Menyongsong Khilafah Kasyidah di atas Minhaj Nubuwah

2 Juli 2012

Syubuhat Makam dan kubah Nabi shallallahu’alaihiwasallam



Syubuhat Makam dan kubah Nabi shallallahu’alaihiwasallam

 
Abu Haura Ahmad Junayd bin Ahmad Dzulkifli

Sebagian para penyembah kuburan dari kalangan syiah rawafidh mereka berusaha membuat keragu-raguan mengenai hadits – hadits shahih Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang menentang secara terang-terangan perbuatan bidah dan munkar mereka dalam memuja-muja kuburan. Salah satunya adalah masalah kubah kuburan. Tanpa dasar dari Kitabullah dan Sunnah mereka berusaha membela kebatilan mereka dalam hal pembangunan kubah kuburan. Salah satu mereka adalah Ja’far As-Subhanai rafidhi yang digelari Al-Faqih(orang yang Faqih) Al-Muhaqiq (sang peneliti) di dalam bukunya yang berjudul Buhuts fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 184, Ia berusaha untuk mendhaifkan hadits shahih riwayat Imam muslim ini. Mari kita perhatikan hadits tersebut:
Berkata Imam Muslim :
1609 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ
قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
و حَدَّثَنِيهِ أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي حَبِيبٌ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ وَلَا صُورَةً إِلَّا طَمَسْتَهَا
“telah menceritakan kepada kami yahya bin yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, berkata Yahya telah mengabarkan kepada kami dan telah berkata yang lain telah menceritakan kepada kami waki’ dari Sufyan (Ats-Tsauri), dari Habib bin Abi Tsabit, dari Abi Wail dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi berkata :”Telah berkata Ali bin Abi Thalib kepadaku :
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
”Ketahuilah aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku karenanya yaitu janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau telah menghapusnya dan tidaklah kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.”(HR. Muslim no. 1609)
Ja’far As-Subhani mencacati kepribadian para perawi hadits ini seperti Waki’ Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Habib bin Abi Tsabit dan Abu Wail. (Lihat Buhuts fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 184)
Pertama ia menyerang kepribadian Waki’ Al-Jarrah. Ia mengutip perkataan Ibnu Hajar  :”Berkata Abdullah bin Ahmad dari Ayahnya (Ahmad bin Hambal) yang berkata:”Aku mendengar Ayahku berkata : Waki lebih hafal dibandingkan Abdurrahman bin Mahdi sangat-sangat banyak.(Tahdzibut-Tahdzib,4/185) Namun pada perkataan Imam Ahmad yang lain :”Ibnu Mahdi sangat banyak tulisannya dari pada waki’, sedangkan waki’ lebih banyak salahnya dari pada Ibnu Mahdi.”Imam Ahmad juga berkata :” Waki’ melakukan kesalahan sekitar 500 hadits.”
Ia juga mengutip perkataan Ali bin Al-Madini: Waki’ biasa lahn(keliru ucapan), jika ia berbicara dengan lafazh ucapannya akan terdengar asing.”berkata pula Muhammad Nashr Al-Maruzi: Waki’ biasa menyampaikan hadits pada akhir(umur)nya berdasarkan hafalannya, maka ia merubah lafazh-lafazh hadits seolah-olah ia menyampaikannya secara makna, dan ia bukan orang ahli bahasa.”
Bantahan kami:
Sungguh gampang menjawab syubuhat tersebut. Imam Ahmad telah mengetahui kredebilitas hafalan Waki Al-Jarrah, Berkata Al-Mizi: telah berkata Abdullah bin Ahmad bin Hambal, dari Ayahnya :”Tidaklah aku pernah melihat orang lebih pandai mengenai ilmu dibandingkan waki’, dan lebih sangat hafal dibandingkan waki’, dan aku belum pernah melihat waki’ ragu dalam menyampaikan suatu hadits kecuali hanya pada satu hari. Saya tidak melihat waki’ membawa kitab dan pena sedikitpun.”( Tahdzib Al-Kamal)
Jadi apakah terdapat pertentangan antara ucapan Imam Ahmad? Tidak wahai pembaca.
Waki’ tidaklah tercampur hafalannya namun hanya menyampaikan hadits secara makna. Dan ia termasuk orang yang lahn(tidak dapat berucap dengan baik) yang ini adalah kekurangan yang melekat pada beliau bukan karena kesengajaan. Sehingga akan terkesan ia merubah lafazh hadits. Bukan karena keliru hafalan atau tercampur hafalannya. Sebagaimana pernyataan Ali Al-Madini:” Waki’ biasa lahn(keliru ucapan), jika ia berbicara dengan lafazh ucapannya akan terdengar asing. ia biasa berkata telah menceritakan kepada kami Mas’ar dari Uyainah.” Yang benar Ma’mar bukan Mas’ar. Itulah yang dimaksud Imam Ahmad bahwa waki’ keliru sekitar 500 hadits. Artinya menyampaikan 500 hadits secara makna dan kadang lahn.
Dan hal ini bukan jarh yang dapat merendahkan kredebilitas waki Al-Jarrah. Makanya Imam Ahmad tetap mengambil riwayat Waki’(lihat nanti hadits riwayat Imam Ahmad no. 703 dan 1012)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan kedudukan waki bin Al-jarrah : Tsiqah(kuat) Hafizh Abid(ahli ibadah). Sedangkan Adz-Dzahabi menyifatinya : Ahad Al-A’laam (Salah satu orang yang banyak ilmunya). (ruwat At-Tahdzibin)
Jadi syubhat Ja’far As-Subhani itu hanya sebuah kebodohan dalam memahami perkataan para Imam ahli jarh dan ta’dil
Andaikata kita mengalah sehingga kita tolak riwayat Waki Al-Jarrrah. Namun terdapat perawi tsiqah lainnya yang meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri seperti Abdurrahman bin Mahdi(Tirmidzi no .970 dan Imam Ahmad no. 1012), Muhammad bin Katsir (Abu Dawud no. 2801), Muhammad bin Yusuf (Al-Bayhaqi dalam As- Sunan Al-Kubra, no. 2327) dan Yahya Al-Qathan (An-Nasaai no. 2004).
Silahkan periksa saja pada riwayat-riwayat berikut ini :
Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits tersebut, beliau berkata :
2801 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ
بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir, telah mengabarkan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Habib bin Abi Tsabit dari Abi Wail dari Abi Hayyaj Al-Asadi, berkata :”Ali telah mengutusku. Beliau (Ali)berkata kepadaku : ” aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar kecuali engkau telah menghapusnya.”(Abu Dawud no. 2801)
Imam Tirmdzi meriwayatkan pula, ia berkata :
970 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ
أَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِأَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ
”telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yassar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib bin Abi Tsabit dari Abi Wail :”Bahwa Ali telah berkata kepada Abi Al-hayyaj Al-Asadi :” aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar kecuali engkau telah menghapusnya.”(Tirmidzi no .970)
Imam Nasaai berkata :
2004 - أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدَعَنَّ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا طَمَسْتَهَا
“ Telah mengabarkan kepada kami Amru bin Ali, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yahya, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib dari Abi Wail dari Abi Al-hayyaj yang berkata :”Telah berkata kepadaku Ali radhiyallahu’anhu,    :” Ketahuilah, aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar di rumah kecuali engkau telah menghapusnya.”(An-Nasaai no. 2004)
Imam Ahmad juga berkata :
 703 - حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ
قَالَ لِي عَلِيٌّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib dari Abi Wail dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi, dia berkata :”Telah berkata kepadaku Ali :” aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau telah menghapusnya dan tidaklah kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.”( Imam Ahmad no. 703)
Dan ia juga berkata :
1012 - حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ قَالَ قَالَ لِي عَلِيٌّ وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ إِنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِأَبِي الْهَيَّاجِ
أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ
“Telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Abdurrahman dari Sufyan dari Habib dari Abi Wail dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi, dia berkata :”Telah berkata kepadaku Ali.” Dan berkata Abdurrahman :”Sesungguhnya Ali radhiyallahu’anhu berkata kepada Abi Al-Hayyaj :”  aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar kecuali engkau telah menghapusnya .” (Imam Ahmad no. 1012)
Serta Imam Al-Bayhaqi juga berkata :
(حدثنا) أبو طاهر الفقيه انبأ أبو بكر محمد بن الحسين القظان ثنا احمد بن يوسف السلمى ثنا محمد بن بوسف ثنا سفيان عن حبيب ابن ابى ثابت عن ابى وائل عن ابى هياج الاسدي قال قال لى على بن ابى طالب رضى الله عنه ابعثك على ما بعثنى عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم ان لا تترك قبرا مشرفا الاسويته ولا تمثالا في بيت الاطمسته
Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir Al-Faqih, telah meberitakan kepada kami Abu bakr Muhammad bin Al-husaain Al-Qathan, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yusuf As-Silmi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib Ibnu Abi Tsabit dari Abi Wail dari Abi Hayyaj Al-Asadi berkata:”Telah berkata kepadaku Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu :”  aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku yaitu janganlah engkau tinggalkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dan tidak juga gambar di rumah kecuali engkau telah menghapusnya .” (As-Sunan Al-Kubra lilbayhaqi, no. 2327)
Lalu Ja’far As-subhani mencacati kepribadian Sufyan Ats-Tsauri. Intinya ia mencacati riwayat Sufyan karena Sufyan adalah seorang mudallis. Mudallis adalah orang yang meriwayatkan hadits dari seseorang yang sebenarnya ia belum pernah bertemu dengannya, dan antaranya terdapat perawi yang tidak ia sebutkan. Hal tersebut dilakukan seorang mudallais demi menaikkan status riwayatnya sekaligus menutupi kelemahan perawi yang tidak ia sebutkan. Tidak lah riwayat para mudallis diterima kecuali ia datang dengan bentuk lafazh tahdits seperti telah menceritakan kepadaku atau mengabarkan kepada kami atau kami telah mendengar sdifulan berkata. Dan ternyata pada riwayat  Abu Dawud no. 2801, Sufyan menyatakan “telah menceritakan kepada kami Habib bin Abi Tsabit.”
Maka sekali lagi Ja’far As-Subhani bodoh sekali dalam hal ini karena ia bukan ahli hadits. Lihatlah Ja’far As-Subhani telah melakukan kesalahan yang kedua kali.
Lalu Ja’far As-Subhani mencacati Habib bin Abi Tsabit karena ia mudallis. Begitu pula ia mencacati Abi Wail karena menurutnya ia seorang Nashibi penentang Ali yang lebih mencintai Utsman dibandingkan Ali. Jadi menurutnya Abu Wail adalah pengikut kaum bid’ah yang harus ditolak haditsnya. Padahal ia Ja’far As-Subhani telah mengutip bahwa abu wail telah bertaubat dari memerangi Ali. Ja’far As-Subhani dalam kitabnya Buhuts fi Al-Milal wa an-Nihal juz 4 hal 187 berkata : dan penguat dari hal itu adalah apa yang disebutkaan oleh Ibnu Abi Al-hadid disaat  berkata :”dan sebagian mereka Abu Wail Syaqiq bin Salamah. Ia adalah pendukung ( pembalasan atas darah)Utsman yang terjadi perselisihan dengan Ali. Shallallahu’alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan dinyatakan ia memiliki pemikiran khawarij. Dan tidak ada perselisihan ia memberontak bersama khawarij. Dan ia akhirnya kemabli kepada Ali. ‘alaihissalaam. Sebagai orang yang bertaubat.”andaikata kita mengalah kembali kepada pendapat Ja’far As-Subhani bahwa Abu Wail seorang Nashibi khawarij apakah lantas riwayatnya ditolak? Inilah kebodohan Ja’far As-Subhani yang ketiga!! Ahli Hadits tidaklah menolak riwayat Ahli Bid’ah selama mereka bukan Ahli bid’ah yang menghalalkan untuk memberikan kesaksian palsu seperti Syiah Rafidhah atas nama taqiyyah. Inilah keadilan Ahlus sunnah tetap menerima riwayat walaupun dari musuh-musuhnya selama mereka orang yang tsiqah, amanah lagi jujur.( Lihat penjelasan dari tahqiq syaikh ahmad syakir di dalam kitabnya al-ba’its al-hatsits syrh ikhtishar ‘uluum al-hadits hal. 83)
Lalu mengenai mengenai Habib bin Abi Tsabit yang dikenal seorang mudallis, maka tidak perlu dikhawatirkan karena terdapata mutaba’ah dari riwayat yang dikeluarkan Imam Thabrani(Al-Mu’jam Ash-Shaghir lith-Thabrani no. 152). Perhatikan riwayat yang dikeluarkan Imam thabrani yang berkata :
152 - حدثنا أحمد بن زهير التستري أبو حفص، حدثنا أحمد بن محمد بن عاصم الرازي، حدثنا إسحاق بن سليمان الرازي ، حدثنا المفضل بن صدقة أبو حماد الحنفي ، عن أبي إسحاق عن أبي الهياج الأسدي قال : بعثني علي بن أبي طالب فقال : أتدري على ما أبعثك ؟ أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : « لا تدع تمثالا إلا كسرته ولا قبرا مسنما إلا سويته »
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al-Tusturi Abu Hafsh, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ashim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Mufadhdhal bin Shadaqah Abu hamad Al-Hanafi, dari Abu Ishaq dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata:”Ali bin Abi Thalib telah mengutusku yang mana beliau berkata:”Tahukah engkau atas apa yang aku utus engkau kepadanya? Aku mengutusmu atas apa yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa alihi wasallam telah mengutusku kepadanya, beliau berkata :”Janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir lith-Thabrani no. 152, juz 3, hal. 4)
Seluruh perawi riwayat tersebut Tsiqah kecuali Al-Mufadhdhal bin Shadaqah Abu Hamad Al-Hanafi yang dinyatakan Imam Daruquthni statusnya Laysya bil-qawi(tidak kuat). Namun kelemahan pada Al-Mufadhdhal, hal ini tidaklah membahayakan karena terdapat riwayat syahid(penguat) yang dikeluarkan oleh Ibnu Syaibah sebagai berikut:
Ibnu Syaibah berkata :
حدثنا محمد بن عن أشعث عن سعيد بن عمرو بن أشوع عن حنش بن المعتمر الكناني قال دخل علي على صاحب شرطة فقال انطلق فلا تدع زخرفا إلا ألقيته ولاقبرا إلا سويته ثم دعاء فقال هل تدري إلى أين بعثتك إلى ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari Asy’at, dari Sa’id bin Amru bin Asywa’, dari hanasy bin Al-Mu’tamar Al-Kinani yang berkata : Ali menemui seorang prajurit maka beliau berkata : berangkatlah kalian ! janganlah kalian biarkan hiasan(gambar) kecuali engkau lemparkan(hapus) dan jangan kamu biarkan kuburan kecuali engkau ratakan!”Lalu beliau menyeru sambil bertanya :”Apakah kamu mengetahui kemanakah aku mengutusmu. Aku mengutusmu kepada apa yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengutusku karenanya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/222)
Sebagian besar perawinya adalah orang-orang yang dapat diterima hafalnya sekaligus berpandangan tasayyu’(mengutamakan Ali di atas Utsman dan tetap sepakat akan keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas seluruh sahabat radhiyallahu’anhum). Adapun komentar Imam Bukhari “mutakallamun fiihi”(terdapat pembicaraan mengenainya) terhadap status Hanasy bin Al-Mu’tamar tidaklah membahayakan riwayat ini karena saling menguatkan dengan riwayat sebelumnya dan riwayat berikut ini dari Imam Thiyalisi.
Imam Thayalisi berkata :
96 - حدثنا شعبة ، عن الحكم ، عن رجل ، من أهل البصرة ، ويكنونه أهل البصرة أبا المورع ، وأهل الكوفة يكنونه ، بأبي محمد ، وكان من هذيل ، عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فقال : « أيكم يأتي المدينة فلا يدع (1) فيها وثنا (2) إلا كسره ولا صورة إلا لطخها ، ولا قبرا إلا سواه ؟ » فقام رجل من القوم فقال : يا رسول الله أنا فانطلق الرجل فكأنه هاب (3) أهل المدينة فرجع فانطلق علي رضي الله عنه فرجع فقال : ما أتيتك يا رسول الله حتى لم أدع فيها وثنا إلا كسرته ، ولا قبرا إلا سويته ، ولا صورة إلا لطختها فقال النبي صلى الله عليه وسلم : « من عاد لصنعة شيء منها » ، فقال فيه قولا شديدا ، وقال لعلي : « لا تكن فتانا ولا مختالا (4) ولا تاجرا إلا تاجر خير فإن أولئك المسبوقون في العمل »
“Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al-Hakam dari sesorang ahli Basrah – yang mempunyai julukan ahli basrah adalah Abu Al-Mawri’ dan Ahli Kufah adalah julukan bagi Abu Muhammad dan ia adalah dari Hudzail- dari Ali bin Abi Thalib yang berkata :”Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam biasa menghadiri jenazah. Maka beliau bersabda:”Siapakah dari kalian yang datang ke madinah maka ia tidak membiarkan berhala kecuali ia hancurkan, tidak juga gambar kecuali ia hapus dan tidak juga kuburan kecuali ia ratakan?” Maka berdirilah seseorang sambil berkata :”Wahai Rasulullah sayalah orangnya.” Lalu orang itu pergi seolah-olah ia seorang yang takut kepada penduduk madinah maka ia kembali, sehingga Ali pun yang pergi dan kemabali lagi sambil berkata:”Tidaklah aku datang kepada engkau ya Rasulullah hingga aku tidak membiarkan berhala di dalam madinah kecuali aku hancurkan, tidak juga kuburan kecuali aku ratakan, dan tidak juga gambar kecuali aku hapuskan.” Maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam:”Siapa yang kembali melakukakan tugas itu.” Maka beliau bersabda:”Di dalamnya terdapat perkataan yang kuat.” Dan beliau bersabda kepada Ali:” janganlah engkau menjadi pencuri, tidak juga sombong dan tidak juga pedagang kecuali menjadi pedagang yang baik. Maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dikalahkan dalam beramal.”(Musnad Ath-Thiyalisi no. 96)
Dalam sanadnya terdapat Al-hakam bin Utaybah Al-Kindi dan ia seorang tsiqah tsabat lagih faqih namun kadang kala ia mudallis sebagaimana yang dinyatakan Ibnu hajar Al-Asqalani. Namun ia mudallis pada tingkat kedua yaitu orang yang bertadlis dari para Imam (yang tsiqah) dan para Imam ahli hadits mengeluarkan haditsnya di dalam kitab shahih karena keimamannya, dan sangat sedikit bertadlis seperti Sufyan Ats-Tsauri atau tidak bertadlis kecuali riwayat dari orang-orang yang tsiqah seperti Ibnu Uyainah (Lihat Thabaqat Al-Mudallisin, Ibnu hajar Al-Asqalani hal. 13)
Maka ‘an’anah dari Al-Hakam bin Utaybah tidaklah membahayakkan riwayatnya untuk ditolak. Begitupula Majhul atau mastur hal(tidak diketahui keadilan agama seorang perawi) dari Abi Muhammad atau Abu Al-Mawri’ tidak membahayakan kondisinya karena telah dikuatkan oleh jalur-jalur riwayat sebelumnya.(Lihat Syarah Al-Ushuul min Ilmi Al-Ushuul, Syaikh muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 389)
Maka hadits yang kita bicarakan statusnya shahih.(titik wahai pengingkar!!!)
Sekarang engkau wahai syiah rawafidh beserta para pendeta kalian, mengikuti madzhabnya siapa? Apakah Madzhabnya Ahli Bait ? jelas  tidak ! Pemimpin ahli bait sepeninggal Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yaitu Amirul mukminin Ali bin abi Thalib radhiyallahu’anhu bersama kami dalam permasalahan ini.......mau kemana lagi kalian berjalan wahai orang-orang sesat?
Dan ternyata pembesar mereka Abu ja’far Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini Ar-Razi di dalam kitabnya Al-Ushuul min Al-Kafi meriwayatkan riwayat yang serupa. Dia berkata :
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنِ ابْنِ الْقَدَّاحِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ( عليه السلام ) بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فِي هَدْمِ الْقُبُورِ وَ كَسْرِ الصُّوَرِ .
”dari para sahabat kami, dari Sahal bin Ziyad, dari Ja’far bin Muhammad Al-Asy’ari dari Ibnu Al-Qaddah dari Abu abdillah(alaihissallam) ia berkata :”telah berkata Amirul Mukminin (‘alaihissalaam) :” Rasulullah shallallhu’alaihiwasallam telah mengutusku untuk menghancurkan kuburan dan merusak gambar-gambar.(Al-Ushuul min Al-Kafi,  6/752)
Dan ia juga mengeluarkan riwayat :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّوْفَلِيِّ عَنِ السَّكُونِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ( عليه السلام ) بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) إِلَى الْمَدِينَةِ فَقَالَ لَا تَدَعْ صُورَةً إِلَّا مَحَوْتَهَا وَ لَا قَبْراً إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَ لَا كَلْباً إِلَّا قَتَلْتَهُ .
Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari An-Nawfali dari As-Sakuni dari Abu Abdillah(‘Alaihissalaam) berkata:”Berkata Amirul Mukminin(‘alaihissalaam):”Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa alihi) mengutusku ke madinah. Beliau bersabda :”Janganlah engkau biarkan gambar kecuali engkau hapus, tidak juga kuburan kecuali engkau ratakan, dan tidak juga anjing kecuali engkau bunuh.” .(Al-Ushuul min Al-Kafi,  6/753)
Walaupun al-majlisi dan Bahbudi menyatakan riwayat –riwayat ini dhaif  dari sisi para perawinya dan kami pun sepakat dengan pendapat mereka dalam jalur riwayat yang dikeluarkan Al-Kulaini ini, namun hal itu tidaklah berpengaruh dengan riwayat-riwayat dari Ahlus-Sunnah mengenai hadits tersebut. Setidaknya hal ini sebagai jeweran bagi mereka bahwa hadits ini ada di dalam kitab kaum syiah rafidhah yang keshahihannya mereka bisa dapatkan dalam kitab-kitab hadits ahlus sunnah.
Jadi tetaplah kebodohan Ja’far As-Subhani tidak dapat melemahkan hadits ini. 
Jelaslah perintah Rasulullah kepada Ali tersebut menunjukkan haramnya membiarkan atau meninggikan kuburan lebih dari yang ditentukan yaitu sejengkal apalagi sampai membangun nissan atau kubah makam.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحد، ونصب اللبن نصبا، ورفع قبره من الارض نحوا من شبر
”Bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam dibuatkan lubang lahad baginya, dan ditegakkan batu pada kuburannya, dan ditinggikan sejengkal kuburannya dari permukaan tanah.”(HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2160, dan Bayhaqi (3/410) dan sanadnya hasan.)
Dan yang dimaksud larangan ini bukan saja tingginya gundukan tanah kuburan namun juga peninggian sesuatu di atas kuburan entahkah dari tanah, batu, semen ataupun kayu karena tidak adanya pembatasan jenis zat yang dilarang tersebut. Termasuk juga nisan dan kubah.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر، وأن يقعد عليه، وأن يبى عليه، [ أو يزاد عليه ]، [ أو يكتب عليه ]
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, duduk diatasnya, membangun di atasnya[ atau menambahnya],[atau ditulis padanya].”
(HR. Muslim (3/62), Abu Dawud (2/71), Nasaai (1/284, 285, 286), Tirmidzi (2/155) dan ia menshahihkannya, Hakim(1/370), Bayhaqi (4/4) dan Ahmad (3/295, 332, 339.399). Imam Nawawi menyatakan sanad hadits ini shahih)
Dan Pembesar ulama Syiah yaitu Al-Huli di dalam kitabnya An-Nihayah meriwayatkan :
إن النبي صلى الله عليه وآله وسلم نهى أن يجصص القبر أو يبنى عليه أو يكتب عليه لأنه من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
”Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, membangun di atasnya, atau ditulis padanya karena hal itu merupakan hiasan dunia yang tidak dibutuhkan bagi mayat.”
Begitu pula dalam “Wasail Asy-Syi’ah”  dalam bab pengkuburan, dan Syaikh Ath-Thusyi di dalam “At-Tahdzib” dari Ali bin Ja’far bahwasannya ia berkata :
سألت أبا الحسن الموسوي عليه السلام عن البناء على القبر والجلوس عليه هل يصلح؟ قال : لا يصلح البناء عليه ولا الجلوس ولا جصيصه ولا تطيينه
“Aku bertanya kepada Abul Hasan Al-Musawi ‘alaihiwassalaam mengenai membangun di atas kuburan dan duduk di atasnya apakah merupakan hal baik? Maka beliau menjawab :”Tidak pantas untuk di bangun diatasnya dan duduk di atasnya, serta mengkapuri dan melumurinya.”
Andaikata bukan lelahnya saya menulis tentu akan saya tampilkan riwayat-riwayat mereka kaum syiah rawafidh yang cukup banyak yang menyepakati pendapat ahlus sunnah mengenai larangan membangun di atas kuburan.(silahkan lihat selengkapnya di kitab “Tadhadh Mafatih Al-Jinan Ma’a Ayy Al-Quran karangan Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Abul Fadhil bin Ridha Al-Barqai Al-Qumi, beliau seorang ulama syiah yang telah kembali kepada ajaran Rasulullah dan ahli baitnya yang lurus di atas manhaj ahlus sunnah. Silahkan di download kitab beliau : http://alburhan.com/upload/attach_files/tadad-mfateeh-aljenan-maa-aay-alquraan.rar )
Dari Sufyan At-Tamar :
رأيت قبر النبي صلى الله عليه وسلم (وقبر أبي بكر وعمر) مسنما
“Aku melihat kubur Nabi shallallahu’alaihi wasallam (dan kubur Abu Bakar dan Umar) dalam bentuk gundukan(seperti punuk unta)”
(HR. Bukhari no. 1302, dan Al-Bayhaqi, 4/3, dan terdapat lafazh tambahan dari riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Nu’aim di Al-Mustakhraj)
Maksud musannam(gundukan tanah seperti punuk unta) dari kuburan Nabi adalah ditinggikan sebatas sejengkal saja, sebagaimana hadits sebelumnya.
Sehingga Imam Ibnu Hazm menyimpulkan dengan menyatakan :
ولا يحل أن يبنى القبر، ولا أن يجصص، ولا أن يزاد على ترابه شئ ويهدم كل ذلك
“Dan tidak dihalalkan untuk membangun kuburan, dan tidak juga mengkapurinya(mencat) dan tidak juga menambah sesuatu di atas tanahnya dan harus dihancurkan seluruhnya.”
(Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 5/33)
Syubhat :
Salah seorang sahabat kami di Poso yang telah terkena syubuhat syiah rawafidh membantah kami dengan pernyataan :
“Satu hal lagi, telah disepakati oleh semua ahli sejarah bahwa Setelah Nabi saww wafat, beliau dimakamkan di kamarnya. Kalau memang benar membuat bangunan kuburan itu haram, maka sudah seharusnya para shahabat ketika itu menghancurkan dulu kamar tersebut sebelum melakukan pemakaman. Sebab, sesuai dengan fatwa para ulama Wahhabi, bangunan kuburan itu seperti berhala.
Karena itu, bukankah tidak ada bedanya antara menguburkan mayat di dalam bangunan atau membangun bangunannya setelah penguburan. Bangunan kuburan Nabi saww sudah dibuat sejak awal pemakaman beliau dan sampai sekarang bangunan itu tetap ada. Begitu pula kubah yang ada di atasnya.”
Bantahan :
Sungguh mudah menjawab syubuhat ini bagi orang-orang yang mengikuti manhaj Nubuwwah Ahlis Sunnah.
Yang menjadi pertanyaan pertama mengapa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di kubur di kamar Aisyah bukan di pekuburan sahabat beliau di Baqi’? padahal di kuburkannya jenazah seorang muslim di pekuburan kaum muslimin adalah lebih utama dibandingkan dikuburkan ditempat tersendiri. Hal ini karena  Nabi shallallahu’alaihiwasallam biasa menguburkan para sahabat beliau di Baqi’ yang tentunya lebih utama untuk diikuti dibandingkan perbuatan orang lain dan akan mendapatkan keutamaan doa para penziarah.
Ada dua alasan di kuburkannya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di Kamar rumah Ibu kami Ibu orang-orang yang beriman Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha :
Yang pertama, karena para sahabat mengkhususkan beliau berdasarkan riwayat –riwayat hadits yang bertema :
يدفن الأنبياء حيث يموتون
“Dikuburkannya Para Nabi ditempat mereka wafat”
Seperti riwayat dari Abu Bakar radhiyallahu’anhu yang Berkata bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda :
إن الأنبياء يقبرون حيث يقبضون
 “Sesunggunhnya Para Nabi dikuburkan ditempat ia wafat.”(Sirah Ibnu Hisyam 4/1303)
Riwayat serupa banyak sekali jalan-jalanya. Silahkan dilihat di dalam kitab Riyadhul Jannah karangan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 255-260 silahkan di download kitab tersebut di : http://www.ajurry.com/vb/attachment.php?attachmentid=18832&d=1330417443
Berdasarkan riwayat tersebut beliau shallallahu’alaihiwasallam dikuburkan di tempat beliau menghembuskan nafas terakhir di dada Aisyah radhiyallahu’anha di kamar Aisyah itu sendiri tepat di bawah tempat tidur beliau dan Aisyah .
Yang kedua, karena berdasarkan isyarat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di dalam hadits riwayat Ibunda kami  Aisyah radhiyallahu’anha berikut ini ia berkata :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
قَالَتْ عَائِشَةُ لَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبرُهُ خَشِيَ أَنْ يتَّخَذَ مَسْجِدًا
 “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam ketika beliau sakit sehingga tidak bisa bangun dari tidurnya bersabda :
“Semoga laknat Allah jatuh kepada orang-orang yahudi karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid.”
Berkata Aisyah : “jikalau bukan karena hal itu tentulah akan ditampakkan kuburan beliau, akan tetapi  beliau khawatir kuburannya akan di jadikan masjid.”
(HR. Bukhari (3/156, 198, dan 8/114), Ahmad (6/80, 121 dan 255) dan masih terdapat jalur-jalur lainnya.)
Perkataan ibunda kami Aisyah radhiyallahu’anha :
لَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قبرُهُ خَشِيَ أَنْ يتَّخَذَ مَسْجِدًا
“jikalau bukan karena hal itu tentu akan ditampakkan kuburan beliau, akan tetapi  beliau khawatir kuburannya akan di jadikan masjid.”
Kata أُبْرِزَ berarti ditampakan kuburan beliau shallallahu’alaihiwasallam dan tidak ada penghalang berupa dinding padanya. Sehingga yang dimaksud darinya kuburan tersebut berada diluar rumah beliau atau diluar kamar Aisyah sebagaimana yang diterangkan dalam Fath Al-Bari karangan Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Jadi keberadaan “dinding kamar Aisyah” tersebut merupakan alasan yang kuat untuk memenuhi perintah Rasulullah menjaga kuburan beliau jangan sampaikan dijadikan masjid maupun tempat perayaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sejelek-jelek Makhluk dari kalangan Yahudi dan Nasrani sehingga mendatangkan laknat atas pelakunya.
Yang dimaksud masjid bukanlah sebatas bangunan namun bermakna segala tempat yang dijadikan tempat sujud atau shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam :
الأرض كلّها مسجد إلا المقبرة والحمّام
“Bumi itu seluruhnya masjid kecuali area kuburan dan area kamar mandi.”(Hadits shahi yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Kata المقبرة berarti area pekuburan bukan sebatas kuburannya saja. Yang dimaksud membuat kuburan menjadi masjid terdiri dari tiga bentuk segi:
Segi pertama : Sujud di atas atau di area kuburan yaitu menjadikan kuburan sebagai tempat sujud.
Segi Kedua : Shalat menghadap kubur.
Segi ketiga : membangun bangunan yang tentunya walaupun tidak diperuntukan untuk masjid akan tetapi tetap akan dijadikan para penziarah sebagai tempat shalat diarea bangunan pekuburan tersebut dalam rangka mencari berkah sehingga hal itu tetap menjadi kategori masjid.
Dan telah kita lihat fenomena pembangunan Kubah kuburan menyebabkan kuburan tersebut menjadi masjid atau penziarah shalat di dalamnya. Maka inilah hikmah Sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر، وأن يقعد عليه، وأن يبنى عليه، [ أو يزاد عليه ]، [ أو يكتب عليه ]
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang mengkapuri(mencat) kuburan, duduk diatasnya, membangun di atasnya[ atau menambahnya],[atau ditulis padanya].”
(HR. Muslim (3/62), dan selain beliau. Imam Nawawi menyatakan sanad hadits ini shahih)
Kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam berada di dalam kamar ‘Aisyah, menjadikan Aisyah sebagai orang yang berhak memberi izin kepada siapa yang ia kehendaki untuk melihat kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam karena dialah pemilik kamar atau rumah tersebut. Sehingga didalam kamar atau rumah Aisyah tersebut terdapat dua bagian yaitu bagian area kuburan nabi dan bagian area tempat tinggalnya.
Sedangkan Ibunda Aisyah membuat dinding di kamarnya yang memisahkan antara tempat tinggalnya dengan area kuburan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sebagaimana yang dinyatakan di dalam At-Tahmid Syarah Kitab Tauhid oleh Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Syaikh :
وقد قبل الصحابةرضوان الله عليهم- وصية رسول اللهصلى الله عليه وسلم- وعملوا بها، فدفنوه في مكانه الذي قُبض فيه، في حجرة عائشة، وكانترضي الله عنها- قد أقامت جداراً بينها وبين القبور، فكانت غرفة عائشة فيها قسمان: قسم القبر، وقسم هي فيه.
وكذلك لما توفي أبو بكررضي الله عنه- ودفن بعد رسول اللهصلى الله عليه وسلممن جهة الشمال، كانت أيضاً في ذلك الجزء من الحجرة، ولما دفن عمررضي الله عنه- تركت الحجرةرضي الله عنها- ثم أغلقت الحجرة، فلم يكن ثَمَّ باب فيها يدخل منه إليها، وإنما كانت فيها نافذة صغيرة، ولم تكن الغرفةكما هو معلوم- مبنية من حجر، ولا من بناء مجصص، وإنما كانت من البناء الذي كان في عهده عليه الصلاة والسلام من خشب ونحو ذلك.
“Para sahabat radhiyallahu’anhum telah menerima wasiat dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan mereka melaksanakannya, maka mereka menguburkan Nabi shallallahu’alaihiwasallam di tempat beliau diwafatkan, yaitu di kamar Aisyah radhiyallahu’anha. ‘Aisyah radhiyallahu’anha mendirikan sebuah dinding antara dia dengan kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam maka pada kamar ‘Aisyah radhiyallahu’anha terdapat dua bagian, satu bagian di dalamnya terdapat kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan satu bagian lagi untuk tempat tinggalnya.
Demikian pula tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu wafat, beliau dikuburkan juga di dalam kamar ‘Aisyah radhiyallahu’anha pada sisi bagian selatan. Maka tatkala Umar radhiyallahu’anhu dikuburkan di kamar itu juga, ‘Aisyah radhiyallahu’anha meninggalkan kamar tersebut, kemudian ditutuplah kamar itu. Dan tidak ada padanya pintu yang dapat dimasuki melaluinya, hanya padanya terdapat jendela kecil, dan tidak juga kamar tersebut dibangun dari batu sebagaimana yang telah diketahui. Tidak juga diwarnai, hanya sanya dibangun kamar tersebut dizaman Nabi shalaatu wassalaam mengunakan kayu dan semisalnya.”( At-Tahmid Syarah Kitab Tauhid hal. 260)
Dari pernyataan tersebut nampaklah bahwa ‘Aisyah menghukumi bagian kamar yang terdapat padanya kubur Nabi adalah termasuk area pekuburan yang dilarang dilakukan shalat padanya sedangkan bagian kamar yang ditembok memisahkan dari kubur Nabi adalah rumah tinggalnya yang diperbolehkan shalat di dalamnya. Dan ‘Aisyah adalah orang yang paling mengerti hadits-hadits mengenai larangan shalat di pekuburan atau laknat dan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid karena dialah salah satu perawi dari hadits-hadits tersebut. 
Sebagaimana kaedah menyatakan ;
الراوي أعلم بما روى
“Periwayat Hadits lebih memahami apa yang ia riwayatkan”
Lalu saya tambahkan pernyataan Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi yang menyatakan :
Kemudian saya peringatkan antum terhadap beberapa perkara:
Sesungguhnya bangunan yang ada di atas kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam bukanlah bangunan yang didirikan di atas kuburan, karena asal bangunan tersebut sudah ada sebelum Nabi shallallahu’alaihiwasallam dikuburkan di bawahnya, yaitu bangunan kamar `Aisyah radhiyallahu’anha. Jadi, bangunan yang ada di atas kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam tidaklah dengan niat membangun kuburan Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karena masalah bangunan tersebut sudah ada.”
(Konsultasi Agama dan Keluarga Bersama Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi, Majalah Qiblati edisi 03 tahun III bulan Desember 2007 M/Dzulqa’dah 1428H, hal. 55)
Sehingga pernyataan :
“Kalau memang benar membuat bangunan kuburan itu haram, maka sudah seharusnya para shahabat ketika itu menghancurkan dulu kamar tersebut sebelum melakukan pemakaman.”
Merupakan pernyataan yang berasal dari orang yang tidak mengetahui isi dari dua alasan di atas yang berasal dari riwayat-riwayat sejarah mengenai keputusan sahabat menguburkan Rasul di kamar Aisyah yang tertutup dari pandangan demi menghalangi perbuatan orang-orang yang dikemudian hari untuk melakukan shalat di kubur Nabi.
Adapun syubuhat :
Mengenai bangunan pada kuburan Nabi saww, Pertama kalinya, ketika Nabi saww wafat dan dimakamkan di rumah beliau, di kuburannya itu tidak memiliki tembok. Lalu pertama kali orang yang membuatkan temboknya adalah Umar bin Khaththab, antum harus lebih giat membaca sejarah ya akhy,jangan hanya baca arrahmah.com terus

merupakan syubuhat dari orang-orang yang tidak mengerti secara jelas kondisi sejarah kuburan Nabi. padahal kamar Aisyah merupakan dalil yang jelas bahwa kuburan Nabi telah tertutupi dengan dinding sehingga tidak dapat nampak dari luar kamar. Adapun kebingungan dari pemilik syubuhat adalah mengenai perbuatan Umar radhiyallahu’anhu membuat tembok dinding pada rumah nabi shallallahu’alaihi wasalam.  
Berkata Ibnu Sa’id di dalam Ath-Thabaqat juz 2 hal. 7 bagian kedua :
أخبرنا يحي بن عباد حدثنا حماد بن زيد سمعت عمرو بن دينار وعبيد الله بن أبي يزيد قالا : لم يكن على عهد رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم على بيت النبي حائط فكان أول من بنى عليه جدارا عمر بن الخطاب, قال عبيد الله بن أبي يزيد : كان جداره قصيرا, ثم بناه عبد الله بن الزبير بعد وزاد فيه
“Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin ‘Ibaad, telah menceritakan kepada kami Hamaad bin Zaid, aku mendengar Amru bin Dinar dan Ubaidillah bin Abi Yazid mereka berdua berkata: “sebelumnya dizaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa alihi wasallam tidak terdapat dinding pada rumah Nabi. Maka orang yang pertama kali membangun dinding adalah Umar bin Al-Khathab. “Berkata Ubaidillah bin Abi Yazid : Sebelumya diding tersebut pendek lalu dibangun lagi oleh Abdullah bin Zubairsetelah ia menambahnya.”
Dinding yang manakah yang dimaksud? Dinding yang menutupi kuburan nabi atau dinding yang menutupi Rumah Nabi? Jelas dinding yang dimaksud adalah dinding yang menutupi rumah Nabi sebagai pembatas antara Kamar Aisyah dengan daerah luarnya. Sedangkan pada saat itu Aisyah masih menempati rumah tersebut. Jadi alasan apakah yang dilakukan Umar. Jelas alasan beliau masih dalam rangka menjaga wasiat Rasulullah untuk menjaga kuburan jangan sampai menjadi tempat shalat. Walaupun akhirnya dinding yang dibangun Umar menjadi dinding pengganti dari dinding kamar Aisyah yang telah usang, yang di dalamnya terdapat kubur Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dan saat ini dinding yang mengelilingi Kamar Aisyah tersebut menjadi tiga dinding. Dinding pertama tertutup sempurna dan ia merupakan dinding kamar Aisyah, Dinding kedua, dibuat pada masa gubernur Umar bin Abdil Aziz rahimahullah di zaman Walid bin Abdil Malik. Dan mereka membuatnya dari sisi selatan yang berlawanan dengan arah kiblat. Karena arah tersebut terjadi perluasan. Mereka takut jangan sampai dinding menjadi segi empat. Menghadap kiblat. Sehingga ditakutkan seseorang bila menghadap kiblat shalat akan menghadap kuburan maka itu mereka membuat menjadi bentuk segi tiga yang menjauh dari dinding pertama. yang tentunya seseorang tidak akan bisa menghadap shalat kearahnya. Lalu dibuat lagi dinding ketiga sehingga makin menjauhlah kuburan Nabi dari area masjid. Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan doa Nabi-Nya yang berdoa :
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah dijadikan kuburanku ini berhala yang disembah, Allah sungguh murka terhadap kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
(Shahih dikeluarkan Imam Malik dalam Al-Muwatha no.376) 
Jadi pembangunan dinding ini khusus melaksankan wasiat Nabi untuk terhindar kuburnya dari di jadikan berhala. Dan sifatnya bukan membangun bangunan di atas kuburan yang dilarang oleh Nabi sendiri. Pahamilah jangan sampai engkau dijerumuskan syetan rafidhah.
Hal ini berbeda sekali dengan kaum rawafidh yang mereka membangun di atas kuburan para pembesar mereka bukan dalam rangka menutupi pintu kesyirikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan wasiat Rasul namun mereka malah menjadi nya sebagai tempat ibadah dengan tujuan bertabaruk kepada mayat.
Mungkin masih ada pertanyaan mengapa Abu Bakar dan Umar diperbolehkan pula dikuburkan di area kubur Nabi di dalam kamar Aisyah?
Jawabannya mudah. Kamar Aisyah yang menjadi area kuburan nabi dihukumi sebagai area kuburan yang diperbolehkan bagi siapapun atas izin Ibunda Aisyah untuk dikubur di dalamnya. Dan tidak perlu dinding kamar Aisyah yang menutupi area kuburan nabi dirobohkan walaupun terdapat orang lain selain Nabi yang dikuburkan di dalamnya. Hal ini karena terdapatnya wasiat Nabi tersebut mengenai usaha pencegahan jangan sampai kuburan beliau di jadikan masjid.
Dan ini merupakan kebenaran dari mimpi Aisyah radhiyallahu’anha, Imam Al-Bayhaqi meriwayatkan  :
 عن سفيان بن عيينة ، عن يحيى بن سعيد ، عن سعيد بن المسيب قال : عرضت عائشة على أبيها رؤيا ، وكان أعبر الناس قالت : رأيت ثلاثة أقمار وقعن في حجري فقال : إن صدقت رؤياك دفن في بيتك ، خير أهل الأرض ثلاثة ، فلما قبض النبي صلى الله عليه وسلم قال : يا عائشة هذا خير أقمارك
“dari Sufyan bin Uyainah dari Yahya bin Said al-Anshari dari Said bin Al-Musayyib berkata :”Aisyah menyampaikan mimipinya kepada Ayahnya (Abu bakar ash-Shidiq), dan ayahnya adalah seorang yang paling mengerti tafsir mimpi, Aisyah berkata :”Aku melihat tiga buah bulan berada di kamarku.” Berkata Ayahnya :”jikalau mimpimu benar  maka akan dikuburkan tiga orang yang terbaik dibumi ini di dalam rumahmu.”Tatakala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam wafat, Ayahnya berkata :” Ya Aisyah, inilah dia sebaik-baik bulan tersebut.”(HR. Al-Bayhaqi dalam Dalail An-Nubuwah no. 3237)
sehingga yang dimaksud dengan dua bulan sisanya  adalah ayahnya sendiri yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar Al-Faruq radhiyallahu’anhuma. Dan benarlah mimpi tersebut dengan dikuburkanya Abu Bakar dan Umar di dalamnya.
Mengenai kubah yang terdapat di atas makam Nabi shallallahu’alaihiwasallam saya kira tidak perlu menjelaskannya lagi cukup anda baca ulang kembali sejarah pembangunannya dan hukum menghancurkannya dari tulisan-tulisan ahlus sunnah yang terdapat di dunia maya. Seperti : Rahsia Kubah Hijau Masjid Nabi dan semisalnya.
Adapun kubah tersebut masih tetap berdiri bukan karena disyariatkan dalam agama namun karena banyak banyak masyrakat muslim yang memuliakan kubah tersebut tanpa dasar dalil kitab maupun sunnah dan mereka belum mengerti haramnya kubah tersebut dibangun sehingga malah mendatangkan mudharat yang besar maka penghancuran kubah itu ditunda sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengenai penundaan perubahan bentuk Ka’bah kembali ke pola bangunan di zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam :
يَا عَائِشَةَ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ

"Wahai, 'Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka'bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim". [Muttafaqun 'alaih]


BRIGADE PEMBUNGKAM MULUT SYIAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar