Berpegang Kepada
Kitab Allah dan Sunnah Nabi
Membongkar Makar Busuk syiah
rafidhah
(Hadiah ‘Iedul Adha bagi Singa-singa
Ahlus Sunnah Malaysia)
Bagian Pertama
(Part 1)
Abu Haura Ahmad Junayd bin Ahmad
Dzulkifli
(Jun Lab)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و أصحابه أجمعين
Merupakan perkara aneh pada akhir-akhir ini, di mana kita melihat
bersemangatnya para syetan Syiah Rafidhah membahas takhrij dan tahqiq
dari sanad-sanad riwayat hadits yang berasal dari kitab-kitab induk
Ahlus Sunnah. Padahal kaum syiah terkenal atau masyhur dengan acuh tak acuhnya
atau masa bodohnya mereka terhadap ilmu riwayat hadits. Hal ini bisa ditemukan
dalam kitab-kitab mereka yang penuh dengan riwayat palsu dan lemah yang mereka
nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam atau kepada Ahli
Bait radhiyallahu’anhum.
Sudah bukan rahasia umum lagi, pada dasarnya ilmu riwayat hadits
berasal dari kaum Ahlus Sunnah atau Sunni. Sedangkan kaum syiah rafidhah
tertinggal jauh dalam mempelajarinya. Mereka sendiri sebenarnya hanya mencuri
ilmu hadits dari ahlus sunnah. Sehingga mereka tidak memiliki sedikitpun jasa
dalam membangun ilmu hadits ini. Berkata pendeta mereka Al-Ha’iriy dalam
kitabnya :”Muqtabsul Atsar (3/73), :
”Termasuk informasi yang tidak diragukan oleh seorangpun, yaitu
tidak pernah disusun ilmu dirayatul hadits dari ulama-ulama kita (syi’ah
rafidhah-pen) sebelum asy-Syahid ats-Tsaniy.”
Yang dimaksud dengan asy-Syahid ats-Tsaniy adalah Zainuddin
al-‘Amiliy (mati tahun 965 H). Dan mereka mempelajari ilmu hadits terjadi
tatkala kepalsuan mereka tersingkap. Maka itulah kerusakan pada buku-buku
mereka yang dipenuhi riwayat palsu dan dusta serta lemah merupakan perkara yang
mahsyur(populer).
Yang menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa mereka bersemangat
membahas ilmu riwayat hadits dengan fokus(focus) pembahasan pada
riwayat-riwayat hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab riwayat hadits ahlus
sunnah?”.
Jawabannya mudah. Pada hakikatnya mereka merasa buku-buku karangan
para pendeta dan syetan mereka tidak akan laku atau tidak diminati oleh
kalangan sunni dikarenakan hujjah-hujjah mereka berasal dari riwayat-riwayat
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Lalu dengan
mempergunakan sedikit keahlian dalam ilmu riwayat hadits yang telah mereka
contek (plagiarize) dari ulama ahli hadits dari kaum ahlus sunnah,
mereka membuat tipu muslihat (trickery) untuk menguatkan kesesatan agama
syiah rafidhah mereka.
Salah satu tipu muslihat mereka adalah menolak riwayat hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam
yang berbunyi :
إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua
perkara, yang mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh
keduanya, yaitu : kitab Allah dan sunnahku, keduanya tidak akan pernah berpisah hingga kembali
kepadaku di haudh(telaga kautsar).”
Mereka bergembira sekali tatkala menemukan bahwa pada thuruq(jalur/jalan
para perawi) terdapat perawi yang dhaif (lemah). Dan tidak satupun ulama
ahli jarh wa ta’dil ahlus sunnah yang menyatakan tsiqah(kuat)-nya
para perawi yang lemah tersebut. Para pengikut Syiah rafidhah gembira sekali
dengan hal ini. Lalu mereka berusaha untuk membatasi keshahihan hanya pada
riwayat yang berbunyi :
وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ
فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ
فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي
أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ
بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Sesungguhnya aku akan
meninggalkan dua hal yang berat kepada kalian, yaitu: Pertama, Al-Qur 'an yang
berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan
peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al
Qur'an. Kedua, keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman
kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku." (HR. Muslim no. 4425)
Tujuan jahat mereka ini pada dasarnya ingin menyesatkan
kaum sunni dengan suatu kesimpulan bahwa ahli bait adalah pedoman hidup (way
of life) satu-satunya setelah Al-Quran. Sehingga berdasarkan ideologi agama
mereka yang sesat menyatakan bahwa barangsiapa yang menyelisihi ahli bait dalam
perkara apapun maka mereka adalah orang-orang sesat. Maksudnya para sahabat radhiyallahu’anhum
yang pernah berselisih dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
adalah orang-orang sesat. Bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka menyatakan
kafirnya para sahabat yang pernah berselisih dengan Ali -semoga Allah meridhai
mereka semua dan melaknati para pemeluk agama syiah rafidhah-. Sehingga setiap
sunnah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang disampaikan oleh para sahabat
Rasulullah radhiyallahu’anhum yang pernah berselisih dengan Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu’anhu adalah tertolak(mardud-مردود-) bila menyelisihi kesesatan mereka.
Cara mereka ini dengan metode berlebih-lebihan (غُلُو/إفْرَاط)
memuliakan Ahli bait hingga pada tingkat ketuhanan yang menyebabkan kesyirikan
pada satu sisi, dan menjatuhkan martabat sahabat lainnya hingga pada tingkat
pengkafiran terhadap para sahabat walaupun terhadap para sahabat yang masuk
dalam kategori sepuluh sahabat yang di beri kabar gembira dengan surga sebagai
tempat tinggalnya nanti di akhirat, merupakan cara politik belah bambu yang
tujuannya adalah mengadu domba para sahabat, di satu sisi bambu yang terbelah
di angkat, sedangkan bambu yang lain di injak.
Baiklah, karena saya telah berjanji untuk menjawab dan membantah
artikel yang berjudul ;
“Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” « Analisis
Pencari Kebenaran.
Maka dengan bertawakal dan mengharapkan taufik serta pertolongan
dari Allah, saya mencoba untuk memenuhi permintaan dari saudara kami
singa-singa Ahlus Sunnah Malaysia yang kami cintai –barakallahu fikum-.
Pembahasan ini akan saya bagi dua, yaitu ; pembahasan dari segi
sanad, dan pembahasan dari segi matan.
Namun sebelumnya saya ingin memberikan tambahan penjelasan bahwa
walaupun hadits yang berbunyi”Kitab Allah dan Sunnahku” tidak ada sama sekali,
atau tidak pernah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sabdakan atau
ucapkan (said) maka hal itu tidaklah mengugurkan (failed) atau
membatalkan kewajiban berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah Rasul di atas
pemahaman tiga generasi yang terbaik(sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in).
Apalagi hanya sebatas menyatakan hadits tersebut lemah.!!!!!!!
Mengapa begitu ??? Jawabnya, karena Al-Quran maupun Sunnah dan
Ijma’ umat Islam (ingat Syiah Rafidhah bukanlah bagian dari umat Islam),
menyatakan :”tidak mungkin Al-Quran dapat dilaksanakan/diamalkan(practice)
kecuali berdasarkan penjelasan dari As-Sunnah Rasulullah “ sebagaimana Allah
berfirman :
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan telah kami turunkan kepada mu (Muhammad) Al-Dzikra(Al-Quran)
agar engkau menjelaskan kepada manusia mengenai segala sesuatu (al-Quran) yang
telah diturunkan kepada mereka agar
mereka berfikir. “(QS. An-Nahl : 44)
Maka itulah tatkala Imam Besar Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah
pernah ditanya :
هذه الأحاديث الموضوعة؟ فقال : تعيش لها الجهابذة, (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ)
“Bagaimana
dengan hadits-hadits yang palsu ini ?” Maka beliau menjawab:”Hal itu merupakan
tugas para ahli hadits, (sebagaimana Allah berfirman) :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kamilah yang telah menurunkan Al-Dzikra(Al-Quran) dan sesungguhnya Kami pula
yang akan menjaganya (memeliharannya).”(Al-Baa’its Al-Hatsiist syarh
Ikhthishaar ‘Uluum Al-Hadiits lil Hafizh Ibni Katsir, dengan tahqiq dari Syaikhul
Hadits Al-Azhhar Ahmad Muhammad Syakir, hal. 72)
Maka
yang dimaksud bahwasannya Allah akan menjaga Al-Dzikra (Al-Quran), bukan
hanya sebatas menjaga Al-Quran, namun juga termasuk menjaga penjelasannya yaitu
as-Sunnah. Karena tidak akan mungkin Hujjah dari Al-Quran dapat tegak (إقامة الحجة) dengan sempurna kecuali dengan adanya
As-Sunnah. Ingatlah(remember) As-Sunnah adalah bagian dari wahyu Allah,
dimana Allah berfirman :
وَمَا ينْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
“Dan
tidaklah apa yang dia (Muhammad) ucapkan berasal dari hawa nafsunya, namun
ucapan itu tiada lain hanyalah berasal dari wahyu yang diwahyukan.”(QS. An-Najm
: 3-4)
Dan
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun menyatakan bahwa sabda yang
beliau ucapkan bagian dari wahyu yang diturunkan bersama Al-Quran, beliau
bersabda :
أَلَا إنّي أُوْتيْتُ الْقُرْآنَ وَمثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah bahwasannya
aku telah dianugerahi (give me) Al-Quran dan semisalnya(As-Sunnah) bersamanya.”(HR.
Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Hakim dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
Kesimpulannya,
As-Sunnah adalah way of life kedua setelah Al-Quran yang akan terjaga
hingga hari akhir yang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Karena itulah Allah
berfirman :
فَإِنْ تنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Maka jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’ : 59)
Jelas
kita tidak pernah menemukan satu ayatpun, yang menyatakan bila terdapat
perselisihan maka kembalikanlah pada para sahabat baik dari kalangan ahli bait
maupun yang bukan dari kalangan ahli bait sekalipun. Karena para sahabat -radhiyallahu’anhum
dan laknatullah bagi Rafidhah- tidak ma’sum(غير معصوم) yang terbebas dari kesalahan dan dosa.
Adapun perintah mengikuti para sahabat baik dari kalangan ahli bait maupun yang
bukan ahli bait adalah karena mereka mengikuti dan paling mengerti Al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Maka itulah Allah berfirman :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl : 43)
Dari
Firman Allah di atas, bahwasannya dasar seseorang diikuti adalah karena adanya
pengetahuan mereka yang lurus mengenai ilmu Allah dari Al-Quran maupun
As-Sunnah bukan karena Nasab( keturunannya).
Tidak
diragukan lagi kaum syiah rafidhah adalah kaum sesat lagi menyesatkan dan mereka
bukan bagian dari Umat Islam. Namun mereka adalah para pemeluk agama rafidhah
yang nabi mereka adalah Ibnu Saba’. Hal itu karena mereka telah memusuhi para
sahabat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan lebih mengutamakan
sabda Ibnu Saba’ untuk memusuhi para Sahabat Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam yang mana para sahabatlah pintu-pintu menuju
kebenaran Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena sahabatlah yang telah mengumpulkan
Al-Quran dan menyampaikan Sunnah Rasul. Maka memusuhi sahabat berarti memusuhi
Al-Quran dan Sunnah. Memusuhi sahabat berarti memusuhi agama ini. Memusuhi
sahabat berarti memusuhi Allah dan Rasul-Nya yang telah mempercayakan amanat
kebenaran Islam kepada mereka setelah wahyu terputus dengan wafatnya Baginda
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Selesai penjelasan tambahan ini.
Sekarang
saatnya saya akan membahas bagaimana kedudukan riwayat hadits yang berbunyi:
إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, yang
mana kalian tidak akan sesat selamanya dengan memegang teguh keduanya, yaitu :
kitab Allah dan sunnahku, keduanya tidak
akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di haudh(telaga kautsar).”
Lafazh
(text) riwayat di atas berasal dari riwayat Al-Hakim no. 291 dalam
Al-Mustadraknya. Selain itu riwayat yang serupa dapat ditemukan pada Sunan
Ad-Daruquthni, Sunan Al-Kubra Bayhaqi dan terdapat pula di dalam Al-Muwatha’
Imam Malik bin Annas secara Munqathi’ serta diriwayatkan pula dari Urwah bin
Zubair secara Mursal di dalam Sunan Al-Bayhaqi dan sebagainya (etc.).
Para
syetan Rafidhah berusaha untuk menolak riwayat tersebut dengan menyerang
beberapa perawi hadits tersebut seperti Shalih bin Musa Ath-Thalhi, Isma’il bin
Abdullah bin Abdullah bin Uwais (Ibnu Abi ‘Uwais) dan Ayahnya, Katsir bin Abdullah, dan Saif bin UmarAt-Tamimi.
Sekaligus mereka mempermasalahkan kemursalan riwayat ‘Urwah bin Zubair serta
munqathi’nya riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwatha’nya.
Untuk
memulai pembahasan, saya akan membahas kemursalan dari Urwah bin Az-Zubair bin
Al-‘Awwam radhiyallahu’anhu. Urwah bin Zubair adalah pembesar Tabi’in
(Kibarut-Tabi’in) yang banyak meriwayatkan hadits dari bibinya (khaalah/خالة) yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha,
dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Ummul Mukminin Ummu Habibah
radhiyallahu’anha, dari Ibunya Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu’anha, Abu
Hurayrah, Ibnu Abbas –radhyallahu’anhum- dan lainnya.
Dari
sini kita bisa mengetahui kebodohan dari para pendeta syiah rafidhah yang
langsung begitu saja melemahkan riwayat yang berasal dari Urwah bin Az-Zubair
ini semata-mata karena ketidaktahuan dari siapakah Urwah bin Az-Zubair
mendapatkan riwayat hadits ini.
Suatu
kebodohan untuk mendhaifkan atau melemahkan setiap riwayat yang mursal
tanpa memperhatikan pengecualian pada
beberapa keadaan.
Seperti
mursalnya riwayat Sa’id bin Al-Musayyib tidaklah menjadikan riwayat darinya
berlaku hukum ‘inqatha’ (terputus)
sebagaimana kebanyakan para perawi lainnya.
Berkata
Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi :
وَمَرَاسِيْلُ
سَعِيْدٍ مُحْتَجٌّ بِهَا............. قالَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلٍ، وَغَيْرُ
وَاحِدٍ: مُرْسَلاَتُ سَعِيْدِ بنِ المُسَيِّبِ صِحَاحٌ.
“Dan kemursalan Sa’id (bin Al-Musayyib) adalah
hujjah..........berkata Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya :”Kemursalan Sa’id bin
Al-Musayyib adalah shahih”.(Siiru A‘laam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 4/221-222)
Maka
itulah Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :
ومنقطع السند بجميع أقسامه مردود؛
للجهل بحال المحذوف, سوى ما يأتي :
1.
مرسل الصحابي.
2.
مرسل كبار التابعين عند كثير من أهل العلم, إذا عضده مرسل آخر, أو عمل
صحابي أو قياس.
3.
المعلّق إذا كان بصيغة الجزم في كتاب التزمت صحته ((كصحيح البخاري)).
4.
ما جاء متصلا من طريق آخر, وتمت فيه شروط القبول.
“Dan
munqathi’(keterputusan) sanad pada setiap bagiannya adalah tertolak, karena
ketidaktahuan terhadap kondisi rawi yang terhapus namanya, kecuali dalam
kondisi berikut:
1.
Kemursalan
para sahabat.
2.
Kemursalan
para pembesar Tabi’in sebagaimana pendapat sebagian besar ulama, tatkala
dikuatkan oleh riwayat mursal lainnya, atau amalan sahabat atau sesuai dengan
Qiyas(analogi yang shahih).
3.
Mu’allaq
dengan bentuk lafazh yang pasti berasal dari kitab yang dinyatakan kuat
keshahihannya (seperti shahih Bukhari).
4.
Riwayat
yang terdapat padanya pula riwayat lain yang mutashil (tersambung sanadnya)
dari jalan rawi yang lain, dan telah terpenuhi syarat-syarat penerimaannya.
(Mushthalahul Hadiits, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, hal.23)
Maka
bila kita memperhatikan kedudukan Urwah bin Az-Zubair al-‘Awwam sebagai seorang
Pembesar Tabi’in yang disejajarkan dengan kedudukan Sa’id Al-Musayyib, dan
‘Alqamah bin Qais. Maka tidak diragukan bahwa kemursalan riwayat Urwah bin
Az-Zubair ini adalah hujjah. Dimana diduga kuat ia mendengarnya dari Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, atau dari Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu’anhum-
yang mana mereka semua adalah pelaku sejarah dalam haji wada’. Maka itulah
suatu kebodohan bila terburu-buru menolak riwayat Urwah ini.
Hal
ini dari satu sisi, ditambah lagi bahwasannya kemursalan riwayat Urwah
diperkuat oleh adanya riwayat-riwayat muttashil yang berasal dari Abu Hurairah,
‘Amru bin ‘Auwf dan Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhum-.
Ya
benar, pada riwayat Abu Hurairah terdapat perawi yang lemah (dhaif) yaitu
Shalih bin Musa Ath-Thalhi. Namun bagaimanakah posisi kelemahan kedhaifannya?
Apakah kelemahannya pada ke-Dhabitannya(kekuatan hafalannya) atau juga pada
ke-adilannya (kejujuran)?
Memang
benar Imam Bukhari mengatakan :
منكر الحديث عن سهيل بن أبى صالح .
“Munkarul Hadits dari riwayat Suhail bin Abi
Shalih”(Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)
Begitu juga Abi Hatim menyatakan :
ضعيف
الحديث ، منكر الحديث جدا ، كثير المناكير عن الثقات
“Dhaiful
Hadits(lemah), sangat munkarul hadits, dan banyak sekali riwayat-riwayat munkar
dari para tsiqat.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)
Pernyataan
Imam Bukhari tersebut merupakan jarh(celaan) terhadap ke-adilan Shalih bin Musa
Ath-Thalhi. Dimana Imam Bukhari bila menyebutkan bahwa perawi adalah munkarul
hadits maka maksudnya siperawi dicurigai adalah pendusta. Sebagaimana Imam
Bukhari mengatakan :
كل من قلت فيه : منكر الحديث؛ فلا تحل الرواية عنه
“Setiap orang yang kami
katakan dia adalah : Munkarul Hadits, maka tidak boleh mengambil riwayat
darinya.”(Al-Miizan lidz-Dzahabi, 1/5)
Namun
pernyataan Imam Bukhari ini tidak serta merta dibenarkan. Yang benar adalah
Shalih bin Musa Ath-Thalhi merupakan perawi lemah sebagaimana yang dikatakan
Abu Ahmad bin ‘Adi :
عامة
ما يرويه لا يتابعه عليه أحد . و هو عندى ممن لا يتعمد الكذب ، و لكن يشبه
عليه و يخطىء.
“Pada
umumnya apa yang ia riwayatkan tidak ada satu pun orang yang mengikutinya.
Menurut saya dia bukanlah orang yang dengan sengaja berdusta, akan tetapi
terdapat kesamaran atasnya dan kekeliruan.”
(Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)
Begitu
juga Al-Juzajani mengatakan :
ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ عَلَى حُسْنِهِ.
“Dia
adalah dhaiful hadits(lemah) di atas persangkaan baik terhadapnya.”(Siru A’laamun
Nubala, 8/181)
Begitu
pula Ibnu Hibban berkata :
و
قال ابن حبان : كان يروى عن الثقات ما لا يشبه حديث الأثبات حتى يشهد المستمع لها
أنها معمولة أو مقلوبة ، لا يجوز الاحتجاج به .
Dia
biasa meriwayatkan dari para perawi tsiqat sesuatu yang tidak menyerupai hadis
itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut
ma’mulah atau maqlubah (terbalik), tidak
diperbolehkan berhujjah dengannya.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)
Maka kelemahan Shalih bin Musa Ath-Thalhi berasal dari segi
hafalan bukan dari segi keadilan. Maka itulah riwayat yang kita bahas dapat
menjadi kuat tatkala terdapat riwayat muttasil lainnya atau mursal yang mana
para perawinya tidak tertuduh pendusta.
Adapun Ismail bin Abdullah bin abdullah bin ‘Uwais dan ayahnya
berstatus dhaif. Namun mereka adalah shaduq. Mengenai riwayat dari Daruqutni
berupa pernyataan bahwa Ismail bin Ibnu Abi ‘Uwais berkata :
رُبَّمَا كُنْتُ أَضَعُ الحَدِيْثَ لأَهْلِ المَدِيْنَةِ إِذَا
اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ فِيْمَا بَيْنَهُم.
“Kadangkala aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka
berselisih pendapat mengenai sesuatu yang terjadi di antara mereka”.
Mengenai riwayat ini, Abu Bakar Al-Barqani pernah
bertanya kepada Imam Daruqutni :
مَنْ حَكَى لَكَ
هَذَا عَنِ ابْنِ مُوْسَى؟ قَالَ: الوَزِيْرُ -يَعْنِي: ابْنَ حِنْزَابَه- وَكَتَبتُهَا مِنْ
كِتَابِهِ.
“Siapakah orang yang telah menceritakan riwayat ini yang berasal
dari Ibnu Musa kepada anda? Maka Imam Daruquthni menjawab :”Al-Wazir(menteri)-
yaitu Ibnu Hinzabah- dan aku menyalin dari bukunya.”( Siiru A’laamun Nubala, 10/391)
Al-Hafizh
Ibnu hajar Al-Asqalani menerangkan riwayat tersebut :
وهذا هو الذى بان للنسائى منه حتى تجنب
حديثه و اطلق القول فيه بأنه ليس بثقة ، و لعل هذا كان من إسماعيل فى شبيبته ثم
انصلح .
“Inilah
riwayat yang menyebabkan An-Nasaai menjauhi haditsnya, dan memutlakan
pernyataan tersebut padanya bahwasannya dia bukanlah perawi yang tsiqah. Dan
barangkali hal ini adalah keadaan Ismail di masa remajanya lalu dia berubah
memperbaiki dirinya.”(Tahdzib At-Tahdzib,1/311)
Bersambung
( To be continued) Insya Allah