuburan, karena asal bangunan tersebut sudah ada sebelum Nabi shallallahu’alaihiwasallam
dikuburkan di bawahnya, yaitu bangunan kamar `Aisyah radhiyallahu’anha. Jadi,
bangunan yang ada di atas kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam tidaklah
dengan niat membangun kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karena masalah
bangunan tersebut sudah ada.”
(Konsultasi Agama dan Keluarga Bersama
Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi, Majalah Qiblati edisi 03 tahun III bulan
Desember 2007 M/Dzulqa’dah 1428H, hal. 55)
Sehingga pernyataan :
“Kalau memang
benar membuat bangunan kuburan itu haram, maka sudah seharusnya para shahabat
ketika itu menghancurkan dulu kamar tersebut sebelum melakukan pemakaman.”
Merupakan pernyataan yang berasal dari orang yang tidak mengetahui isi dari
dua alasan di atas yang berasal dari riwayat-riwayat sejarah mengenai keputusan
sahabat menguburkan Rasul di kamar Aisyah yang tertutup dari pandangan demi
menghalangi perbuatan orang-orang yang dikemudian hari untuk melakukan shalat
di kubur Nabi.
Adapun syubuhat :
Mengenai
bangunan pada kuburan Nabi saww, Pertama kalinya, ketika Nabi saww wafat dan
dimakamkan di rumah beliau, di kuburannya itu tidak
memiliki tembok. Lalu pertama kali orang yang membuatkan temboknya adalah Umar
bin Khaththab, antum harus lebih giat membaca sejarah ya akhy,jangan hanya baca
arrahmah.com terus
merupakan syubuhat dari orang-orang yang tidak mengerti secara jelas kondisi
sejarah kuburan Nabi. padahal kamar Aisyah merupakan dalil yang jelas bahwa
kuburan Nabi telah tertutupi dengan dinding sehingga tidak dapat nampak dari
luar kamar. Adapun kebingungan dari pemilik syubuhat adalah mengenai perbuatan
Umar radhiyallahu’anhu membuat tembok dinding pada rumah nabi
shallallahu’alaihi wasalam.
Berkata Ibnu Sa’id di dalam Ath-Thabaqat juz 2 hal. 7
bagian kedua :
أخبرنا يحي بن عباد حدثنا حماد بن زيد سمعت عمرو بن دينار وعبيد الله بن أبي يزيد قالا : لم يكن على عهد رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم على بيت النبي حائط فكان أول من بنى عليه جدارا عمر بن الخطاب, قال عبيد الله بن أبي يزيد : كان جداره قصيرا, ثم بناه عبد الله بن الزبير بعد وزاد فيه
“Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin ‘Ibaad, telah
menceritakan kepada kami Hamaad bin Zaid, aku mendengar Amru bin Dinar dan
Ubaidillah bin Abi Yazid mereka berdua berkata: “sebelumnya dizaman Rasulullah
shallallahu’alaihi wa alihi wasallam tidak terdapat dinding pada rumah Nabi.
Maka orang yang pertama kali membangun dinding adalah Umar bin Al-Khathab.
“Berkata Ubaidillah bin Abi Yazid : Sebelumya diding tersebut pendek lalu
dibangun lagi oleh Abdullah bin Zubairsetelah ia menambahnya.”
Dinding
yang manakah yang dimaksud? Dinding yang menutupi kuburan nabi atau dinding
yang menutupi Rumah Nabi? Jelas dinding yang dimaksud adalah dinding yang
menutupi rumah Nabi sebagai pembatas antara Kamar Aisyah dengan daerah luarnya.
Sedangkan pada saat itu Aisyah masih menempati rumah tersebut. Jadi alasan
apakah yang dilakukan Umar. Jelas alasan beliau masih dalam rangka menjaga
wasiat Rasulullah untuk menjaga kuburan jangan sampai menjadi tempat shalat.
Walaupun akhirnya dinding yang dibangun Umar menjadi dinding pengganti dari
dinding kamar Aisyah yang telah usang, yang di dalamnya terdapat kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Dan saat ini dinding yang mengelilingi Kamar Aisyah tersebut menjadi tiga
dinding. Dinding pertama tertutup sempurna dan ia merupakan dinding kamar
Aisyah, Dinding kedua, dibuat pada masa gubernur Umar bin Abdil Aziz
rahimahullah di zaman Walid bin Abdil Malik. Dan mereka membuatnya dari sisi
selatan yang berlawanan dengan arah kiblat. Karena arah tersebut terjadi
perluasan. Mereka takut jangan sampai dinding menjadi segi empat. Menghadap
kiblat. Sehingga ditakutkan seseorang bila menghadap kiblat shalat akan
menghadap kuburan maka itu mereka membuat menjadi bentuk segi tiga yang menjauh
dari dinding pertama. yang tentunya seseorang tidak akan bisa menghadap shalat
kearahnya. Lalu dibuat lagi dinding ketiga sehingga makin menjauhlah kuburan
Nabi dari area masjid. Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan doa
Nabi-Nya yang berdoa :
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah dijadikan kuburanku
ini berhala yang disembah, Allah sungguh murka terhadap kaum yang menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
(Shahih dikeluarkan Imam Malik dalam Al-Muwatha
no.376)
Jadi pembangunan dinding ini khusus melaksankan wasiat
Nabi untuk terhindar kuburnya dari di jadikan berhala. Dan sifatnya bukan
membangun bangunan di atas kuburan yang dilarang oleh Nabi sendiri. Pahamilah
jangan sampai engkau dijerumuskan syetan rafidhah.
Hal ini berbeda sekali dengan kaum rawafidh yang
mereka membangun di atas kuburan para pembesar mereka bukan dalam rangka
menutupi pintu kesyirikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat
berdasarkan wasiat Rasul namun mereka malah menjadi nya sebagai tempat ibadah
dengan tujuan bertabaruk kepada mayat.
Mungkin masih ada pertanyaan mengapa Abu Bakar dan
Umar diperbolehkan pula dikuburkan di area kubur Nabi di dalam kamar Aisyah?
Jawabannya mudah. Kamar Aisyah yang menjadi area
kuburan nabi dihukumi sebagai area kuburan yang diperbolehkan bagi siapapun
atas izin Ibunda Aisyah untuk dikubur di dalamnya. Dan tidak perlu dinding
kamar Aisyah yang menutupi area kuburan nabi dirobohkan walaupun terdapat orang
lain selain Nabi yang dikuburkan di dalamnya. Hal ini karena terdapatnya wasiat
Nabi tersebut mengenai usaha pencegahan jangan sampai kuburan beliau di jadikan
masjid.
Dan ini merupakan kebenaran dari mimpi Aisyah radhiyallahu’anha,
Imam Al-Bayhaqi meriwayatkan :
عن سفيان بن عيينة ، عن يحيى بن سعيد ، عن سعيد بن المسيب قال : عرضت عائشة على أبيها رؤيا ، وكان أعبر الناس قالت : رأيت ثلاثة أقمار وقعن في حجري فقال : إن
صدقت رؤياك دفن في بيتك ، خير أهل الأرض ثلاثة ، فلما قبض النبي صلى الله عليه وسلم قال : يا عائشة هذا خير أقمارك
“dari Sufyan bin Uyainah dari Yahya bin Said
al-Anshari dari Said bin Al-Musayyib berkata :”Aisyah menyampaikan mimipinya
kepada Ayahnya (Abu bakar ash-Shidiq), dan ayahnya adalah
seorang yang paling mengerti tafsir mimpi, Aisyah berkata :”Aku melihat tiga
buah bulan berada di kamarku.” Berkata Ayahnya :”jikalau mimpimu benar maka akan dikuburkan tiga orang yang terbaik
dibumi ini di dalam rumahmu.”Tatakala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
wafat, Ayahnya berkata :” Ya Aisyah, inilah dia sebaik-baik bulan tersebut.”(HR.
Al-Bayhaqi dalam Dalail An-Nubuwah no. 3237)
sehingga yang dimaksud dengan dua bulan sisanya adalah ayahnya sendiri yaitu Abu Bakar
Ash-Shidiq dan Umar Al-Faruq radhiyallahu’anhuma. Dan benarlah mimpi tersebut
dengan dikuburkanya Abu Bakar dan Umar di dalamnya.
Mengenai kubah yang terdapat di atas makam Nabi
shallallahu’alaihiwasallam saya kira tidak perlu menjelaskannya lagi cukup anda
baca ulang kembali sejarah pembangunannya dan hukum menghancurkannya dari
tulisan-tulisan ahlus sunnah yang terdapat di dunia maya. Seperti : Rahsia Kubah Hijau Masjid Nabi dan semisalnya.
Adapun kubah tersebut masih tetap berdiri bukan karena
disyariatkan dalam agama namun karena banyak banyak masyrakat muslim yang
memuliakan kubah tersebut tanpa dasar dalil kitab maupun sunnah dan mereka
belum mengerti haramnya kubah tersebut dibangun sehingga malah mendatangkan
mudharat yang besar maka penghancuran kubah itu ditunda sebagaimana Sabda
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengenai penundaan perubahan bentuk
Ka’bah kembali ke pola bangunan di zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam :
يَا
عَائِشَةَ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ
بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ
بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ
بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ
"Wahai, 'Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka'bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim". [Muttafaqun 'alaih]
BRIGADE PEMBUNGKAM MULUT SYIAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar